Moratorium Pemekaran Daerah,Mungkinkah? DEMONSTRASI yang berubah menjadi anarki di Medan, 3 Februari lalu terkait desakan para pengunjuk rasa agar DPRD Sumatera Utara (Sumut) mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap), telah memakan korban jiwa Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat. Ini membuka mata kita kembali, apakah pemerintah harus tegas melakukan moratorium total pemekaran daerah? Meski kriteria pemekaran dalam Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah No 78/2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran, aturan itu belum berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi selama ini. Pemekaran dapat bersifat top-down, seperti pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat.Dapat pula bersifat bottomupseperti pemekaran di beberapa provinsi,kabupaten,dan kota dari Aceh, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku hingga Papua..Antara 1999 hingga 2008 telah terbentuk 45 daerah baru pada era Presiden BJ Habibie, 103 daerah baru pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, serta 57 daerah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas,6 Februari 2008). Gagasan desentralisasi pemerintahan dan pemekaran wilayah awalnya dilakukan untuk memeratakan pembangunan daerah Jawa-Luar Jawa, serta mempermudah sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan publik, khususnya di Papua, Kalimantan, dan Maluku. Ini perlu dilakukan karena selama periode Orde Baru tidak sedikit daerah pegunungan dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang terbelakang pembangunannya. Kompleksitas etnik, agama, maupun bahasa menjadi kendala dalam pelayanan pemerintahan di era Orde Baru. Di Jawa,masyarakat tidak menuntut pemekaran karena alasan etnis.Penduduknya lebih homogen,kultur Jawa dan Sunda.Hanya masyarakat Banten yang sejak awal reformasi menggebu-gebu ingin memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat, antara lain karena faktor historis kerajaan yang berbeda dan lambannya pembangunan di daerah tersebut. Dalam perjalanannya, pemekaran menjadi tren bagi elite-elite politik daerah untuk memekarkan daerahnya, terpisah dari daerah induk,baik itu provinsi ataupun kabupaten/ kota.Cara yang dilakukan beragam,ada yang dengan elegan mengusulkan ke DPRD, Departemen Dalam Negeri (Depdagri),dan DPR. Ada yang menggunakan cara koruptif dengan memberikan sejumlah dana menggiurkan agar proses itu berjalan lancar di Depdagri dan DPR.Ada pula dengan kekerasan, yaitu mengerahkan massa sebanyak mungkin untuk berdemonstrasi ke DPRD,DPR atau Depdagri. Alasannya pun bermacam-macam, baik menonjolkan faktor historis, politis, maupun ekonomis.Kadang bukan untuk kepentingan rakyat di daerah, melainkan hanya terdorong oleh kepentingan koalisi politisi dan pengusaha daerah. Anehnya, DPR di era reformasi, yang banyak dikritik oleh rakyat karena sedikit sekali menghasilkan undangundang yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), justru paling rajin membahas undangundang pemekaran dan pembentukan daerah baru. Angka pemekaran daerah di atas menunjukkan betapa rajinnya DPR dan pemerintah menyetujui serta mengesahkan pemekaran atau pembentukan daerah baru. Hak inisiatif dan peran utamaDPRdalamprosespembentukan UU, seperti diamanatkan konstitusi hasil empat amendemen, telah disalahgunakan oleh kalangan tertentu di DPR untuk mempercepat pemekaran daerah. Pemerintah, dalam hal ini Depdagri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, hanya menjadi tukang stempel pemekaran daerah. Bahkan,konon, tidaksedikitanggotaDPR dan pemerintah yang menjadi calo pemekaran daerah.Ironis memang.Kita juga tidak tahu pasti peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD)—yang peran politiknya antaraadadantiada akibat posisinya yang tidak jelas diatur konstitusi. Apakah pemekaran sudah memperbaiki nasib rakyat di daerah? Pertanyaan ini perlu dijawab oleh kalangan DPR, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Dalam banyak kasus, tak sedikit masyarakat di daerah seperti Papua, Papua Barat, Aceh,Maluku Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, yang mengatakan kepada penulis bahwa yang lebih menikmati pemekaran hanyalah para elite yang menerapkan KKN, yang jauh lebih buruk daripada era Orde Baru. Semisal pengangkatan pejabat daerah tidak didasari oleh merit system melalui badan pertimbangan kepangkatan dan jabatan (baperjakat),melainkan atas keinginan gubernur, bupati, wali kota atau bahkan kepalakepala dinas. Pemekaran daerah juga sebagian besar didasari oleh faktor sejarah unit pemerintahan di daerah itu pada era kolonial Belanda, seperti keresidenan pada masa lalu, sampai ke soal etnis dan agama. Hal itu seperti dikatakan rekan penulis, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Dr Tri Ratnawati, yang ahli masalah politik lokal, khususnya Maluku. Katanya, ”Politik etnik dan politik identitas saat ini digunakan oleh para elite lokal dan massa (yang sebagian besar dibayar) atas nama demokrasi, menggunakan caracara yang anarki untuk mendesak pemerintah pusat yang lemah agar menyetujui pembentukan daerah baru. ” Era reformasi memang menunjukkan apa yang disebut oleh Joel S Migdal sebagai ”strong society vs weak state” (masyarakat yang kuat melawan pemerintahan yang lemah). Demokrasi kita memang masih dalam taraf pembentukan. Kita memang belum masuk pada taraf kematangan berdemokrasi, melainkan masih pada taraf,meminjam istilah Olle Tornquist,” Demokrasi Kaum Penjahat” (Baca misalnya, Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi, eds, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, Ford Foundation dan PPW-LIPI,2001). Desakan pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan contoh digunakannya pendekatansejarahitu, walaupun ada daerah-daerah yang dulu masuk ke unit pemerintahan yang sama pada era kolonial, tak mau menjadi bagian dari provinsi baru yang akan didirikan itu lantaran faktor perbedaan agama. Ironis memang, pembentukan daerah baru kerap didasarkan oleh faktor etnik dan agama, sementara dulu karena faktor-faktor itu pula daerah-daerah yang berbeda etnis dan agamanya tidak mendapatkan perhatian dari daerah induk. Namun, jika pemerintah dan DPR terus melanjutkan pemekaran daerah atas dasar etnis dan agama,ini sama saja menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia berada di ambang perpecahan. Ini mirip ketika Belanda membentuk enclave-enclave pemukiman wilayah di Maluku yang memisahkan antara masyarakat Islam dan Kristen yang badainya dituai oleh kita sejak 1998, yang hingga kini masih juga terasa. Dr Tri Ratnawati menyayangkan mengapa para seniornya yang ahli politik lokal dan ilmu pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, yang dulu menjadi konsultan Depdagri dan pembuat proposal pemekaran bagi beberapa pemerintah daerah yang ingin memekarkan diri, kini justru menjadi orang yang paling berteriak mengenai moratorium pemekaran daerah. Sudah dua kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara mengenai moratorium pemekaran daerah, yaitu pada 2006 dan 2009 ini. Herannya, Depdagri masih ingin memekarkan wilayah Indonesia menjadi 40 provinsi.Quo vadis pemekaran daerah? (*) IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/212331/ http://media-klaten.blogspot.com/ salam Abdul Rohim