Meninggalkan 2008, Melangkah di 2009 (7) 

Persoalan Konstitusi yang Makin Marak 

Moh. Mahfud M.D. *

Tahun 2008 ditandai maraknya wacana dan kasus konstitusi. Amandemen lanjutan 
atas konstitusi memang tidak lagi menjadi kontroversi terbuka, tetapi dorongan 
dan upaya ke arah itu terus berlangsung. Analisis akhir tahun tentang 
peristiwa-peristiwa konstitusi ditulis oleh Moh. Mahfud M.D.

---

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pada 2007 gagal mengajukan usul perubahan 
lanjutan karena dianggap terlalu parsial dan mementingkan diri sendiri, 
berhasil menyiapkan naskah komprehensif tentang perubahan lanjutan atas UUD 
1945 lengkap dengan naskah akademiknya.

Di pihak pemerintah Komisi Hukum Nasional (KHN) menyerahkan buku khusus kepada 
presiden yang berisi pemikiran dan rekomendasi tentang arah dan substansi 
perubahan UUD 1945. 

Langkah serupa dilakukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang kini giat 
menghimpun berbagai sikap dan pandangan mengenai perubahan konstitusi. Menurut 
Gubernur Lemhanas Muladi, hasil kajian mendalam itu akan diserahkan kepada 
presiden untuk diramu secara komprehensif dengan bahan-bahan lain dalam rangka 
perubahan lanjutan atas UUD 1945. 

Langkah KHN dan Lemhanas itu merupakan respons atas gagasan presiden bahwa 
pihaknya akan menyiapkan naskah perubahan lanjutan atas UUD 1945 sebagai 
akomodasi atas aspirasi rakyat tentang perubahan konstitusi yang terus marak. 

Semula, lontaran presiden tentang rencananya menyiapkan naskah amandemen 
lanjutan atas UUD 1945 itu mendapat serangan dari sementara kalangan di MPR. 
Menurut mereka, bukanlah kewenangan presiden untuk memikirkan perubahan UUD.. 
Sebab, menurut pasal 37 UUD 1945, yang berwenang melakukan perubahan UUD adalah 
MPR.

Proporsionalitas Peran MPR 

Bagi banyak kalangan, respons orang-orang MPR atas gagasan presiden merupakan 
reaksi yang tidak proporsional. Mereka dinilai cenderung ingin memonopoli 
secara negatif proses pembenahan konstitusi. 

Memang secara formal prosedural, perubahan UUD hanya dapat dilakukan MPR. 
Tetapi, karena konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik bangsa yang 
paling tinggi, secara substansial bahan-bahannya bisa disiapkan siapa pun, 
lebih-lebih oleh presiden yang mempunyai perangkat dan ahli yang jauh lebih 
banyak dan permanen. Lagi pula presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Tidaklah salah, bahkan akan lebih objektif, jika MPR tidak mengerjakan sendiri 
secara langsung perubahan UUD itu. Bahan bisa disiapkan satu lembaga yang 
terdiri atas orang-orang yang ahli dan politik, sedangkan MPR tinggal 
mengesahkan atau menolaknya sesuai dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu 
sendiri. 

Cara ini dianggap lebih baik. Sebab, jika dikerjakan oleh MPR sendiri, akan 
sulit dihindari masuknya kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan 
sempit. Apalagi jika diingat bahwa MPR itu berisi para politisi yang sebagian 
besar tidak memahami betul persoalan-persoalan politik, hukum, dan konstitusi. 
Persoalan seperti ini memang terjadi pada proses amandemen UUD 1945 periode 
1999-2002.

Pembahasan dan penyiapan naskah perubahan UUD yang tidak perlu langsung 
dilakukan sendiri oleh MPR ini dapat menyinergikan secara baik dengan kenyataan 
bahwa pada saat ini sudah bermunculan berbagai pusat kajian konstitusi secara 
sangat marak, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga swadaya masyarakat. 

CC dan Kompetensi MK 

Selain perubahan lanjutan atas UUD 1945 yang sifatnya konseptual pada 2008, 
banyak juga muncul kasus konkret yang terkait konstitusi. Ketika mencuat 
ribut-ribut soal Ahmadiyah, banyak orang yang menganggapnya sebagai persoalan 
hak dasar atau hak konstitusional warga negara yang harus diselesaikan Mahkamah 
Konstitusi (MK). Padahal, meskipun benar merupakan persoalan hak 
konstitusional, masalah itu bukan menjadi kewenangan MK untuk menanganinya. 

Dalam kenyataan sehari-hari banyak juga kasus pengaduan ke MK yang memang 
merupakan masalah hak konstitusional, tetapi tidak menjadi kewenangan MK untuk 
menyelesaikannya. 

Misalnya, adanya vonis-vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui upaya 
peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung, tetapi ternyata vonis itu salah, 
baik substansi maupun prosedurnya. Banyak yang kemudian membawa kasus ini ke 
MK. 

Banyak juga laporan ke MK tentang adanya vonis-vonis pengadilan yang sudah 
berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak dapat dieksekusi dengan berbagai 
problemnya. Ada yang karena politik, ada yang karena administratif, dan ada 
yang karena objeknya sudah berpindah tangan berkali-kali sehingga mengalami 
tumpang tindih hukum. Para pelapor meminta agar masalah tersebut diselesaikan 
oleh MK, padahal masalahnya bukan kewenangan MK.

Karena banyaknya kasus seperti ini, muncul gagasan agar kewenangan MK ditambah 
dengan kewenangan menangani "pengaduan konstitusional" atau constitutional 
complaint (CC). Gagasan pemberian kewenangan CC itu diinspirasi Mahkamah 
Konstitusi Jerman yang memang mempunyai kewenangan untuk itu. 

Melalui CC setiap warga negara yang hak konstitutionalnya dilanggar, tetapi 
tidak ada lagi jalur pengadilan yang dapat menyelesaikannya karena semua upaya 
hukum sudah ditempuh dan sudah final, yang bersangkutan dapat mengajukan 
perkara ke MK melalui CC.




 *. Moh Mahfud M.D., guru besar hukum tata negara pada Fakultas Hukum UII 
Jogjakarta 
 
 
 http://jawapos.com/
 
 
 
 
 
  
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke