Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu
Djoko Suud Sukahar - detikNews



Jakarta - Imej politik sebagai 'alat menipu' dan politisi sebagai 'penipu' 
sekarang mulai menjadi kenyataan. Rakyat kini tidak lagi 'mengenal' partai 
politik dan tokoh politik. Semuanya dianggap sama, sama-sama 'pembeli'. 
Disitulah rakyat bisa 'berjualan'. 'Menjual' suara pada siapa saja yang 
berhasrat 'membeli'. Inilah negatifitas lokal yang selama ini tertutupi 
kearifan lokal tampil secara telanjang. 

Politik uang rasanya tak perlu diributkan. Undang-undang yang menyoal itu sudah 
tertimbun buku-buku tebal di perpustakaan. Disebut begitu, karena semua pihak 
sedang asyik melakukan transaksi jual-beli suara. Rakyat 'menjual', dan para 
calon wakil rakyat yang membelinya. 

Transaksi macam ini di berbagai daerah memang berbeda-beda. Ada yang menjual 
dan membeli langsung, tapi ada pula yang pakai cara pseudonim. Itu campur-aduk 
dengan tradisi dan budaya setempat. Taklah heran jika sebagian terendus media 
dan diberitakan. Kendati sebagian besar tidak terekspos karena berbagai alasan. 

Namun berkat itu, di Jawa binatang bunglon beranak-pinak. Di kawasan Indonesia 
Timur telur cecak menetas tak terbilang banyaknya, dan di wilayah utara, 
meliputi Maluku, Ternate, Tidore, Sulawesi, Sangihe, Talaud serta Miangas dan 
Marore politik dubo-dubo berbiak dengan suburnya.

Binatang bunglon memang bisa berubah warna sesuai tempat yang dipijak. Satwa 
mimikri ini di Jawa sebagai simbolisasi manusia plin-plan. Tidak teguh 
pendirian, tapi anehnya teguh tujuan dalam mengeruk keuntungan dan demi 
penyelamatan. Di ranah politik, bunglon figur manusia mencla-mencle. Dan itu 
diasumsikan sebagai jatidiri politisi serta pemilih oportunis.

 

Di Indonesia Timur, binatang yang bertabiat menyerupai bunglon adalah cecak.. 
Binatang ini kendati tak bisa berubah warna, tapi dia punya watak yang 
mirip-mirip dengan bunglon. Cecak kalau terdesak dan ingin kabur ke lain hati 
selalu meninggalkan jejak dengan melepas sebagian ekornya. Dan watak yang 
mengesankan konsekuen dan konsisten itulah yang membuatnya dipersamakan dengan 
kejelekan bunglon.

Sedang di kawasan 'Indonesia Utara', istilah umum untuk sifat peniruan bunglon 
dan cecak itu disebut 'politik dubo-dubo'. Ini sebuah strategi meruntuhkan 
lawan, dengan memecah-belah kekuatan siapa saja yang ingin berkuasa. Memang 
amat mirip politik penjajah, karena kelahirannya distimulasi oleh devide et 
impera buatan Belanda.

Negatifitas lokal itu yang sekarang tampil telanjang. Penampilan itu terjadi 
serentak. Semula pola ini merasuk ke dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 
yang bertabur uang, dan mendekati pemilihan umum ini menjadi 'senjata rakyat' 
dalam bertransaksi. Transaksi untuk 'mengkadali' para calon legislatif (caleg) 
yang ambisius tampil sebagai pemimpin.

Memang 'politik rakyat' itu dipraktekkan bukan untuk meraih kekuasaan. Mereka 
melakukan itu dengan tujuan yang amat sederhana, yaitu meraup uang. Materi itu 
yang disasar. Dengan 'gaya lokal' mereka beraksi, dan dari aksi itu maka para 
caleg itu akan masuk perangkap. Bukan jadi 'penipu', tapi malah jadi korban 
'penipuan rakyat'.

Kesibukan 'penipu' yang ramai-ramai 'ditipu' rakyat itulah yang kini gegap di 
se-antero negeri. Tiap caleg dengan rela hati menghamburkan uang miliaran 
rupiah untuk 'ditipu' rakyat. Harapannya membubung ke angkasa, yakin jabatan 
wakil rakyat bakal disandang.

Itu pula yang membuat orang Madura menyebut caleg itu sebagai 'calegen', orang 
kesedak. Bisa mati karena kaget dengan perolehan suara yang di luar dugaan. 
Bisa stroke akibat yang sama. Atau mungkin jadi gila karena jatuh miskin dan 
tidak menjabat apa-apa.

 

Adakah ini yang disebut manusia sakti di abad modern? Hendak stroke dan menjadi 
gila dipamer-pamerkan. Serta mendekati ajal tiba memajang photo dimana-mana, 
meniru Ronggowarsito yang mampu meramal hari kematiannya sendiri? Naudzubillahi 
mindzalik !

(iy/iy)
 
http://www.detiknews.com/read/2009/02/25/103239/1090184/103/para-penipu-ramai-ramai-kena-tipu


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke