Dari milist tetangga: 

----- Original Message ----- 
From: lutfi trisno badung jaya 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, November 12, 2008 12:23 PM
Subject: [SPAM] [ppiindia] Fwd: Intelejen dan PKS dan CSIS


---------- Pesan terusan ----------
Dari: lutfi trisno badung jaya <[EMAIL PROTECTED]>
Tanggal: 6 November 2008 20:58
Subjek: Intelejen dan Islam Radikal
Ke: [EMAIL PROTECTED]

Intelejen dan Islam Radikal
oleh : He-Man*

Strategi Pecah Belah dan Kuasai

Paska turunnya L.B Moerdani strategi intelejen dalam menghadapi
kekuatan Islam pun berubah.Teknik tebar, pancing, jaring ala Ali Moertopo
mulai ditinggalkan karena justru malahan menambah instabilitas. Strategi
yang kemudian dilakukan intelejen kemudian lebih soft bahkan dibuat
seolah-olah pemerintah mendukung kekuatan Islam.

Pada masa itu gerakan-gerakan alternatif di luar ormas-ormas islam dan
kepemudaan islam mulai marak.Sejumlah organisasi remaja masjid tumbuh pesat
di masjid-masjid raya juga masjid-masjid kampus. Sebagian kalangan aktivis
muda mulai mengubah konsep dakwah mereka menjadi dakwah kultural dan
berusaha membaurkan diri dengan masyarakat. Misal saja organisasi remaja
masjid waktu itu aktif bergerak dengan sistim jemput bola pada remaja-remaja
bermasalah seperti anggota gank motor, pecandu narkoba dll

Dan ini dianggap pemerintah sebagai sebuah ancaman baru .Salah satu
point penting untuk menunjang kekuasaan rezim Soeharto adalah memastikan
semua organisasi yang ada dan hidup di Indonesia berada dalam cengkraman dan
kendali pemerintah.Bukan saja organisasi keagamaan atau politik tapi juga
organisasi profesi seperti IDI atau organisasi para hobbies seperti RAPI pun
dibawah kendali pemerintah dimana para pimpinannya tidak bisa naik kalau
tidak mendapat 'restu' dari pemerintah. Akan tetapi organisasi-organisasi
remaja masjid juga majlis-majlis taklim yang tumbuh pada masa itu tidak
demikian.

Organisasi-organisasi itu bersifat independen dengan struktur organisasi
yang cair. Akan tetapi pertumbuhan anggotanya sangat luar biasa. Karena
itulah semua organisasi dakwah "liar" itu harus segera
dikontrol. Pendekatan awal pemerintah adalah berusaha menyatukan semua
organisasi dakwah tersebut dalam sebuah organisasi atau perhimpunan formal
dimana kemudian pemerintah bisa mengontrolnya melalui organisasi tersebut.
Danpemerintah pun merestui organisasi tersebut bahkan memfasilitasinya
dengan menempatkan organisasi-organisasi tersebut untuk berkantor di masjid
negara Istiqlal[9]. Akan tetapi eksperimen ini gagal, para aktivis yang
berusaha menjaga jarak dengan pemerintah menolak mengikuti gagasan tersebut.

Dan intelejen pun kemudian menggunakan pendekatan lain yang intinya
memamfaatkan potensi kekuatan dari kelompok-kelompok dakwah tersebut dimana
kemudian mereka bisa dimamfaatkan untuk kepentingan rezim. Akan tetapi
mereka harus dikebiri terlebih dahulu kekuatan untuk melumpuhkan potensi
ancamannya.

Dan Bakin pun menugaskan Soeripto untuk menjalankan tugas ini dan
mengangkatnya sebagai Ketua Tim Penanganan Masalah Khusus
Kemahasiswaan DIKTI/Depdikbud pada tahun 1986-2000[10] .Tugas dan misi
khusus yang diemban Soeripto adalah membentuk jaringan organisasi radikal
Islam baru di kalangan remaja masjid dan gerakan kampus yang berada dibawah
binaan dan pengawasan intelejen.Proyek ini sendiri pada dasarnya adalah
kelanjutan proyek yang dikerjakan oleh Kol Pitut Soeharto atas perintah Ali
Moertopo.

Soeripto pria kelahiran 20 November 1936 ini merupakan kader Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dengan masuknya ia dalam keanggotaan Gerakan
Mahasiswa Sosialis (GMSos) pada tahun 1957. Ia kemudian bergabung oleh Kodam
Siliwangi sebagai kader militer Sukarela pada tahun 1967 dan dibawah
pembinaan Kharis Shuhud. Soeripto kemudian menjadi kader intel binaan
Pangkowilhan (Wijoyo Suyono, Soerono dan Wahono), dan secara struktur
dibawah komando Yoga Sugama di Bakin yang waktu itu dipimpin Sutopo Juwono.
Sempat menduduki jabatan
sebagai Kepala Staff Bakin dan Sekretaris Lembaga Studi Strategis /
Wanhankamnas dan menjadi utusan khusus Pemerintah RI untuk normalisasi
hubungan dengan RRC pada tahun 1981.Saat ini Soeripto memegang jabatan di
DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan menjadi anggota DPR-RI asal partai
ini. Untuk menjalankan misinya Soeripto merekrut Helmy Aminuddin putra dari
Danu Muhammad Hasan.

Helmi Aminuddin sebelumnya menjabat sebagai Mentri Luar Negri NII
fraksi Adah Djaelani sebelum akhirnya ditangkap dalam sebuah operasi oleh
Kopkamtib pada tahun 1980 dan ia kemudian ditahan tanpa pernah diajukan ke
pengadilan di Rumah Tahanan Militer Cimanggis sebelum akhirnya ia akhirnya
dibebaskan antara tahun 1983-1984[11]. Selepasnya dari penjara Helmy
Aminuddin yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majlis Syuro Partai Keadilan
Sejahtera (PKS)[12] berada di bawah binaan Soeripto lalu kemudian dikirim ke
Timur Tengah untuk mempelajari mengadopsi ajaran dan manhaj serta
berhubungan langsung secara organisasional dengan gerakan Ikhwanul Muslimin
faksi
Qiyadah Syaikh Sa'id Hawwa pimpinan Ikhwanul Muslimin cabang Suriah
sekitar tahun 1985. Dimana sepulangnya dari sana dibawah dukungan Bakin dan
arahan dari Soeripto dibentuklah Jamaah Tarbiyah pada antara tahun 1987-1988
dengan doktrin utama dari pemikiran Sa'id Hawwa yang diterjemahkan menjadi
beberapa seri buku Allah, Ar Rasul , Al Islam dan Jundullah dan diterbitkan
oleh Al Ishlahy Press yang menjadi bacaan wajib para kader inti gerakan.

Helmy Aminuddin sendiri kemudian menjadi Mursyid 'Aam[13] Jama'ah Tarbiyah
pada tahun 1991. Tujuan pertama pembentukan kelompok ini adalah menyatukan
semua kelompok-kelompok dakwah masjid dalam satu kelompok besar yang
dikendalikan intelejen. Salah satu kesulitan utama pemerintah mengontrol
organisasi-organisasi ini adalah karena mereka bersikap independen dimana
masing-masing organisasi memiliki struktur , cara dan metode masing-masing
yang berlainan antara satu dengan yang lain. Dengan metode penyeragaman yang
dilaksanakan oleh jama'ah tarbiyah maka seluruh organisasi masjid tersebut
bisa dikontrol dengan mudah dengan cukup memegang pucuk pimpinannya saja.

Tujuan kedua adalah mencegah kebangkitan kekuatan Islam. Dua unsur
utama yang menjadi syarat bangkitnya kekuatan Islam adalah dukungan dari
ummat dan persatuan antar komponen aktivis islam. Karena itu kekuatan
organisasi masjid didesain untuk menjadi organisasi eksklusif dan elitis
yang cuma terfokus ke dalam[14].Selain itu hubungan dengan kelompok dakwah
lain didesain untuk selalu berada dalam suasana yang tidak harmonis bahkan
dipenuhi prasangka dan kecurigaan bahkan kebencian yang akut.

Dengan pembinaan dengan metode cuci otak maka secara instan kader-
kader kelompok ini bisa dicetak dengan cepat.Untuk menunjang penyebaran
ideologinya maka diterbitkanlah majalah Sabili[15] pada tahun 1987 kemudian
juga penerbitan Gema Insani Press yang menyebarluaskan paham radikal ini
melalui media dan penerbitan buku-buku ideologis dengan harga yang sangat
murah padahal dengan mutu cetakan yang cukup mewah karena mendapat subsidi.
Majalah Sabili sendiri beredar secara luas walaupun tidak dilengkapi dengan
SIUPP[16] dan dijual dengan harga hanya 600 rupiah padahal dengan mutu
kertas yang bagus plus nyaris tanpa iklan. Dan buku-buku terbitan GIP pada
masa itu dijual dengan mulai harga 600-5500 rupiah saja (katalog
tahun 1991) sehingga terjangkau oleh kantong pelajar dan mahasiswa bahkan
akhirnya bersama penerbitan buku-buku sealiran yang lain , buku-buku harokah
pun menggusur buku-buku islam yang lain.

Dan para aktivis dakwah masjid yang terbiasa dengan pola musyawarah
dan penyeimbangan kekuatan tiba-tiba dikejutkan oleh aksi-aksi pengambil
alihan khas intelejen dilakukan oleh aktivis jamaah taribyah seperti
mobilisasi massa, black propaganda, penculikan aktivis, teror dan intimidasi
dll[17]

Dan ketika berhasil mengambil alih kekuasaan kelompok ini kemudian
langsung melakukan aksi-aksi pembersihan dan penyeragaman. Paham ukhuwah
digantikan dengan paham ashobiyah seluruh aktivis yang tidak mengikuti
kelompok mereka disingkirkan demikian juga semua hubungan dengan kelompok
dakwah lain dibekukan bahkan akhirnya kelompok-kelompok ini digusur dari
masjid. Seluruh aktivitas dakwah yang berhubungan dan/atau melibatkan
partisipasi masyarakat dihentikan. Aktivitas masjid hanya diarahkan untuk
pembinaan internal demi
mencetak sebanyak-banyaknya kader militan dan radikal di masjid.
Kelompok-kelompok diskusi dibubarkan dan metode pengkaderan digantikan
dengan indoktrinisasi.

Aktivis masjid pun seketika itu menjadi sebuah komunitas yang asing
bagi masyarakat Isu-isu kemasyarakatan tidak lagi menjadi perhatian. Isu
masalah jenggot pun menjadi sangat pentingnya sampai akhirnya menggusur isu
mengenai kenakalan remaja , isu jilbab menjadi agenda yang menjadi prioritas
utama mengalahkan isu penyalahgunaan narkoba.

Maka dengan menggunakan tangan kelompok radikal akhirnya kekuatan
aktivis masjid pun dilumpuhkan total. Dengan hilangnya potensi ancaman utama
kelompok dakwah masjid maka aktivis dakwah masjid tidak lagi dianggap
sebagai ancaman , dan tindakan represi terhadap kelompok ini pun
dilonggarkan. Ketika sebuah masjid jatuh ke tangan radikal maka
intelejen pun menghentikan operasi-operasi pengawasan yang ketat pada
mereka. Itulah sebabnya aktivitas jama'ah tarbiyah tidak pernah mendapat
gangguan dari aparat pada masa itu walaupun mereka menyebar paham radikal
sementara kelompok-kelompok islam lainnya justru terpaksa tiarap. Dan dengan
dikuasainya masjid-masjid oleh kelompok radikal maka peristiwa pendudukan
gedung DPR RI oleh gabungan massa dari berbagai ormas pemuda dan remaja
islam seperti pada waktu penolakan RUU Perkawinan pun tidak perlu
dikuatirkan lagi[18].

Ketaatan yang kuat di kalangan jama'ah tarbiyah dan kelompok radikal
islam lainnya pada pucuk pimpinannya memudahkan pemerintah untuk mengawasi
dan mengendalikan kelompok-kelompok ini, karena dengan cukup memegang
kepalanya saja maka seluruh anggotanya akan tunduk dan patuh. Paham
eksklusif kelompok radikal menjadi penentu sukses penggunaan metode "pecah
belah dan kuasai" kelompok-kelompok Islam melalui ideologi kaum harokah yang
menolak perbedaan dan keberagaman serta paham dominasi terhadap kelompok
lain maka
hubungan antar organisasi dakwah pun berada dalam suasana yang tegang dan
penuh kecurigaan antar sesama mereka bahkan lebih jauh lagi cenderung pada
kondisi untuk saling menghancurkan dan menjatuhkan satu sama lain.

Tapi ada tujuan lain yang lebih penting dari pembentukan kelompok
radikal ini yaitu menyediakan cukup banyak orang-orang bodoh yang bisa
dimamfaatkan juga dikorbankan oleh intelejen. Kalangan intelejen adalah
sebuah kelompok yang selalu bergerak di balik layar.Kerahasiaan adalah poin
utama dalam semua operasi-operasi mereka, bahkan seringkali karena sangat
rahasianya Presiden pun kadang tidak tau apa yang dikerjakan mereka. Itulah
sebabnya di banyak negara intelejen kadangkala berubah menjadi negara dalam
negara bahkan seorang Presiden pun bisa mereka bunuh bila dianggap
membahayakan negara (berdasarkan versi mereka), contoh kasus adalah
terbunuhnya John F
Kennedy presiden Amerika Serikat yang dicurigai didalangi oleh agen-
agen intelejen dari negrinya sendiri.

Karena itulah dalam setiap operasinya intelejen cenderung berusaha
memamfaatkan dan menggunakan tangan orang lain.Personel yang terpilih
menjadi anggota intelejen selalu merupakan kader terbaik di
kesatuannya masing-masing karena intelejen hanya membutuhkan orang yang
memiliki kecakapan dan kualifikasi terbaik.Oleh sebab itu sangatlah mahal
kalau harus mengorbankan kader-kadernya sendiri.

Dan kandidat paling cocok untuk menjadi pelaksana lapangan tugas dan
aksi rekayasa intelejen adalah orang fanatik.Orang-orang fanatik selalu
siap secara sukarela untuk mengorbankan apa saja termasuk nyawanya sendiri
demi tujuan atau cita-cita ideologisnya. Mereka juga tidak terlalu banyak
bertanya atau menuntut. Karena itulah mereka menjadi pion yang cukup tepat
karena mereka bisa dengan mudah dihasut dan diarahkan melakukan suatu tugas
tanpa mereka sendiri menyadarinya sekaligus bisa dengan mudah untuk
dikorbankan dan dihabisi dengan tanpa mendapatkan kerugian apa-apa.

Dan inilah yang menjawab keanehan fenomena kelompok radikal Islam di
Indonesia dibanding kelompok serupa di luar negri.Di negara-negara
lain kelompok radikal Islam selalu berada dalam posisi vis a vis dengan
pemerintah yang didukung militer dan intelejen sementara di Indonesia
malahan kebalikannya. Para tokoh radikal Islam Indonesia justru
bermesraan dengan militer dan intelejen. Ditempatkannya mantan kepala staff
Bakin menjadi pucuk pimpinan PKS sebuah partai yang didirikan jamaah
tarbiyah dan kecenderungan pemihakan dari elite partai itu pada kandidat
presiden dari militer memperlihatkan dengan jelas siapa sebenarnya mereka.
Tapi sungguh disayangkan para pion ini tidak pernah sadar bahwa dirinya cuma
pion, bahkan mereka merasa memamfaatkan bukan dimamfaatkan dalam meninjau
hubungannya dengan militer dan intelejen.

Berhentikah Aktivitas Intelejen ?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat pada masa reformasi
seperti saat ini kalangan intelejen seakan-akan tiarap untuk cuci tangan.
Tapi pada dasarnya operasi intelejen pada aktivis Islam tidak pernah
berubah.

Terbunuhnya Tengku Fauzi Hasbi alias Abu Jihad bersama kawannya Edy
Saputra dan Ahmad Syaridup setelah diculik dari hotel Nisma di Waihaong,
Ambon pada 22 Februari 2003 dimana pelakunya dipimpin oleh intel polisi
bernama Mohamad Syarif Tarabubun memperlihatkan adanya kemungkinan
perseteruan di tubuh intelejen RI.

Abu Jihad sebenarnya adalah anggota TNI dari satuan Infantri Kodam
Bukit Barisan yang direkrut intelejen sejak tahun 1978 untuk menyusup ke
GAM. Belakangan ia juga ditugaskan untuk menggarap NII diantaranya
dengan mengatur rekonsiliasi NII antara fraksi Ajengan Masduki, fraksi
Tahmid, fraksi Abu Toto, pada bulan Agustus 1999 di Cisarua Bogor.Ini tentu
saja sesuat yang janggal karena GAM tidak pernah punya kaitan dan hubungan
resmi dengan kelompok Islam radikal bahkan corak mereka condong pada
ideologi sosialis.

Kasus penangkapan Umar Al Faruq tersangka teroris JI yang kemudian di
ekstradisi ke Amerika Serikat untuk kemudian ditahan ke Baghram,
Afghanistan, setelah sebelumnya juga dipenjara di Guantanamo, Kuba
mengungkapkan lagi keterlibatan agen intelejen di tubuh organisasi
Islam Radikal. Umar al Faruq ditangkap bersama seseorang yang bernama Abdul
Haris yang kemudian dilepas begitu saja. Dalam perkembangannya terungkap
bahwa ia sebenarnya adalah agen organik Bakin yang menyusup ke jaringan
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir di Malaysia sejak tahun 1986.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah kedua nama ini (Abu Jihad dan Abdul
Haris) di dalam struktur Jamaah Islamiyah (JI) merupakan atasan dari
Hambali dan Zulkarnain alias Arif Sunarso koordinator JI.Jadi apakah
intelejen juga berperan dalam kasus terorisme yang terjadi beberapa tahun
belakangan ini, bisa jadi waktu pula yang akan menjawab.

[Non-text portions of this message have been removed]



 

Kirim email ke