http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/08/159729/18/1/Banyak-Pelarian-Politik-1965-Ingin-Meninggal-di-Indonesia

BANDUNG--MI: Banyak pelarian politik (eksil) tragedi 1965, masih berharap
bisa menjadi warga negara Indonesia. Mereka berharap bisa pulang ke Tanah
Air dan meninggal di Indonesia.

"Ini menjadi tugas pemerintahan sekarang untuk memberikan perhatian khusus,"
kata dosen Universitas Indonesia Ari Junaedi saat menyampaikan penelitiannya
dalam sidang doktoralnya di Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa (3/8).

Staf khusus mantan Presiden Indonesia Megawati itu melakukan penelitian
mendalam tentang para eksil di sejumlah negara Eropa. Hasil penelitian yang
dijabarkan dalam sidang doktoral itu berjudul "Transformasi Identitas dan
Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara".

Menurut Ari, latar belakang yang menjadi para eksil 1965 itu masih ingin
menjadi warganegara Indonesia karena mereka tidak pernah menyatakan keluar
dari kewarganegaraan Indonesia, melainkan status itu dicabut pemerintah saat
itu.

"Ketika peristiwa 1965 meletus, rezim Orde Baru memperlakukan sebagian
pelajar yang ada di luar negeri sebagai simpatisan PKI. Rezim Orde Baru
pernah mengultimatum warga negara Indonesia yang ada di luar negeri untuk
lapor dan menyatakan kesetiaannya pada rezim Soeharto. Jelas mereka yang
tidak tahu-menahu, yang loyalis Bung Karno atau simpatisan PKI, menolak
ultimatum tersebut. Akibatnya, mereka dicabut paspornya dan menjadi
'stateless'," ungkap Ari.

Ari mengaku kerap bolak-balik ke berbagai negara untuk menemui para eksil
itu. Para eksil, kata Ari, walau sudah menjadi orang Rusia, beristrikan
wanita Ceko atau beranak cucu campuran, namun jiwa raganya masih Indonesia.
"Mereka ingin, jika meninggal kelak, bisa dikubur di tanah air," katanya.

Maka, menurut dia, kasus eksil harus menjadi perhatian pemerintahan untuk
menuntaskan status politik dengan demi rekonsiliasi, dan kemanusiaan, dengan
cara memberi kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru. "Kita telah membuang
sebuah generasi terdidik akibat kebijakan pemerintah masa lalu. Maka ini
harus diselesaikan," ungkapnya.

Ari mengatakan, Komnas HAM bertekad akan menuntaskan persoalan tragedi 1965
dengan harapan terjadi rekonsiliasi di kemudian hari agar rasa dendam yang
dipupuk sekian lama bisa teratasi. Dirinya mengakui masih banyak eksil 65,
baik pelaku langsung atau anak cicitnya yang tinggal di berbagai negara, dan
kini berstatus warga negara asing.

"Tidak ada angka yang pasti berapa jumlah eksil tragedi 1965 yang masih
hidup hingga kini. Namun diperkirakan jumlahnya sekitar 1.500 orang baik
dari generasi pertama hingga ke tiga akibat terjadinya proses perkawinan
campuran," katanya.

Peta distribusi eksil tragedi 1965 pun menyebar, terbentang dari Rusia
hingga negara-negara pecahannya; Bulgaria, Hongaria, Ceko, Slowakia,
Rumania, Jerman, Belanda, Prancis, Swedia, Venezuela, Australia, Polandia,
Kanada, Cina, Kuba, Korea Utara, Myanmar hingga Vietnam.

Dari catatan Ari, banyak eksil yang sukses di Eropa, seperti Manuaba di
Hongaria, kemudian pengembang ilmu pedagogik (anak terbelakang mental) di
Swedia, DR Sophian Waluyo. Juga pakar koperasi di Rusia, guru besar ekonomi
di Venezuela, pakar pertelevisian di Jerman. Namun ada juga eksil 65 yang
hidup terlunta-lunta di Kuba. (Ant/OL-04)









-- 
Teddy

Kirim email ke