--- In [EMAIL PROTECTED], "setyawan_abe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:


Rasa Bahasa
Oleh: Andrea Miller




Secara membosankan dan garis besar, bahasa terdiri dari kalimat yang
terdiri dari kata yang terdiri dari fonem. Selanjutnya, kata
bermacam-macam jenisnya dan hanya dapat dipakai dalam situasi bahasa
yang memungkinkan secara tata bahasa. Bentuk suatu kata juga ditentukan
oleh pelbagai kaidah bahasa yang perlu dihafal para pemakainya, dan
segala ketentuan bahasa perlu dihiraukan setiap penutur bahasa supaya
pembicaraannya masuk akal.

Kedengarannya, bahasa itu serba dibatasi sejumlah kaidah yang serba
kaku. Untungnya, gambar ini cukup keliru karena bahasa itu lebih dari
sehimpunan peraturan yang telah disepakati ahli-ahli bahasa. Lebih
tepatnya, bahasa itu ada rasanya: ia dapat dirasakan, harus dirasakan,
dan ingin membuat para penuturnya merasakannya. Dengan kata lain, bahasa
itu berkomunikasi tidak hanya melalui kaidah-kaidah bahasa tersebut,
tetapi juga melalui rasa. Dua contoh cukup dikemukakan di sini.

Contoh pertama berkaitan dengan bahasa Arab. Bahasa ini merupakan bahasa
Al Quran dan bahasa wahyu, dan oleh karena keadaan ini statusnya sebagai
bahasa suci tak dapat disangkal. Terutama, bahasa Arab di Indonesia
terdengar dalam dua situasi: pengajian Al Quran dan azan. Kebanyakan
orang Islam di Indonesia dapat melafalkan bunyi-bunyi Al Quran meskipun
kebanyakan dari mereka tak dapat mengerti secara tata bahasa apa yang
sedang mereka lafalkan tadi. Walaupun begitu, bunyi-bunyi yang mereka
hasilkan tidak tanpa arti bagi mereka sendiri, dan harus diakui dapat
berkomunikasi dengannya meski tidak pertama-tama secara tata bahasa.
Dengan kata lain, bahasa tidak harus dipahami dalam rangka kaidah-kaidah
bahasa.

Bahasa suci, seperti bahasa Arab, bisa-bisa saja menyampaikan intinya
dengan cara lain, dan inti dari cara itu sendiri tidak lain selain rasa.
Tidak jarang orang mengatakan bahwa mereka dapat merasakan kebesaran
Allah, misalnya, ketika mereka mendengarkan pengajian Al Quran walaupun
mereka tidak mengerti sekata pun dari pengajian tersebut. Malahan, bunyi
ayat-ayat Al Quran itu dapat membuat orang menangis dengan tersedu-sedu,
meski yang menangis tidak memahami bahasa Arab dan tidak tahu bagian
mana dari kitab suci ini yang sedang dibacakan. Suara azan dapat
dipahami dalam rangka yang sama.

Contoh kedua bertalian dengan hubungan saya sendiri dengan bahasa Jawa.
Saya tidak dapat berbahasa Jawa (walaupun saya terkadang dapat memahami
pembicaraan sederhana), dan tidak pernah mempelajari kaidah-kaidahnya.
Namun, kadang-kadang bahasa ini dapat menggerakkan batin saya dan
berkomunikasi dengannya meski tidak secara tata bahasa. Misalnya ketika
saya menonton ketoprak Indonesia di TV. Pembicaraan di ketoprak ini
sering kali dibumbui bahasa Jawa, dan saya bisa menemukan diri sendiri
dalam keadaan tertawa walaupun saya tidak mengerti secara linguistik apa
yang baru dikatakan.

Rasa bahasa Jawa itu sangat kental dan dapat membuat para pendengarnya
memahami sedikit dari intinya walaupun tak masuk akal secara tata
bahasa. Berkaitan dengan bahasa Jawa itu, sering kali juga dapat
dirasakan apakah bahasa yang sedang dilafalkan merupakan bahasa sopan
(kromo) atau bahasa kasar (ngoko). Malahan, kadang-kadang dapat
dirasakan bahwa bahasa yang sedang diucapkan menyinggung hati lawan
bicaranya walaupun kata-kata yang sedang dilontarkan tetap saja sama
sekali asing.

Nah, apakah memang ada rasa bahasa itu dalam kenyataan ataukah itu hanya
dalam bayangan seorang penulis kolom bahasa? Apakah yang disebut rasa
itu sebetulnya tidak berkaitan dengan bahasa itu sendiri, tetapi lebih
tepatnya hanya dengan gerak badan (dan muka) para penuturnya serta nada
dan kecepatan mereka?

Tentunya, saya berkeyakinan rasa bahasa itu ada, seperti sudah
dijelaskan dengan dua contoh di atas. Pengetahuan ini dapat berguna
untuk pengajaran bahasa kepada anak-anak maupun orang dewasa dan
guru-guru bahasa serta para orangtua dapat menarik beberapa kesimpulan
penting di sini. Misalnya bahwasanya bahasa itu lebih baik diajarkan
melalui lagu-lagu menyenangkan daripada melalui kaidah-kaidah tata
bahasa yang sangat kaku. Dan bahwa rasa bahasa itu memang ada, dan bahwa
rasa itu cukup manis.

Penulis sedang Menggarap Kamus Swedia-Indonesia, tinggal di Landskrona,
Swedia

--- End forwarded message ---


Kirim email ke