Dimuat pada Harian Batak Pos,
21 Februari 2009

 

 

Mobokrasi
di Medan dan Aktor Intelektual 

Oleh Dr. Victor Silaen, MA

 

     Tragedi Medan, Selasa 3 Februari lalu, yang
mengorbankan nyawa Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Abdul Aziz Angkat, hingga
kini masih terus bergulir sebagai wacana publik maupun proses hukum. Kita
angkat topi jika pemerintah dan aparat kepolisian benar-benar serius
mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan di balik peristiwa itu. Kita
mendukung jika pihak-pihak yang bersalah dalam aksi tersebut diproses secara
hukum, mulai dari penahanan, pemeriksaan, hingga kelak dibawa ke meja hijau
untuk diadili. 

 

     Hukum di negara hukum (rechstaat) ini memang harus ditegakkan
untuk dan dalam semua kasus. Tidak ada pilihan lain: pemerintah, aparat
keamanan, dan aparat hukum harus bersikap dan berlaku sama untuk dan dalam
semua kasus. Tidak boleh pilih bulu, jika betul-betul Indonesia adalah negara 
hukum. 

 

     Terkait itu, peristiwa Demo Antikenaikan
Harga BBM di depan Gedung DPR yang rusuh akhir Juni 2008 kini sedang diusut
secara hukum. Pihak-pihak yang diduga kuat sebagai “aktor intelektual” dalam
aksi demo brutal itu sudah dipanggil, ditahan, dan diperiksa secara hukum
sampai akhirnya beberapa di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka. Apakah
karena aksi demo tersebut menyebabkan beberapa fasilitas negara rusak sehingga
harus dicari “aktor intelektual” di belakangnya? Sama halnya dengan Tragedi
Medan Selasa Kelabu itu. Apakah lantaran seorang Ketua DPRD Sumut tewas
pasca-demo brutal tersebut sehingga satu persatu terduga “aktor intelektualnya”
kini ditahan? 

 

     Tetapi, misalnya, mengapa dalam aksi
brutal penolakan dan pengusiran terhadap sivitas akademika STT SETIA di Pinang
Ranti, Jakarta Timur, akhir Juli 2008, tidak satu pun pihak yang telah
ditetapkan sebagai “aktor intelektual” di baliknya? Karena tidak ada korban
jiwa? Tapi, bukankah ada korban luka-luka dan juga kerugian harta-benda?
Mengapa kasus tersebut tak disikapi dan diperlakukan sama dengan kasus demo
antikenaikan harga BBM di Senayan dan demo para pendukung pembentukan Provinsi
Tapanuli di Medan? 

 

     Jelas, ada ketidakadilan hukum dalam
ketiga kasus tersebut. Sivitas akademika STT SETIA, yang hingga kini sudah
lebih dari enam bulan terserak di tiga tempat (Bumi Perkemahan Cibubur, Wisma
Transito Klender Jakarta Timur, dan eks kantor walikota Jakarta Barat), baik
untuk menjalankan aktivitas akademik dan pelbagai aktivitas lain sehari-hari,
rasa-rasanya tak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun wakil
rakyat di DKI Jakarta.
Sementara dalam kasus demo antikenaikan harga BBM di Senayan, bahkan seorang
mantan menteri pun sudah dipanggil untuk diperiksa. Begitupun dalam kasus demo
para pendukung pembentukan Protap di Medan 3 Februari lalu. 

 

     Terkait Tragedi Medan Selasa Kelabu itu,
patutkah kita menyebutnya sebagai “demokrasi maut”, “demokrasi anarkis”,
“demokrasi liar”, dan yang sejenisnya? Benarkah demokrasi seperti itu? Aspirasi
rakyat yang menginginkan rencana pembentukan Protap dimasukkan sebagai agenda
sidang paripurna DPRD Sumut saat itu mungkin dapat dikategorikan sebagai
demokrasi. Tapi, cara mereka menerobos masuk ke Gedung DPRD Sumut itu jelas
kontra-demokrasi. Sebab, meski ruang sidang wakil rakyat itu merupakan rumah
rakyat, tetap saja ia merupakan kantor yang meniscayakan ketertiban dan
kesantunan bagi orang-orang dari luar yang hendak masuk ke dalamnya. 

 

     Di sisi lain, aksi mereka yang brutal
disertai vandalisme, layakkah itu disebut demokratis? Jelas tidak. Karena,
demokrasi tak pernah menyetujui cara-cara yang koersif dan nilai-nilai yang 
agresivistik.
Sebaliknya, demokrasi selalu dan harus tetap berlandaskan rasionalitas dan
moralitas. Karena itulah ia terus-menerus dikembangkan, dari zaman ke zaman, 
demi
menuju kesempurnaannya sebagai sistem, prosedur, maupun nilai-nilai budaya di
tengah kehidupan bersama yang sarat keanekaragaman. 

 

    Kalau begitu, pantasnya kita namai apa Tragedi
Medan yang telah mengorbankan nyawa seorang wakil rakyat itu? Mengacu pada
Plato, filsuf terkemuka di zaman Sebelum Masehi, mungkin kita layak menyebutnya
sebagai “mobokrasi”. Dalam bahasa Latin, ia berasal dari
dua kata: “mob” yang berarti
gerombolan atau massa,
dan “krasi” yang berarti kedaulatan
atau kekuasaan. Jadi, dengan mobokrasi berarti “kedaulatan atau kekuasaan
berada di tangan gerombolan atau massa”. 

 

     Sekilas memang agak
mirip dengan demokrasi. Namun, kata “demo” dalam “demokrasi” menunjuk pada
rakyat. Dan rakyat itu sendiri, dalam sebuah negara modern, terikat oleh hukum
dan menghormati norma-norma yang menjadi pedoman berperilaku. Sedangkan
gerombolan atau massa sebaliknya cenderung merupakan kumpulan orang yang
berperilaku anomik, kerap brutal dan agresif, sehingga justru bersifat
kontra-demokratis.  

 

    Jadi
jelaslah bahwa antara demokrasi dan mobokrasi berbeda secara signifikan. Dalam
demokrasi ada aturan main yang harus ditaati, sedangkan dalam mobokrasi
gerombolan atau massa itu sendirilah yang menjadi aturan sekaligus pengaturnya.
Dalam mobokrasi, yang mengunggulkan massa atau gerombolan, faktor jumlah
menjadi keunggulan. Maka, semakin banyak semakin besarlah kekuatan. Dalam
konteks ini tak lagi penting siapa-siapa yang bergerombol itu. Yang penting
bersatu, atau lebih tepatnya berseragam, dalam hal beraksi. Jadi, tak hirau 
dibutuhkan atau disyaratkan, egalitarisme orang banyak
itu akan mencapai puncaknya. Setiap orang, tanpa perlu diatur atau
dikendalikan, akan menjadi sama dalam bertindak. Ciri lainnya adalah
otomatisme. Satu orang memukul, yang lainnya mengi­kut tanpa perlu dikomando.
Satu orang berteriak, yang lainnya serentak bersuara lantang, tanpa perlu
diperintah. Begitulah, semua yang didengar dan dilihat saat itu, dalam sekejap 
menjadi
acuan bertindak bagi seluruh anggota gerombolan tersebut.

 

     Yang lebih ironis, dalam kasus-kasus seperti
yang terjadi di Medan itu, massa dalam mobokrasi biasanya juga merupakan
sekumpulan orang yang tidak memiliki kompetensi untuk merumuskan apalagi
menentukan apa sebenarnya yang hendak mereka capai. Jadi, misalkan kepada para 
demonstran
di Medan Selasa Kelabu itu ditanyakan hal-ihwal pemekaran daerah, baik terkait
persyaratannya, prosedurnya, dan pengelolaannya kelak, mungkin hanya segelintir
saja (alih-alih mengatakan tak seorang pun) yang dapat menjelaskannya dengan 
baik
dan argumentatif.   

 

     Mobokrasi dapat juga dikatakan sebagai antiklimaks demokrasi. Itu sebabnya 
kita
prihatin, bahwa ternyata di tengah arus deras demokratisasi yang bergulir di
Indonesia dewasa ini, masih cukup banyak orang yang tak paham bedanya kebebasan
dan keliaran. Kebebasan, itu memang keniscayaan demokrasi sebagai nilai budaya.
Namun, kebebasan tidaklah sama dengan keliaran. Sebab, kita tak hidup di ruang
hampa. Kita hidup di tengah kebersamaan, yang dengan sendirinya menuntut setiap
individu menghormati individu-individu lainnya demi makna kehadirannya di sana.
Karena itulah toleransi juga menjadi keniscayaan. Tapi di Medan, dalam tragedi
Selasa 3 Februari lalu, semua nilai yang baik itu tak terlihat sama sekali. 

 

     Tapi, siapakah yang patut dipersalahkan dalam
aksi brutal itu? Secara hukum, siapa pun yang terbukti kelak, itulah yang harus
dituntut pertanggungjawabannya – termasuk dikenai sanksi hukum. Yang jelas,
mereka yang bersalah itu bukanlah Orang Batak (penggunaan huruf kapital untuk
“O” di sini untuk menunjukkan sebuah komunitas, bukan individu), bukan pula
orang-orang beragama A atau B. Melainkan, massa. Dan massa dalam sebuah aksi
brutal lazimnya adalah mereka yang berperilaku anomik dan tak peduli hukum,
karena merasa saat itu kekuasaan berada di tangan mereka. 

 

    Artinya
apa? Secara hukum, memang, akan terbukti siapa-siapa yang salah nanti. Namun
secara sosiologis, semua anggota massa tersebut memang tak layak dimintai
pertanggungjawaban. Sebab, di saat melakukan aksi brutal, umumnya mereka memang
kehilangan rasionalitas. Jadi, belum tentu ada pihak-pihak yang dapat
ditetapkan sebagai ”aktor intelektual”, yang katakanlah berperan sebagai
perancang untuk terjadinya perusakan kantor DPRD Sumut dan pemukulan terhadap
Abdul Aziz Angkat di Medan 3 Februari lalu itu. Kecuali, memang, aksi tersebut
sudah diniati sebagai ”demo paket huru-hara” dan bukan sekedar ”demo paket
orasi”.

 

* Dosen Fisipol UKI,
pengamat sospol (www.victorsilaen.com).




      

Kirim email ke