"Kita tidak akan pernah menyerah kepada orang-orang kafir. Mereka pantas 
dibunuh, mereka pantas dihabisi. Allah memerintahkan kepadaku, orang-orang 
kafir itu akan selalu memerangi kaum muslimin sampai orang muslim itu mengikuti 
keinginan mereka. Kita jangan pernah tunduk apalagi menyerah, Allahu 
Akbar.Allahu Akbar.Allahu Akbar," suara Muklis menggelegar begitu jeruji 
penjara dibuka dan tiga prajurit merangsek. Kepalan tangan Muklis ke udara 
seketika dibekuk. Rantai borgol menggiringnya ke tengkuk. (selanjutnya baca di: 
www.fiksinews.blogspot.com) 



Detik-detik Eksekusi Muklis Bin Hisyam 
Detik-detik Eksekusi Muklis

"Kita tidak akan pernah menyerah kepada orang-orang kafir. Mereka pantas 
dibunuh, mereka pantas dihabisi. Allah memerintahkan kepadaku, orang-orang 
kafir itu akan selalu memerangi kaum muslimin sampai orang muslim itu mengikuti 
keinginan mereka. Kita jangan pernah tunduk apalagi menyerah, Allahu 
Akbar.Allahu Akbar.Allahu Akbar," suara Muklis menggelegar begitu jeruji 
penjara dibuka dan tiga prajurit merangsek. Kepalan tangan Muklis ke udara 
seketika dibekuk. Rantai borgol menggiringnya ke tengkuk.

Muklis masih memakai sarung dan koko sekadarnya. Gamisnya tertancap di paku 
tembok. Kopiah putih tergeletak di lantai. Dua buku bertumpuk di pojok bersama 
sajadah yang belum terlipat. Ruangan tiga kali dua itu serasa sumpek. Lumut 
hijau seperti ukiran batik, nempel di dinding yang dingin. Atap plafon dibeton. 
Jeruji-jeruji besi kamar seperti barisan pasukan Nazi yang siap mencerabut ruh.

Matanya baru saja terlelap, ketika suara gembok dibuka dan tiga prajurit 
merangsek. Muklis terkejut. Ia bangkit dan dua hardikan sepatu lars mengiris 
tulang kerasnya, "dukk..!!". Ayah dari Nisa, Ani, Ina, dan Ica itu langsung 
tertunduk. Bola matanya merah. Dengusnya berdarah. Dan, teriakan itu lantas 
menggelegar, mengumandangkan permusuhan. "Aku tak akan menyerah: bajingan, 
kafir, zionis, yahud!!" Serapah Muklis terusik. Jantungnya bergolak. Nadinya 
keras berdetak. 

Di luar kamar, satu kompi pasukan khusus tembak seperti baru memulai operasi 
petrus. Belasan mobil angkut pasukan, lima ambulan, dua jip, lima sedan, dan 
sepuluh motor besar lalu lalang. Suara bising handy talky menyadarkan Muklis: 
"aku akan dieksekusi malam ini." Matanya melihat bintang, tetapi seorang 
perwira cepat datang dan mengarugi kepalanya dengan karung goni. "Setan, 
kamu!!" umpat sang perwira bintang dua.

Muklis digelandang. Jejak kakinya meneteskan darah. Ia tak bersendal. Dua kali 
sepatu lars melesakkan tendangan. Muklis terus berkumandang, meneriakkan 
rapalan perjuangan. "Di Afghanistan, aku tak menyerah. Di sini, aku tak kan 
pernah tunduk. Hei, bangkitlah kaum muslimin. Kita lawan kaum kafir," suaranya 
serak, terdengar sayup-sayup. Dua gagak melintas di langit dan berkoak. 
"koaaaakkk..koaakkk."

Ia belum menyisir rambut. Ia belum berdoa. Ia belum assalamualaikum kepada 
malaikat agar dibukakan pintu surga. Ia belum melihat bidadari cantik yang 
menyambutnya di tepian sungai keabadian. Muklis telah dibawa bersama truk 
tentara ke pinggiran hutan. Tetapi, suara-suara binatang malam terus 
memanjatkan doa untuknya. Getaran tanah dari pijakan roda membacakan shalawat 
badar. Gemerisik angin seperti zikir kemenangan untuknya. Napas para serdadu 
yang didengarnya seperti kumandang azan untuk keberangkatannya menuju surga 
keabadian.

Muklis duduk di lantai truk. Sarungnya melorot hingga ke kaki. Ia hanya pakai 
kolor lusuh. Tampak bekas sobekan yang baru saja dijahit tangan. Muklis 
menggelepar-gelepar. Sepuluh senjata siap kokang di jidatnya. Prajurit bergaji 
pak ogah itu sami'na waato'na pada tugasnya. Mereka begitu tegang. Guncangan 
badan truk tak mengubah pendiriannya. Serdadu seperti peluru., serdadu seperti 
peluru. "Hoiiii.buka penutup kepalaku..buka karung goni ini.banyak kecoa!!" 
Suara itu terdengar begitu keras. Sang serdadu tetap saja seperti peluru.

Tiba di tanah lapang. Muklis dilempar dari atas truk "brukk." Satu dua kecoa 
melompat keluar. Sepasukan regu tembak segera merubungnya. Muklis kembali 
digelandang 300 meter dari tanah datar. Di sebuah pohon turi, Muklis diikat. 
Kakinya menggantung, badannya meronta-ronta. Tubuhnya menjadi sasaran seratus 
sniper. Muklis seperti musang kalah perang. 

Para sniper menunggu aba-aba. Perwira bintang dua berdehem dua kali sebelum 
memberi petuah. "Tembak persis di dada kirinya!" Seratus senjata serentak 
bergeser ke kiri. "Tunggu perintah dari saya dan langsung shoot!!" Sang perwira 
melangkah mundur. Tangannya memberi komando. "Shoot!!" "door!!" Karung goni di 
kepala Muklis bergoyang. Tak ada teriakan. "Shoot!!" "door!!" Karung goni di 
kepala Muklis kembali bergetar. Sakaratul maut belum juga terdengar. "Shoot!!" 
"door.door..door..door!!"

Koko Muklis berwarna darah. Seperti aliran banjir bandang, darah itu meluncur 
deras dari karung goni menuju leher, merembes ke baju dan menghunjam ke 
semak-semak. Aungan serigala terdengar seperti melodi kematian. Dua gagak 
kembali melintas di atas kepala Muklik, "koaaakkk.koaaakkk." Jengekrik dan 
ngengat menyanyikan kesedihan. Suara azan tiba-tiba berkumandang. Seorang 
serdadu roboh. Di dada kirinya ratusan amunisi bersarang. (si regar) 
Diposting oleh fiksinews di 06:54 0 komentar  


<<icon18_edit_allbkg.gif>>

Kirim email ke