Refleksi: Di negeri-negeri kafir seperti di Skandinavia, umumnya setiap orang 
yang mati dibedah (obduksi) untuk mengetahui sebab musabab kematian, kalau mati 
kecelekaaan dan orangnya dipastikan sehat dan lagi sudah menandatangani surat 
kontrak sebagai donator organ bila mati kecelekaan,  maka bahagian tubuhnya  
seperti hati, jantung, ginjal bisa disumbangkan kepada pasien yang membutuhkan 
transplantasi. 

http://www.gatra.com/artikel.php?id=118277


Bahtsul Masail
Jenazah untuk Praktikum Bedah


Kelompok Kerja Program Silent Mentor, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 
(FK-UI), minta panduan agama kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 
Program di FK-UI itu hendak menggunakan jenazah untuk pelatihan bedah. Selama 
ini, latihan bedah menggunakan pasien hidup. Risikonya, kerap terjadi kesalahan 
yang berakibat cacat dan kematian.

Bila pakai model kera atau babi, hasilnya kurang efektif, karena struktur hewan 
berbeda dari manusia. Paling tepat menggunakan mayat baru, karena struktur 
anatomi dan jaringannya masih sama dengan manusia hidup. Sehingga suasana 
latihan pun mirip bedah sungguhan. Jenazah demikian dicapai bila sebelum 
delapan jam sejak meninggal diawetkan dengan teknik tertentu.

Regulasi seputar donor mayat untuk keperluan pendidikan selama ini diatur dalam 
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1981. Di sana diatur ketentuan 
persetujuan keluarga jenazah, lokasi baku operasi bedah, status mayat tak 
dikenal, dan sebagainya. Meski sudah diatur negara, masih ada pasal yang 
menyerahkan urusan pada ketentuan agama.

Bagaimana perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat, menurut 
Pasal 4 dan 8 PP itu, dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing. Karena 
populasi terbesar negeri ini muslim, FKUI perlu bertanya tentang pandangan 
hukum Islam kepada PBNU. Kamis siang pekan lalu, digelarlah kajian awal lewat 
forum bahtsul masail di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, dengan tema ''Perspektif 
Hukum Islam tentang Program Silent Mentor''.

"Kami berharap bisa dibantu para kiai bagaimana desain hukum agamanya," ujar 
dr. Aditya Wardhana, wakil dari FKUI. PBNU menghadirkan Faizah Ali Sibromalisi, 
doktor tafsir lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Kebetulan Faizah juga 
anggota Komisi Fatwa MUI. Dikatakan bahwa empat bulan sebelumnya, Komisi Fatwa 
MUI mengkaji tema serupa.

Ada pertanyaan dari lembaga penelitian yang hendak mengembangkan obat baru 
pengawetan jenazah. Obat yang dimasukkan lewat dubur itu bisa dipakai, 
misalnya, untuk mengawetkan jenazah TKI yang akan dipulangkan ke Tanah Air. 
Untuk meneliti efektivitasnya, obat itu akan diujicobakan pada jenazah asli. 
Bolehkah jenazah tidak langsung dikuburkan untuk keperluan riset?

Sebagai studi pendahuluan, MUI menugasi anggotanya, KH Ahmad Munif 
Suratmaputra, membuat makalah. Karena belum banyak literatur fikih klasik yang 
mengupas tema ini, Faizah dalam diskusi di PBNU itu sepenuhnya mengutip makalah 
Munif Suratmaputra. Gatra kemudian menemui langsung Munif di pesantren 
asuhannya, Nuruzzahroh, di Depok, Jawa Barat.

Munif mengisahkan kasus nyata di Malang, Jawa Timur. Pada Juli 2003, Budi 
Setiawan, 75 tahun, mendonorkan seluruh organ tubuhnya untuk kemanusiaan dan 
kedokteran. Donor ini diserahkan keluarga kepada FK Universitas Brawijaya 
(Unibraw) dan Bank Mata Cabang Malang. Sehari setelah meninggal, dua kornea 
matanya didonorkan kepada warga Malang dan Surabaya.

Serah terima jenazah total dilakukan empat hari setelah Budi meninggal. Selain 
kornea mata, organ tubuh Budi tidak dapat didonorkan. Sebab ia meninggal biasa. 
Tapi jenazah Budi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran. Jenazah tadi 
telah diawetkan.

Praktek demikian, menurut Munif, disinyalir sudah lama berlangsung dalam dunia 
kedokteran. Sering terjadi pada jenazah korban kecelakaan yang tidak 
teridentifikasi atau tidak diketahui keluarganya. ?Bahkan ada informasi, ada 
yang terjadi lewat transaksi jual-beli dengan nilai hingga berjuta-juta,? kata 
Munif.

Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian, menurut pelacakan Munif, 
termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran dan 
hadis (nash). Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak 
bisa dipakai metode qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian fikih, kata 
Munif, dicari solusinya dengan metode takhrij. Yakni, dicari analogi pada norma 
hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.

Dalam literatur fikih kontemporer, Munif menemukan dua model pendapat. Pertama, 
pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek 
demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad 
Bukhet al-Mith'i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan: 
mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan 
menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian, 
katanya, tidak boleh (la yajuuz).

Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. 
Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang 
tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta 
dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum 
atau almarhumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak 
manusia harus didahulukan di atas hak Allah.

Dalam mazhab Syafi'i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan 
secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin 
Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi 
dan Syafi'i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali melarang.

Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali 
kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. "Engkau 
jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal 
sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup," sabda Nabi, 
diriwayatkan Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.

Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu 
secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan alasan pendapat yang 
membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah, 
sebagaimana ditelusuri Munif, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh 
Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial 
(maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, 
seperti menyelamatkan janin, maka termasuk pengecualian.

Menurut Munif, fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa 
penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai 
penyelidikan, mayat itu wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu 
sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.

Akhirnya sidang Komisi Fatwa MUI, empat bulan lalu, membuat keputusan dengan 
beberapa klausul. Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab 
jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup 
wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.

Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas 
(muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan 
keilmuan dan mendatangkan maslahat lebih besar: memberikan perlindungan jiwa. 
Bukan untuk praktek semata.

Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya 
dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus 
dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian 
telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat 
Islam. Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan 
mekanismenya.

Fatwa MUI juga disampaikan pada diskusi di PBNU itu oleh Aminuddin Yaqub, 
Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Peserta diskusi di PBNU meminta NU tidak langsung 
mengambil keputusan. Pengurus Lembaga Bahtsul Masail kemudian membentuk tim 
khusus untuk mematangkan rumusan itu.

Asrori S. Karni, Deni Muliya Barus, dan M. Nur Cholish Zaein
[Agama, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 4 September 2008

Kirim email ke