Jangan Marah
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani an-Naqshbandi qs 

Bismillahir Rohmaanir Rohim 

Islam datang untuk mengajarkan kepada manusia sifat yang baik. Islam berperang 
melawan sifat buruk dan sifat yang paling buruk adalah Amarah! Siapa saja yang 
marah mempunyai semua sifat buruk. Dia yang tidak bisa meredam amarahnya tidak 
bisa menjaga Imannya, tidak juga ibadah dan amalan baiknya.
 
Sifat marah menghapuskan semua hal baik; tak ada yang tersisa ketika amarah 
muncul. Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan umatnya agar menghindar 
dari sifat amarah, Beliau saw bersabda, "Petarung yang paling kuat ialah dia 
yang bisa meredam amarahnya!"
 
Siapa saja yang ditaklukkan oleh amarahnya, dia termasuk orang yang tidak 
berguna dan tidak bisa menjadi hamba Allah yang Maha Kuasa. Ini karena saat dia 
marah, dia akan meninggalkan semua hal demi amarahnya. Ini artinya egonya yang 
memerintahkan dia. Dia berada di bawah perintah egonya dan dia tidak bisa 
mematuhi perintah Tuhannya.
 
Kita harus selalu berlatih meninggalkan sifat marah. Suatu ketika, kami sedang 
duduk bersama Grandsyeh (kakek guru) Abdullah Faiz qs (alm) kami bersama 
pelayan beliau yang sudah tua. Saat kami sedang duduk, tiba-tiba seekor nyamuk 
hinggap dan menggigit pelayan tersebut. Segera ia menjadi marah dan membunuh 
nyamuk itu. Grandsyeh Abdullah qs melihatnya dan memberitahu saya, "Katakan 
padanya, Nazim Effendi, bahwa dia harus bangkit dan memperbaharui wudunya. 
Wudunya sudah tidak baik. Wudunya sudah hilang bersama kemarahannya. "
 
Membunuh seekor lalat dengan kemarahan bahkan merupakan tindak kejahatan, suatu 
dosa! Amarah adalah sifat yang paling buruk. Semua negara berperang demi sifat 
marah dan semua orang demikian juga. Amarah tumbuh bagaikan lautan bagi semua 
sifat buruk. Bila kamu bisa mengeringkan lautan tersebut, maka tak ada lagi 
sifat buruk bisa hidup di dalamnya - tamat. Ini adab yang amat, sangat baik. 
Kamu harus memanfaatkan ini, karena ini termasuk perintah Allah, RasulNya (saw) 
dan semua Aulia (Wali-wali Allah).
 
Grandsyeh Abdullah qs adalah seorang dokter spiritual yang ahli untuk penyakit 
yang berkaitan dengan ego. Inilah resep beliau bagi kita, ketika kita sedang 
marah: “Jika kamu sedang marah, pergi dan lakukanlah wudu. Ini karena kemarahan 
adalah api, dan api akan sirna dengan air. Oleh karena itu, lakukanlah wudu”. 
 
Kemarahan hanya diperbolehkan bagi ego kita. Jika kamu harus marah, marahlah 
dengan nafsumu, yang menjauhkan kamu dari Tuhanmu! Saya akan ceritakan kepada 
kalian satu kisah, juga dari Grandsyeh, mengenai hal ini:
 
"Ada seorang 'Majdhub' (orang gila), tapi bukan gila dalam artian yang umum. 
Dia adalah orang yang 'gila' karena Allah. Dia berada di atas orang-orang 
biasa, di atas tingkatan yang berbeda dari mereka. Sebaliknya, seorang 'majnun' 
adalah orang gila, yang dalam artian umum; dia berada di tingkatan yang lebih 
rendah dari orang normal. Suatu ketika, hiduplah seorang majdhub di suatu kota 
tertentu. Suatu hari, dia sedang berjalan-jalan saat dia berpapasan dengan 
sekolompok anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak tahu ketika seseorang 
berada dalam tingkatan yang luar biasa, maka mereka senang berlarian mengejar 
orang tersebut dan membuat kesulitan terhadapnya. Maka, suatu ketika seorang 
anak laki-laki melempar batu kepada majdhub tersebut dan mengenai kepalanya. 
 
"Segera ketika batu mengenainya, majdhub tersebut mulai menampar dirinya 
sendiri, sambil berkata, 'Pulanglah ke tanah negerimu! Pulanglah ke rumahmu!' 
Ketika anak-anak yang terheran-heran menyaksikan, majdhub itu terus melanjutkan 
perjalanannya, sambil memukul dirinya sendiri dan berulang-ulang mengucapkan, 
'Pulanglah ke rumahmu! Pulanglah ke rumahmu!'".
 
Apa makna dari cerita ini? Grandsyeh kami menyampaikan bahwa majdhub itu 
mengajarkan kita tentang ego kita. Ketika dia berkata, "Pulanglah ke rumahmu, 
pulanglah ke rumahmu!" Maksudnya adalah bahwa, "Wahai egoku! Jika kamu 
baik-baik saja, maka anak-anak ini tidak akan melempar batu kepadamu. Kamu 
harus kembali ke rumahmu, pada janji yang kamu buat kepada Tuhanmu. Pada Hari 
Perjanjian sebelum kamu datang ke dunia ini, Tuhanmu bertanya, 'Akukah 
Tuhanmu?' dan kamu menjawab, 'Betul, Engkaulah Tuhanku!' Saat kamu kembali pada 
janji tersebut, tak ada yang memberikanmu kesulitan. Ketika anak itu 
melemparkanmu dengan batu tersebut, wahai egoku, hal itu untuk menarik 
perhatianmu pada kenyataan bahwa kamu harus berhati-hati dengan janjimu kepada 
Tuhanmu. Kamu harus, oleh karenanya, pulang ke tanah negerimu, kembali kepada 
Tuhanmu.
 
"Kisah ini bermakna bahwa kamu tidak punya hak untuk marah terhadap orang lain. 
Kamu harus mengalihkan amarahmu kepada egomu sendiri! Kamu harus berpikir, 
"Jika saya baik-baik saja, maka semuanya akan baik-baik saja bersama saya. Jika 
saya tidak baik, maka orang tidak akan baik bersama saya." Jadi kita akan marah 
dan melawan hanya pada ego kita sendiri. "Amarah terdiri dari dua macam," ujar 
Grandsyeh Abdullah qs. "Yang pertama adalah amarah orang biasa. Orang biasa 
marah karena egonya, bukan karena Allah yang Maha Kuasa. 

"Kalian bisa berkata, 'Bagaimana? Jika seorang melihat kesalahan, bukankah dia 
harus marah?' Betul, saya sependapat dengan kamu. Tapi pertama-tama, saya akan 
katakan padamu, mengapa kamu tidak marah dengan diri sendiri, dengan nafsumu? 
Jika kamu melihat kesalahan dan menjadi marah, kamu harus melihat pertama kali 
kepada diri sendiri, pada egomu! Marahlah padanya! Hukumlah karena kesalahanmu! 
Karena berbicara yang buruk, karena melihat yang haram; mengapa kamu tidak 
menghukum dirimu sendiri? Mudah untuk menghukum orang lain, terlalu mudah. 
Mudah untuk membunuh orang lain;  maka sebagai gantinya, bunuhlah egomu!
 
"Ketika kamu sedang marah, perbaharuilah wudu, dan ucapkan tiga kali syahadat 
dan tujuh puluh kali 'Astaghfirullah. ' Inilah hukumanmu!" 
Saat cermah ini disampaikan para murid merasa gelisah untuk menghukum ego 
mereka, dan mereka  bertanya pada Syeh Nazim sebagai berikut:
 
"Apakah boleh berpuasa selama satu minggu?"
"Tidak," jawab Syeh Nazim, tidak perlu. Berwudhu, syahadat dan astaghfirullah 
sudah cukup."
"Tapi kami sudah menjalankan puasa Senin dan Kamis, dan ternyata tidak cukup 
meredam amarah kami, bolehkan kami berpuasa seminggu penuh, seorang murid 
bersikeras.
 
"Tidak perlu," jawab Syeh Nazim qs. "Kamu boleh berpuasa dari pandangan yang 
haram. Kamu boleh berpuasa dari rasa marahmu. Kamu boleh berpuasa dari 
kata-kata buruk! Bukan puasa  makan atau minum - puasa macam itu saya tidak 
inginkan. Terlalu mudah beribadah tanpa makan. Saya tidak inginkan hal itu. 
Puasalah dengan Jangan berkata buruk, jangan melihat yang buruk, jangan marah, 
itu sulit bagi kalian. Begitu banyak orang berpuasa, tapi mereka marah tujuh 
puluh kali lipat sampai maghrib! Mereka berkata, 'Kita sedang puasa!' Bagaimana 
bisa kamu berpuasa, jika kamu sedang marah!"
 
"Saya rasa itu sudah menggambarkan hampir semua puasa saya!"
"Nah?" Syeh tersenyum. "Sudah jelas, terang?" Beliau menoleh pada murid yang 
lain, dan bergurau, "Sekarang dia takut saya akan menghukumnya tiga hari tanpa 
makan!"

Maulana melanjutkan: "Amarah jenis kedua yaitu Amarah karena Allah yang Maha 
Kuasa. Ini hanya untuk mereka yang telah berhasil membunuh egonya."
 
"Saya rasa kita belum perlu khawatir mengenai hal itu," ujar salah seorang 
murid. 
"Betul," jawab Syeh Nazim qs, "kita masih terlalu jauh dari sifat tersebut!"
 
Murid yang lain bertanya, "Apa yang anda lakukan terhadap anak-anak yang 
bertingkah nakal? Terkadang mereka bisa membuat anda marah."
 
Syeh Nazim menjawab, "Kamu boleh memberikan mereka 'tarbiya,' yaitu mendidik 
mereka dengan adab yang baik. Juga, 'taqlib,' yaitu membuat mereka takut akan 
ucapanmu. Ini ibarat berakting; suara yang galak, tapi sesungguhnya kamu tidak 
marah. Kamu juga boleh memukul mereka, tapi jangan pernah dengan amarah. Amarah 
dilarang!"
 
Pertanyaan lain: "Jika anda sedang berjihad, jika anda dalam perang, apakah 
lebih baik berperang tanpa amarah?"
 
Syeh Nazim qs menjawab, "Tanpa amarah." Ini mengembalikan beliau pada wacana 
awal: "Amarah karena Allah. Harus dalam Jihad, dalam perang, tapi amarah itu 
bukan untuk dirimu sendiri; untuk Allah. Grandsyeh Abdullah qs menceritakan 
kisah Sayidina Ali (ra), yang bisa mendidik kita mengenai hal tersebut:
 
"Suatu ketika, selama perang Suci pada masa Rasulullah (saw), Sayidina Ali (ra) 
sedang berkelahi melawan seorang prajurit musuh dalam satu pertempuran yang 
ganas. Prajurit ini seorang petarung yang kuat dan besar dan saat itu merupakan 
pertempuran yang berat. 
"Tiba-tiba, Sayidina Ali (ra) berhasil melumpuhkan lawannya. Beliau 
menjatuhkannya ke tanah dan mengangkat pedang beliau guna membunuh orang 
tersebut. Pada saat yang sama, ketika pedang itu akan menyambar, prajurit yang 
kalah tersebut meludahi wajah Sayidina Ali ra.
 
"Sayidina Ali (ra) menurunkan pedangnya dan melihat musuh beliau. 'Bangun!' 
ucap beliau. 'Bangun! Saya tak bisa membunuhmu!'  "Si prajurit musuhpun 
terheran-heran. 'Mengapa engkau tak membunuhku, Ali?' dia bertanya. 'Mengapa 
engkau membiarkanku seperti ini? Bukankah aku musuhmu?'  "Sayidina Ali (ra) 
mengatakan: 'Ini karena aku telah dipenuhi dengan amarah egoku hingga aku tak 
bisa membunuhmu! 

Sebelum kamu meludahi wajahku, aku sedang berkelahi dengamu demi Allah. Tapi, 
ketika kamu meludahi aku, aku menjadi marah karena egoku! Oleh karena itu, aku 
tak bisa membunuhmu! Kamu boleh pergi.'  "Kata-kata ini menyentuh hati si 
prajurit yang kalah tersebut. 'Wahai Ali!' serunya, 'Engkau berada di jalan 
yang benar! Mohon bawalah aku kepada Rasulmu Muhammad sallallahu alayhi 
wasalam!'  "Kemudian, prajurit itu dibawa kepada Rasulullah (saw) dan di tangan 
Rasulullah, ia masuk Islam."
 
"Oleh karena itu," ujar Syeh Nazim, "jika amarahmu seperti ini, jika kamu 
seperti Sayidina Ali (ra), maka kamu juga boleh marah. Bila sifatmu tidak 
seperti itu, kamu harus menyimpannya untuk dirimu sendiri!"
 
Wa min Allah at Tawfiq

Wasalam, arief hamdani
www.mevlanasufi.blogspot.com 
www.rumicafe.blogspot.com

Diambil dari The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani qs 
(almarhum), wafat 1974 M, oleh Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani, Mursyid Tariqah 
Naqshbandi Haqqani Dunia, berusia 90 tahun, Mufti Cyprus Turky saat ini, 
tinggal di Lefke, merupakan The Living Sufi Legend, Memegang Otoritas Tujuh 
Tariqah Besar Dunia, dengan jutaan  murid tersebar di lima benua.




      

Kirim email ke