PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ada seorang perwira tinggi 
(pati) TNI-AD yang berkampanye ”Asal Bukan S” (ABS) masih memancing komentar 
banyak pihak, baik pengamat politik, petinggi TNI,kalangan DPR, maupun 
purnawirawan TNI. 


Ada yang menuduh Presiden SBY ”memperalat” TNI, ada yang menudingnya ”tidak 
arif”,ada pula yang menyebut tuduhan itu ”menyakitkan TNI”. Memang tidak jelas 
siapa yang disebut dengan inisial S tersebut, karena paling tidak ada tiga 
purnawirawan pati TNI yang disebut-sebut akan ikut bertarung memperebutkan 
kursi kepresidenan pada Pilpres 2009,yaitu Presiden SBY sendiri,mantan KSAL 
Slamet Subijanto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. 

Namun,nama terdekat dari inisial S itu tentu SBY. Pernyataan Presiden SBY saat 
menerima para petinggi TNI yang melaporkan hasil rapat pimpinan TNI dan para 
petinggi Polri di Istana Negara,Kamis pekan lalu,bagaikan petir di siang 
bolong.Betapa tidak,Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso sudah sering menyatakan 
bahwa TNI akan menjaga netralitasnya dalam pemilihan umum,baik pemilu 
legislatif maupun pemilu presiden. 

Markas Besar TNI juga sudah membagi-bagikan ”Buku Putih” yang harus dibawa, 
dibaca, dan dipahami oleh seluruh anggota TNI dari tingkat bintara, tamtama, 
sampai ke perwira tinggi yang berisi pasal-pasal larangan bagi anggota TNI 
untuk memengaruhi jalannya pemilihan umum.Sebagai contoh,pada hari H pemilu 
seorang anggota TNI tidak boleh dekat-dekat dengan tempat pemungutan suara 
(TPS).

Mereka juga tidak boleh berkampanye mendukung atau tidak mendukung calon 
legislatif atau pasangan calon presiden atau calon wakil presiden 
tertentu.Pemilu 2009 merupakan tonggak sejarah penting bagi perjalanan politik 
bangsa, sebagai masa akhir proses konsolidasi demokrasi kita. Bagi TNI,Pemilu 
2009 juga masa untuk menunjukkan netralitas politiknya yang merupakan bagian 
profesionalisme TNI. Memang pada Pemilu 2009 ini para anggota TNI (dan Polri) 
belum mau menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan suara.

 

Namun kita berharap tahun 2009 adalah masa akhir dari keengganan itu. 
Mencontreng dalam pemilu adalah hak individu warga negara, tak terkecuali para 
anggota TNI dan Polri.Yang membedakan TNI dan warga negara RI lainnya ialah 
anggota TNI adalah citizen in uniform (warga negara yang berseragam). 

Sampai saat ini memang masih ada kekhawatiran di kalangan TNI dan juga di 
kalangan purnawirawan TNI yang pernah menjadi komandan lapangan, jika anggota 
TNI ikut pemilu, individu komandan di lapangan yang jauh dari pusat dapat 
ditarik ke sana ke mari untuk mendukung calon anggota legislatif atau calon 
presiden-wakil presiden tertentu. 

Ini merupakan masalah bagi netralitas TNI. Di lain pihak,sebagian masyarakat 
Indonesia juga masih ada yang menyimpan ingatan bagaimana di masa Orde Baru 
jajaran komando teritorial TNI digunakan untuk memenangkan Golkar pada setiap 
pemilu antara 1971 sampai pemilu 1997.Kekhawatiran bahwa 
TNIakanterpecahjikapara anggotanya ikut pemilu juga menjadi penyebab mengapa 
hingga kini para anggota TNI menjadi ”golput yang terorganisasi”. 

Tapi itu semua dilakukan demi kebaikan institusi TNI dan bangsa. Pada Pemilu 
2014 situasinya tentunya akan lain.Saat itu kita sudah masuk ke era kedewasaan 
berdemokrasi. TNI juga sudah masuk ke era profesionalisme yang setingkat lebih 
maju pula. Pemilu 2014 adalah saat yang paling tepat bagi anggota TNI untuk 
ikut memilih. 

Political Blunder 

Pernyataan Presiden SBY itu kini telah menjadi ”political blunder” buat 
dirinya. Ini dapat diinterpretasikan bahwa Presiden kehilangan kendali atas 
angkatan bersenjatanya, terlebih lagi pada jajaran seragam hijau yang adalah 
korpsnya sendiri. 

Selain itu,Presiden seolah tidak percaya kepada Panglima TNI dan beberapa 
komandan lapangan yang sebagian menduduki jabatan-jabatan strategis itu atas 
”blessing dari Presiden SBY”. Jika itu dilakukan oleh Presiden untuk menarik 
simpati seolah-olah ada ”barisan kurawa” yang didukung TNI sedang mengepung dan 
menghalangi jalannya untuk terpilih kembali pada Pemilihan Presiden 2009, ini 
juga tidak tepat.

 

Bagaimana pula dengan Pemilihan Presiden 2004 yang di antara para anggota tim 
suksesnya, menurut Ali Mochtar Ngabalin, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang 
yang juga tim sukses SBY, ada juga perwira tinggi TNI yang masih aktif? Apakah 
Presiden SBY kena karmanya sendiri? 

Jika itu dilakukan untuk menghalangi para anggota TNI mendukung secara tidak 
langsung para calon presiden dari mantan pati TNI,ini juga berbahaya, karena 
jika para calon presiden purnawirawan TNI itu menarik-narik anggota TNI aktif 
untuk mendukung atau tidak mendukung calon presiden dari keluarga besar TNI, 
ini bisa memecah belah TNI. Anehnya lagi, mengapa pernyataan Presiden SBY itu 
dilakukan tak berapa lama menjelang mutasi besarbesaran di jajaran TNI yang 
akan dilakukan pada Februari atau Maret? 

Ini justru menimbulkan kesan seolah-olah mereka yang menduduki posisiposisi 
strategis baru di TNI atau Departemen Pertahanan RI adalah ”orang-orang SBY”. 
Padahal semua sudah diputuskan melalui rapat-rapat di Dewan Jabatan dan 
Kepangkatan Tinggi(Wanjakti) didalam TNI. Reformasi internal TNI sudah masuk 
pada tahap reformasi budaya, dari budaya dwifungsi ABRI ke murni 
profesionalisme TNI.TNI jangan lagi ditarik-tarik ke politik praktis, sesuatu 
yang merusak jati diri TNI.

Dalam proses itu,pemerintah,DPR,parpol, dan rakyat secara keseluruhan wajib 
mendukung agar TNI yang kita cintai itu dapat menjadi kekuatan pertahanan 
negara yang profesional, dipercanggih alat utama sistem persenjataannya, dan 
anggotanya diberi kesejahteraan yang baik. Seperti kata Panglima Besar 
Sudirman, ”TNI adalah aset bangsa yang tidak akan berubah sepanjang masa yang 
akan menjaga kedaulatan negara.”(*) 

IKRAR NUSA BHAKTI 
Pengamat Politik LIPI 
 


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210337/38/

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke