Anarki Menodai Demokrasi 

Sungguh, ini peristiwa yang harus dijadikan keprihatinan kita bersama. Demi 
memperjuangkan lahirnya provinsi baru, sekitar seribu orang di Medan berunjuk 
rasa dan bertuindak anarkis. Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Abdul Azis 
Angkat meninggal dunia seusai menjadi bulan-bulanan demonstran.

Memang, sejauh ini dokter menyimpulkan bahwa kematian kader Partai Golkar 
tersebut karena serangan jantung. Namun, jelas tidak bisa dimungkiri kalau 
serangan jantung itu sangat terkait dengan sikap massa yang begitu tidak 
manusiawi terhadap almarhum Azis Angkat.

Sungguh kita merasa pilu menyaksikan peristiwa tersebut. Selain menghilangkan 
nyawa seorang anak bangsa, peristiwa itu telah membunuh demokrasi yang selama 
ini kita jadikan acuan untuk hidup berbangsa dan bernegara.

Demokrasi akan terjaga keberlangsungan hidupnya bila masing-masing dari 
komponen yang terlibat di dalamnya bisa menghindari sikap memaksakan kehendak. 
Sebab, inti demokrasi adalah adanya kesamaan dan penghargaan antarkomponen 
bangsa. Tidak boleh ada pihak yang merasa paling benar dan memaksakan 
pendapatnya kepada pihak lain.

Dalam kehidupan demokratis, jelas tidak mungkin dihindarkan adanya perbedaan. 
Demokrasi dan perbedaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. 
Karena itu, tidak ada kata lain, bila memang kita masih sepakat menggunakan 
demokrasi, penghargaan pada perbedaan tidak bisa dinafikan. Konsensus harus 
diraih melalui proses elegan dan prosedural. 

Tragedi di Sumut kali ini benar-benar layak menjadi refleksi kita bersama. 
Ternyata, belum semua komponen bangsa di negeri ini siap berdemokrasi secara 
dewasa, tanpa menyertainya dengan tindakan anarkis. Demokrasi masih terlalu 
sering dimaknai sebagai kebebasan menyampaikan keinginan. Dengan dalih 
demokrasi, anarkis pun acap kali dilakukan.

Memang, kita yang kebetulan berada di tempat yang cukup jauh dari Sumut, tidak 
bisa menangkap secara persis apa semestinya dinamika yang berlangsung di sana. 
Tidak tertutup kemungkinan, kita salah mengambil kesimpulan. Namun, dinamika 
apa pun yang terjadi, seharusnya tidak boleh berakhir dengan tindakan anarkisme.

Karena itu, agar peristiwa tersebut bisa jadi pelajaran bagi semua komponen 
bangsa di negeri ini, aparat keamanan harus mengambil tindakan tegas kepada 
siapa pun yang terlibat dalam aksi anarkis tersebut. Aparat harus bisa mengurai 
serta memisahkanya dengan jeli dan jernih antara demokrasi dan anarkisme. 
Keduanya tidak boleh dicampuradukkan. 

Dalam konteks berdemokrasi secara dewasa, kita saat ini perlu memberikan 
apresiasi kepada warga Jawa Timur. Kendati pemilihan gubernur di wilayah ini 
menjadi pemilihan yang termahal, terlama, dan paling melelahkan di seluruh 
Indonesia, sejauh ini masih berjalan dengan damai.

Memang, tidak seratus persen terbebas dari percikan noda. Namun, percikan itu 
masih dalam batas toleransi. Perbedaan dan pergulatan yang begitu hebat dapat 
dilokalisasi hanya pada tataran hukum dan wacana. Dan, itu hanya berkutat di 
kalangan elite semata. Masyarakat kebanyakan tetap hidup dan beraktivitas 
secara normal. 

Semoga kondisi itu terus terjaga hingga gubernur dan wakil gubernur terpilih 
diambil sumpahnya. Dan, masyarakat di daerah lain bisa menjadikannya sebagai 
pelajaran demokrasi yang berharga. (*)

 http://www.jawapos.com/
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke