Refleksi: Duet pecah, karena suara fals atau lagunya tidak cocok untuk 
dinyanyikan bersama. Tak apa kalau pecah, karena kalau menurut  aturan  igama 
yang cerai bisa gabung lagi. Jadi langit tidak akan runtuh.  Jadi bisa bercerai 
sementara dalam doa untuk bersatu lagi dalam hal  duniawi maupun surgawi. 
Begitulah cerita cinta sejati.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/21/taj01.html

Duet Yudhoyono-Kalla Pecah



MUNGKIN masih prematur mengatakan pasangan presiden dan wakil presiden 
(Yudhoyono-Kalla) yang saat ini memerintah di negara archipelago terbesar di 
dunia, Republik Indonesia, ternyata pecah. Dan ini semua adalah buntut 
pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok yang mengatakan bahwa 
bisa saja partainya tidak bermitra lagi dengan Partai Golkar karena ada 
kemungkinan partai besar seperti Golkar hanya akan mendapat 2,5 persen suara.


Akibatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpaksa membuat pernyataan 
sendiri - dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat - untuk 
mengklarifikasi pernyataan Mubarok yang muncul dari sebuah wawancara. 
Sebelumnya, Jusuf Kalla, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai Golkar juga 
mengeluarkan pernyataan bahwa "mimpi buruk" orang yang mengatakan partainya 
hanya akan mendapat suara 2,5 persen. 


Sesungguhnya sangat disayangkan bahwa duet yang merupakan pucuk pimpinan negeri 
ini saling mengeluarkan pernyataan yang tidak saling mendukung, yang akhirnya 
memperuncing perbedaan di antara keduanya. Hal itu memperlihatkan di antara 
mereka tidak terjalin komunikasi yang baik, sehingga pesan-pesan politik antara 
mereka disampaikan lewat media. Juga memperlihatkan buruknya jalur komunikasi 
dan komando di Partai Demokrat sehingga tidak ada kesatuan sikap soal koalisi 
dengan Partai Golkar. 


Bahwa Presiden Yudhoyono yang mengeluarkan pernyataan sebagai klarifikasi juga 
memperlihatkan ketidakefektifan kepemimpinan di Partai Demokrat.  Kesiapan 
Jusuf Kalla untuk maju menjadi calon presiden dari Partai Golkar, yang 
dilontarkan dalam jumpa pers Jumat (20/2), juga memperlihatkan dinamika dan 
kegelisahan yang sangat kuat di tubuh Partai Golkar bahwa mereka tidak terima 
diremehkan oleh partai lain yang jauh lebih kecil. Atau "kemajuan" yang dicapai 
oleh rezim yang berkuasa ini adalah keberhasilan Partai Demokrat.


Namun, sejarah juga mencatat bahwa ketika maju sebagai calon wakil presiden 
pada tahun 2004, Jusuf Kalla tidak maju sebagai kandidat dari Partai Golkar 
(yang kala itu memajukan pasangan Wiranto dan Solahudin Wahid). Dia baru 
menguasai Partai Golkar dalam kongres di Bali dengan mengalahkan kekuatan Akbar 
Tanjung, karena pada waktu itu Partai Golkar bersama PDI Perjuangan menggalang 
Koalisi Kebangsaan untuk beroposisi kepada duet Yudhoyono-Kalla.  Jadi, dari 
sejarahnya kita mencatat antara Partai Golkar dan Partai Demokrat tidak ada 
sejarah sebagai koalisi, namun dipaksa berkoalisi karena kepentingan politik 
pada saat itu. 


Perpecahan seperti ini (juga terjadi ketika Presiden Megawati masih memimpin 
dan dia memilih berpasangan dengan Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004, sementara 
Wakil Presiden Hamzah Haz memilih berpasangan dengan Agum Gumelar) sudah dapat 
diperkirakan karena koalisi yang dibangun baru terjadi setelah pemilihan umum 
legislatif dan khusus dipersiapkan hanya untuk menghadapi pemilihan umum 
presiden.


Meski Jusuf Kalla menjanjikan pemerintahan akan tetap utuh sampai delapan bulan 
ke depan, namun kita sudah bisa membayangkan bahwa chemistry dan suasana 
kebatinan di antara presiden dan wakil presiden sudahlah tidak nyaman. Berharap 
saja hal itu tidak mencuat sebagai konflik terbuka dan berujung pada cara kedua 
pemimpin itu memerintah. 


Dalam kaitan inilah kita mendorong untuk partai-partai politik yang jumlahnya 
38 itu agar segera menjalin koalisi mulai dari sekarang. Kita ingin kembali 
mengingatkan demi masa depan demokratisasi di Indonesia dan dalam upaya yang 
tulus guna membela kepentingan rakyat Indonesia, maka pembentukan koalisi atau 
aliansi ini haruslah mulai dari sekarang, jangan sekadar demi memenangkan 
pasangan capres/cawapres tertentu, yang ujungnya adalah minta jatah kursi 
kabinet.  Koalisi yang dibangun demi melaksanakan platform yang disepakati 
bersama, dan inilah yang akan ditagih kepada koalisi ini. Kalau ini tidak 
dilakasanakan maka kembali kita membangun dan mengembangkan demokrasi yang 
tidak sehat. 

Kirim email ke