Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 8 September 2008
 
Etika Politik dan Hasrat Berkuasa
Oleh Victor Silaen
 
     Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kepada siapa pun yang akan 
menjadi pemimpin bangsa ini ke depan untuk mengutamakan sikap kenegarawanan 
dengan mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam 
memimpin bangsa ini. 
Hal itu dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kepada wartawan di 
Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/8), sesaat 
setelah mendampingi pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) 
diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 
 
     Boleh dipastikan, siapa pun setuju dengan harapan itu. Kita senang kalau 
para pemimpin bangsa ini sungguh-sungguh negarawan: yang mampu berpikir dan 
bersikap dengan kerangka dan spirit nasionalisme, yang tidak membeda-bedakan 
rakyat berdasarkan latar belakang etnik, agama, golongan, status sosial 
ekonomi, daerah asal, dan lainnya.  
 
     Kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika 
politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan 
perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma 
dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh 
mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, 
niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu 
banyak. 
 
     Namun, fakta bicara lain. Soal kenegarawanan, tak sedikit pemimpin yang 
kerap diskriminatif ketika berhadapan dengan rakyat. Bayangkan jika istilah 
”mayoritas” dan ”minoritas” disebut-sebut ketika berupaya mencari solusi di 
balik konflik antarkelompok di masyarakat seraya mengimbau agar yang 
”minoritas” tahu diri. Dalam kategori statistik, mayoritas dan minoritas memang 
ada dan tak mungkin dibantah. Namun dalam paradigma nasionalisme, kedua istilah 
tersebut sungguh usang dan karenanya tak sekali-kali boleh diucapkan. Maka, 
jika masih ada orang-orang yang menggunakannya, mereka patut dianggap 
kontra-nasionalis. Kalau itu rakyat biasa, mereka perlu dicerahkan. Kalau itu 
pemimpin, selayaknya dicopot saja dari posisinya. Sebab, mereka telah melanggar 
sumpah untuk selalu setia kepada Pancasila, UUD 45, dan NKRI.
 
     Soal kenegarawanan ini haruslah ditunjukkan bukan hanya ketika berhadapan 
dengan rakyat, tetapi juga di saat merancang dan membahas pelbagai peraturan 
publik di aras nasional dan daerah. Jika peraturan publik yang tidak seutuhnya 
dan sepenuhnya menjunjungtinggi nasionalisme itu sudah ada, kiranya para 
pemimpin dengan rendah-hati dan jiwa-besar bersedia merevisinya. Ke depan, 
kiranya para pemimpin selalu mawas-diri dan meninggikan nasionalisme dalam 
proses-proses dan kerja-kerja politik agar tidak memproduksi kebijakan politik 
yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI. 
 
     Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu 
belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu 
berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang 
menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya 
sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut 
pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau 
walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang 
sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi 
jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan 
bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala 
daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi 
bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung 
diberlakukan cukup banyak bermunculan,
 mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani. 
 
     Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu 
mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup 
menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia 
berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya 
perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar 
peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat 
menderita punya pemimpin seperti itu. 
 
     Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud 
sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang 
diperlihatkan hari-hari ini oleh Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang ingin 
meraih kursi di DPR. Padahal, sebagai gubernur, ia baru lebih setahun 
menjalankan masa jabatan keduanya. Tak pelak, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf 
Kalla pun menampiknya. ”Sebagai kader partai, dia seharusnya memiliki komitmen 
untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah 
harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan 
waktunya,” kata Kalla. 
 
     Menarik sekaligus menggelitik kita untuk bertanya: ada apa di balik hasrat 
menjadi anggota DPR yang terpendam di sanubari Gubernur Fadel Muhammad? Diduga, 
dari DPR kemudian ia siap-siap ’lompat pagar’ lagi demi meraih jabatan wakil 
presiden. Jika itu benar, inilah hasrat berkuasa yang tidak mengindahkan etika 
politik yang baik. Memang, sejauh ini tidak ada peraturan yang tegas terkait 
’lompat pagar’ para pemimpin dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Itu 
sebabnya ada beberapa anggota DPR yang di tengah masa jabatannya kemudian 
pindah ke eksekutif menjadi kepala daerah. Ada juga yang dari DPR pindah ke 
Mahkamah Konstitusi. 
 
     Sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku 
politik seperti itu, karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika 
memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah 
dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. 
Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di 
masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin 
masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, 
juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah niscaya kekuasaan 
betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan 
kebenaran bagi rakyat dan negara. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata 
berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani. Itulah 
yang pernah dikatakan oleh Dr Johannes Leimena, seorang deklarator Sumpah 
Pemuda 1928 dan negarawan besar di era
 pemerintahan Soekarno. 
 
     Ke depan, bagaimana agar etika politik yang baik menjadi pedoman para 
pemimpin dalam berperilaku politik? Seharusnya setiap agama cukup untuk 
dijadikan sumber etika. Masalahnya, apakah agama yang dianut para pemimpin itu 
dipahami dengan benar dan dihayati dengan baik? Jika tidak, sangat mungkin para 
pemimpin itu hanya mengandalkan intuisi politik dan bukan etika politik. 
Alhasil, proses-proses dan kerja-kerja politik kehilangan jiwanya sehingga 
produk-produknya pun tidak berorientasi kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi 
rakyat dan negara. Maka, tak heranlah jika reformasi yang telah berjalan 
sedekade ini hanya ”begitu-begitu saja” di mata banyak orang. Ironis dan 
memprihatinkan, karena biaya yang sangat besar telah dicurahkan untuk 
mewujudkan agenda-agenda reformasi itu. 
 
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
(www.victorsilaen.com)


      

Kirim email ke