Tulisan Goenawan Mohammad ini bagai hadiah natal buat saya yang
terindah. Tulisan nya betul2 mewakili saya sebagai umat KResten di
satu sisi dan manusia yang serba ingin tahu di sisi lain.

Ketika MUI berfatwa ucapan NAtal itu haram bagi muslim, sangat
menghancurkan saya. Dan membuat saya marah. Bukan karena saya pengen
dihargai, tetapi karena MUI mulai membatasi hakikat manusia.

Tahun ini banyak muslim teman2 saya yang tidak memperdulikan apa kata
MUI dan memberi selamat kepada saya, yang mendatangkan rasa haru, rasa
hormat kepada mereka, rasa persaudaraan sebagai sesama ciptaan Awloh,
dan yang terpenting rasa indah sebagai umat manusia.

Mereka membawa Islam dalam arti yg sebenarnya yaitu rahmat alam
semesta, hanya dengan mengucapkan selamat.

Terima kasih saudara Goenawan Muhammad yang muslim. 

Merry Christmas to you too..



--- In zamanku@yahoogroups.com, Abdul Rohim <peduli_kla...@...> wrote:
>
> Natal
> Yesus mungkin tidak benar-benar lahir pada 25 desember, tetapi hari
natal, pohon terang dan lagu malam suci memberikan makna kepada mereka
yang percaya.
> SIAPA sebenarnya yang lahir di Betlehem 25 Desember hampir 2.000
tahun yang lalu itu? Kita tidak tahu. Barangkali tak seorang bayi pun,
suci atau tak suci, lahir di hari itu. Sebagian orang yang meneliti
perkara ini pernah menyimpulkan bahwa hari kelahiran Yesus ditentukan
kemudian dan tidak ada hubungannya dengan catatan dan akurasi sejarah:
bahkan tanggal yang sekarang menjadi Hari Natal itu pada mulanya ada
kaitannya dengan ritual pra-Kristen di Eropa, demikian juga halnya
pohon Natal, dan entah apa lagi.
> 
> Tapi pentingkah itu semua, barangkali juga tidak. Cerita tentang
Tuhan, para nabi, cerita tentang mukjizat, tentang pengorbanan jiwa,
cerita tentang pengalaman religius dan hidup sebelum dan sesudah
dunia, semua itu terlampau dahsyat untuk para penelaah fakta historis
yang ketil dan cerewet. Dengan kata lain, iman adalah satu hal,
pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar adalah hal lain. Pada
mula dan pada akhirnya ini adalah perkara makna, bukan kebenaran.
Yesus mungkin tidak benar-benar lahir di tanggal 25 Desember di tahun
nol atau satu, tetapi Hari Natal dan pohon terang dan lagu Malam Suci
memberikan makna kepada mereka yang percaya, dan, seperti dalam
pelbagai cerita yang didengar dan diulang-ulang untuk anak- anak,
dengan makna itu keajaiban bisa terjadi.
> 
> Makna, bukan kebenaran. Soren Kierkegaard, pemikir Kristen dari
Denmark yang disebut sebagai salah satu pemula filsafat
eksistensialisme itu, pernah mengatakan bahwa agama pada esensinya
bukanlah bujukan kebenaran sebuah ajaran, melainkan komitmen kepada
suatu pendirian yang pada hakikatnya absurd, bahkan yang melecehkan
akal kita. Untuk ada dan berarti, untuk exists, kita harus percaya,
kata Kierkegaard, kita harus meloncat dari keraguan kepada iman, dan
harus percaya kepada sesuatu yang sebenarnya sungguh repot untuk
dipercayai.
> 
> Bagi sebagian orang, pendirian Kierkegaard teramat keras dan wungkul
seperti alam Skandinavia, dan heroik seperti para pelaut Vikings,
tetapi pada dasarnya juga posisi seperti itu bisa disebut juga sebagai
posisi yang gampangan sama halnya dengan tekad mengenakan kacamata
kuda sepanjang perjalanan hidup. Sebab makna yang diberikan agama
kepada seseorang sering tidak membutuhkan tekad dan sikap heroik
seperti itu. Berjuta- juta orang mendapatkan makna dari agama karena
ia menjadi anggota dari sebuah komunitas: suatu pengambilan sikap yang
bersahaja, tetapi berarti. Bagaimanapun juga ada dalam setiap agama
kecuali barangkali yang dihayati kaum sufi dasar yang kuat mendorong
dirinya untuk menjadi sesuatu yang menyemarakkan komunitas, "a
celebration of community", untuk meminjam istilah Ernest Gellner,
seorang ahli antropologi terkemuka yang banyak menelaah masyarakat
Islam di Timur Tengah.
> 
> Dalam ikut serta menyemarakkan kebersamaan itu memang yang penting
bukanlah pengetahuan yang benar tentang suatu doktrin. Makna
semata-mata lahir karena orang, di dalam beragama, merasa tenteram,
bahkan gembira, dalam ada bersama orang-orang yang seiman. Mereka
merasa bisa lebih memahami tentang hidup, tentang yang benar dan tidak
benar, yang adil dan tidak adil, dalam ritual yang dijalankan bersama
dan itu berarti menuruti tradisi yang tertulis ataupun tak tertulis,
turun-menurun dan bukan karena Sabda yang sudah baku dan sejak mula
telah selesai.
> 
> Dalam keadaan itu, mereka umumnya tak merasa perlu mampu membaca
Kitab Suci, mereka tidak repot mempersoalkan mana ajaran yang "murni",
mereka tidak bersusah payah menaati doktrin yang berada di atas dan
terpisah dari jejak sejarah dan budaya bagaikan rumus ilmu pasti dan
bahkan tidak perlu mera- sa punya "doktrin". Barangkali, karena itu,
mereka juga tidak punya pretensi untuk menjalankan cara yang "benar
secara hukum". Agaknya dari sinilah acara seperti Perayaan Natal lahir
dan berkembang, dan orang tidak merasa risau bahwa semakin lama
semakin pudar "warna lokal" Palestina karena semakin digantikan "warna
lokal" Eropa: salju yang tebal, Sang Bunda dan Sang Bayi yang berkulit
putih, lagu Jingle Bells....
> 
> Makna, bukan kebenaran. Yang mencemaskan ialah bahwa sering orang
mencampuradukkan antara keduanya. Ketika yang bermakna bagi saya saya
anggap sebagai kebenaran, saya pun akan cenderung hendak menjadikannya
sebagai doktrin, yang tetap, baku, konsisten, dan universal
seakan-akan apa yang spontan dan sebab itu tak bisa dipastikan harus
dibasmi, seakan-akan yang "lain" sebab tak cocok dengan doktrin harus
dihabisi. Mungkin tampak akan kuat, tetapi mungkin juga seperti
bangunan baja yang tanpa kemeriahan, dingin, mati.
> 
> Goenawan Mohamad
>  
>
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/01/01/CTP/mbm.19940101.CTP1528.id.html
> 
> 
> 
>    Salam
> Abdul Rohim
> http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id
>


Kirim email ke