muskitawati, ku tunggu komentar-mu






Nikah Siri? Awas Dipenjara!

Jumat, 12 Februari 2010 | 08:05 WIB




 

JAKARTA, KOMPAS.com — Kaum laki-laki
dan perempuan sebaiknya mulai berpikir ulang jika hendak melakukan perkawinan
yang tidak dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah atau nikah siri dan
perkawinan mutah atau kontrak. Pasalnya, pelaku kedua jenis perkawinan itu
dapat dipidana penjara.



Hal itu terungkap dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) tahun 2010.



RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan
siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian
yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak
bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya
tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6
bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.



RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda
kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui
bank syariah sebesar Rp 500 juta.



Dalam kaitan mencari masukan materi RUU itu, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan
Masyarakat Madani (PPHI2M) akan menggelar seminar nasional, pekan depan. Ketua
panitia seminar, Abdul Gani Abdullah, guru besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Kamis (11/2/2010) di Jakarta, menjelaskan, RUU itu akan
menjadi pelengkap bagi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi
UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam
hukum Islam.



Pasal krusial



Abdul Gani mengakui, terdapat beberapa pasal krusial dalam RUU itu, terutama
terkait ketentuan pidana. Pasalnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa
menikah adalah ibadah. ”Ibadah kok dihukum,” ujarnya.



Menurut dia, selama ini pernikahan di bawah tangan sering kali dijerat dengan
pasal perzinahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ada ketentuan 
di KUHP
yang menyatakan, seorang lelaki atau perempuan yang melakukan hubungan di luar
perkawinan sah adalah perzinahan.



”Apakah nikah siri itu zinah? Bisa bukan karena sah menurut hukum agama.
Masalahnya adalah mengapa perkawinan itu tidak dicatatkan ke pejabat pencatat
nikah. Itu salah siapa? Ada
pandangan masyarakat yang harus aktif, tetapi ada pula yang berpendapat
pemerintah harus aktif. UU ini mau menyinkronkan realitas yang ada dan segi
hukum,” ujar Abdul Gani.



Ia menjelaskan, RUU tersebut perlu mengatur tentang kawin kontrak mengingat
sebenarnya perkawinan semacam itu memang tak dikenal dalam hukum Islam. UU
Nomor 1 Tahun 1974, ujarnya, tak mengatur secara jelas hal-hal itu. UU
Perkawinan malah tidak mengenal aturan pidana. Saat itu ada gagasan untuk
memuat ketentuan pidana perkawinan dalam peraturan pelaksanaannya.



”Sebelum peraturan itu ditandatangani, Presiden minta masukan dari ulama. Saat
itu ulama mengatakan, nikah adalah ibadah, tetapi mengapa dihukum,” ujarnya
lagi. Hukuman pidana pun akhirnya diganti dengan denda sebesar Rp 7.500.



Hasbi Hasan, seorang hakim agama yang ditugaskan di Mahkamah Agung,
menjelaskan, ketentuan UU Perkawinan mengenai denda itu sudah tidak relevan
lagi. (ANA)

 





      

Kirim email ke