Ramadhan telah berlalu namun ada kisah di penghujung ramadhan yang kiranya 
sayang untuk dilewatkan.
l.meilany
---------------------------------------
"Kinclong", tapi Bolong
Oleh : Fradhyt Fahrenheit, Penulis Novel
KOMPAS, Jumat, 25 September 2009 | 02:45 WIB

Tiga hari menjelang Lebaran lalu, saya sedang menunggu teman-teman saya berbuka 
puasa bersama di sebuah restoran berputar nan mewah di salah satu gedung 
pencakar 
langit di Jakarta. Suasana begitu syahdu di ruangan ini, jauh berbeda dengan 
jalanan 
di bawah sana yang hiruk pikuk dan macet.

Di meja sebelah berkumpul tiga ibu muda. Mereka adalah para sosialita yang 
sering terlihat 
di berbagai pesta kalangan atas Jakarta. Di hadapan mereka tersaji hidangan 
melimpah 
ruah untuk berbuka puasa.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka memaki di telepon genggam.

"Tahu, enggak, Yem?! Baju itu seharga sepuluh tahun kamu kerja! Belum pernah 
dipakai, 
sudah kamu laundry?! Bego amat sih?! Pokoknya, harus sudah ketemu sebelum saya 
berangkat 
umrah besok! Kalau tidak, potong gaji dan kamu tidak boleh mudik!" sergahnya.
"Wah, Jeng Sisly jadi umrah?" komentar satu temannya.
"Biasa, Si Madame. Kalau Lebaran enggak ada bedinde sama tukang kebun, escape, 
deh!" 
timpal temannya yang lain.
"Oh iya, dong, habis umrah, kita langsung belanja ke Eropa. Aku lagi incar tas 
Louis Vuitton 
terbaru di Paris, sekalian ke London lihat konser 100 hari wafatnya Michael 
Jackson!" ujar orang 
pertama yang ternyata bernama Jeng Sisly itu.

Saya cuma tersenyum memandang "hiburan gratis" itu. Tiba-tiba di meja lain, 
terdengar seorang 
bapak muda bergaya metroseksual tidak kalah heboh mengumpat di telepon 
genggamnya.
"Pokoknya, saya tidak mau tahu, mobil harus sudah sampai besok pagi! Lebaran 
nanti buat saya 
pakai ke open house Pak Menteri! You minta servis yang bagus. Harga mobil itu, 
kan, hampir Rp 3 miliar?"

Sungguh suasana buka puasa yang bikin bete. Apakah mereka tak tahu makna puasa? 
Mereka mengejar 
kesempurnaan dan tampang kinclong pada hari Lebaran dengan cara mencaci maki.

Akhirnya, teman-teman saya pun datang. Mereka suami istri dari keluarga 
pengusaha jamu terpandang 
dan tentu saja kaya. Mereka mengajak saya ikut berlebaran bersama para korban 
gempa di sebuah 
desa di Tasikmalaya. 
Mereka berencana membagi zakat dan sembako kepada para korban itu dan tak mau 
ada publikasi!

Ah, seandainya semua orang terkaya di Jakarta seperti sosok teman saya 
itu....[lm]

-------------------------------------------------------------
l.meilany
011009

Kirim email ke