Megawati di Mata Sahabat dan Kompetitor Politik (1) 

Akbar Muda Sempat Mengantarkan Pulang setelah Les 

Sebanyak 38 tokoh nasional membuat catatan singkat dalam buku Mereka Bicara 
Mega. Salah satu di antaranya, Akbar Tandjung. Ternyata mereka sudah berkawan 
sejak duduk di SMP. Bagaimana ceritanya?

Priyo Handoko, Jakarta 

Matahari mulai tinggi menjelang tengah hari. Akbar Tandjung muda dengan 
perlahan-lahan mengeluarkan mobil Fiat cokelat miliknya dari area parkir 
Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) yang berada di salah satu sudut kota Jakarta. 
Duduk di sebelahnya, putri proklamator, Megawati Soekarnoputri.

''Waktu itu kami baru selesai les bahasa Inggris. Saya spontan saja menawari 
beliau (Megawati, Red) untuk diantar pulang. Kebetulan, saya lihat beliau belum 
ada yang menjemput. Eh, ternyata beliau bersedia. Jadi, saya antar saja sampai 
ke rumahnya di kawasan Menteng,'' kata Akbar kepada Jaw Pos Sabtu lalu (20/12).

Apa saja yang dibicarakan sepanjang perjalanan? ''Nggak ada yang istimewa. 
Pembicaraan yang biasa-biasa saja lah,'' jawab Akbar, lantas terkekeh. Cerita 
itu bukan fiksi politik. Peristiwa tersebut memang pernah terjadi sekitar 
1970-an. Usia Akbar dan Mega ketika itu tentu masih cukup muda.

Akbar sendiri menuturkan itu dalam catatannya dibuku berjudul Mereka Bicara 
Mega. Selain Akbar, terdapat 37 tokoh nasional lain yang ikut mengonstribusikan 
catatannya. Secara keseluruhan, buku 245 halaman itu merupakan kumpulan tulisan 
para tokoh.

Kepada Jawa Pos, Akbar kembali menyampaikan bahwa dirinya sempat satu sekolah 
dengan Megawati pada 1960, yakni di SMP Cikini, Jakarta Pusat. Megawati adik 
kelas Akbar. Meski begitu, mantan ketua DPR itu tidak pernah punya kesempatan 
sekali pun untuk berkenalan langsung dengan Megawati.

Bukan karena Megawati yang tengah menjadi putri presiden itu berlagak sombong, 
tapi aturan protokoler yang membatasinya. Apalagi, sehari-hari Megawati masuk 
kelas pagi, sedangkan Akbar masuk kelas sore.

''Saya hanya bisa mengagumi Ibu Mega, eh waktu itu Megawati. Soalnya kan bangga 
karena satu sekolah sama anak presiden,'' kenang Akbar. Begitu lulus dari SMP, 
Akbar melanjutkan ke SMA Kanisius. ''Setahu saya, Megawati terus di SMA 
Cikini,'' ujarnya.

Nah, setelah menjadi mahasiswa dan aktivis HMI pada 1970-an, Akbar kembali 
bersahabat dengan Megawati yang aktif di GMNI. Kebetulan keduanya juga 
sama-sama mengambil les bahasa Inggris di LIA. ''Tahun-tahun itu suasana 
berubah total. Bung Karno sudah lengser. Protokoler yang melekat pada diri 
Megawati menjadi lebih longgar. Tapi, saya hanya mengantar Megawati sekali itu 
saja lho,'' kisah Akbar, lantas kembali terkekeh.

Persahabatan itu terus berjalan sampai sekian puluh tahun kemudian. Akbar yang 
menjadi ketua DPR periode 1999-2004 sekaligus ketua Partai Golkar ikut 
memberikan dukungan penuh kepada Megawati yang maju menggantikan Gus Dur 
sebagai presiden setelah lengser pada 2002.

Bukan hanya itu, imbuh Akbar, setelah pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid (Gus 
Solah) yang diajukan Partai Golkar gagal menembus putaran pertama Pilpres 2004, 
suara Golkar juga dialihkan ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.

''Dari sana muncul kesepakatan membangun koalisi kebangsaan yang dipimpin 
Partai Golkar sebagai partai pemenang Pemilu 2004,'' ujar mantan ketum HMI 
kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 14 Agustus 1945, itu. Turut serta dalam 
koalisi tersebut, antara lain, PPP, PBR, PDS, PKPB, dan PNI Marhaneisme.

Meski gagal memenangkan Megawati dalam putaran kedua, seperti ditulis Akbar 
dalam catatannya, Koalisi Kebangsaan sukses menempatkan Agung Laksono yang kini 
menjadi wakil ketua umum Partai Golkar di posisi ketua DPR. Hanya, Koalisi 
Kebangsaan gagal memperjuangkan tokoh senior PDIP yang juga mantan cagub Jatim 
Sutjipto untuk duduk di kursi pimpinan MPR RI. ''Kalah amat tipis dari Hidayat 
Nurwahid,'' katanya.

Dalam catatannya, Akbar juga menyentil karakter Megawati yang tidak banyak 
menyampaikan pernyataan di hadapan publik. Menurut Akbar, sebagai seorang 
politikus, tokoh nasional, mantan presiden yang kini mencapreskan diri kembali, 
Megawati seharusnya lebih aktif merespons berbagai isu penting. Sebab, tidak 
sedikit orang yang menilai politikus dari cara pandangannya terhadap isu-isu 
politik yang berkembang.

Pernyataan seorang ketua umum partai, tegas Akbar, juga bisa menjadi pegangan 
bagi seluruh jajaran partai. ''Meski begitu, bukan berarti sebagai pemimpin Ibu 
Mega tidak memiliki kemampuan berkomunikasi. Saya justru melihat kemampuan itu 
sebenarnya dimilikinya secara baik. Contoh konkret dalam berpidato selama ini 
cukup bagus, tidak ada demam panggung,'' tulis Akbar yang meraih gelar doktor 
dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta pada 2007 itu. (*)
Megawati di Mata Sahabat dan Kompetitor Politik (2) 

Amien Sarankan Mega Pakai Kerudung 

Bukan hanya sahabat dan orang dekatnya yang peduli terhadap Megawati 
Soekarnoputri. Para (mantan) rival politiknya pun tak ragu memberikan saran dan 
masukan positif agar presiden ke-5 RI itu memiliki peluang lebih besar untuk 
terpilih lagi pada Pilpres 2009 nanti. 

------

SUASANA di luar Ballroom Hotel Borobudur pada Juni 2004 malam itu sempat 
memanas. Terjadi aksi dorong-mendorong antara sejumlah massa pendukung Mega dan 
Amien Rais yang sama-sama ngotot ingin memasuki ruang berkapasitas 1.200 orang 
tersebut. Saat itu sedang dilakukan debat pasangan capres-cawapres yang 
menghadirkan duet Mega-Hasyim dan Amien-Siswono. 

"Sebagai sesama aktor politik, rivalitas itu hal biasa. Hubungan saya dengan 
Mbak Mega tetap baik sampai sekarang," ujar Amien Rais kepada Jawa Pos kemarin 
(22/12). Bagi Amien, rivalitas 2004 itu selalu dikenang. Walaupun suasana 
persaingan sangat tinggi, persahabatan secara pribadi dengan Mega tetap akrab. 

Mantan ketua MPR tersebut mengakui, beberapa kali dirinya memang memiliki sikap 
dan pandangan politik berbeda dengan putri proklamator RI itu. Namun, menurut 
Amien, kondisi tersebut tak mengurangi penghargaan dirinya terhadap ketokohan 
Mega. "Agar diketahui saja, saya termasuk orang pertama yang memberikan selamat 
secara terbuka saat Mbak Mega dan SBY lolos putaran kedua 2004 lalu," ujarnya.

Saat penghitungan putaran pertama Pilpres 2004, pasangan Mega-Hasyim memperoleh 
suara sekitar 26,6 persen, sedangkan SBY-JK memperoleh suara sekitar 33,6 
persen. Sedangkan Amien-Siswono yang memperoleh suara 14,6 persen harus puas di 
peringkat keempat dan terpental. 

Bukti lain bahwa hubungan keduanya secara pribadi tidak ada masalah adalah 
dimasukkannya Amien sebagai satu di antara 37 tokoh dalam buku Mereka Bicara 
Mega. Dia turut memberikan kontribusi tulisan berjudul Mumpung Masih Ada Waktu.

Dalam catatan tersebut, Amien tak kehilangan gayanya dalam mengungkapkan 
sesuatu tanpa tedheng aling-aling. Misalnya, saat dia mengkritik proporsi caleg 
PDI Perjuangan hingga sekarang, yang masih didominasi kalangan nonmuslim.. 
Menurut Amien, hal itu bisa menjadi bumerang terhadap citra partai 
nasionalis-religius yang notabene sedang dibangun. "Saya selalu memilih 
berterus terang ketimbang menggunakan kata-kata bersayap," tulisnya di buku 
itu. 

Menurut pria kelahiran Solo, 26 April 1944 itu, sebenarnya peluang Mega dan PDI 
Perjuangan untuk memimpin lagi pada 2009 nanti masih cukup besar. "Ada 
nostalgia terhadap Mbak Mega di sebagian kalangan," ujar Amien. 

Namun, syaratnya, Mega harus memperhatikan aspek keterwakilan pemilih. 
Termasuk, parameter latar belakang keagamaan. "Bahkan, jika Mbak Mega mau pakai 
kerudung, saya jamin akan berdampak politik cukup besar," saran mantan ketua PP 
Muhammadiyah itu.

Menurut Amien, tidak proporsionalnya keterwakilan tersebut menjadi salah satu 
faktor utama penyebab merosotnya suara partai berlambang banteng moncong putih 
tersebut pada 2004. "Saya tidak ingin menajamkan soal SARA (suku, agama, ras, 
dan antargolongan), tapi secara sosiologis ini realitas yang harus 
diperhatikan," tandasnya. 

Selaras dengan Amien, mantan rival Mega-Hasyim lain dalam Pilpres 2004, 
Salahuddin Wahid (Gus Sholah) juga merasa, citra jauh dengan kalangan muslim 
dari istri Taufik Kiemas tersebut masih belum luntur. "Meski ada Baitul 
Muslimin, saya rasa masih belum efektif," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Baitul Muslimin, menurut dia, lebih bersifat elite. Karena itu, jika sikap Mega 
maupun DPP PDIP justru bertentangan, maka pendirian organisasi sayap yang 
mengakomodasi sejumlah tokoh Islam itu akan sia-sia. "Itu otomatis," tegas Gus 
Sholah. (dyn)

 
http://jawapos.com/




   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke