Suara Merdeka 03 Desember 2008 Penegakan HAM dan Demokrasi Oleh Agus Wibowo
SEPEKAN lagi, 10 Desember 2008, kita akan memperingati 60 tahun Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Momentum itu, mestinya digunakan untuk merefleksi sekaligus timbang ulang seberapa jauh upaya penegakan HAM telah dilakukan di negeri ini. Secara historis, pengakuan HAM kali pertama tertuang dalam Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948, di Amerika Serikat (AS). Upaya itu diikuti oleh beberapa negara penganut demokrasi, seperti Inggris dengan Bill of Right (1968), Prancis dengan Declaration des Droits de IĆhomme Et du Citoyen (1789), dan AS dengan Bill of Rights (1971), yang mencakup sepuluh rumusan HAM. Langkah itu selanjutnya mendapat dukungan PBB -melalui Dewan HAM- dan mengistruksikan kepada seluruh anggotanya untuk melindungi hak asasi warganya tanpa pandang bulu. Pertanyaanya kemudian, mengapa HAM perlu dilindungi dan mendapat pengakuan? Bagaimana upaya penegakan HAM di Indonesia? Jalan di Tempat Istilah HAM, menurut sejumlah literatur, bermakna hak yang dimiliki dan diperoleh sejak manusia lahir (given). Hak itu bersifat asasi, umum (universal), dan dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang kelamin, status sosial, agama, harta benda, dan sebagainya. Konsep baku HAM yang demikian itu, memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan cita-cita, bakat (potensi), dan kemampuan yang dimiliknya. Lebih dari itu, konsep baku tersebut juga berfungsi melindungi hak-hak manusia dari diskriminasi dan rasialisme. Di Indonesia, upaya penegakan HAM masih sangat memprihatinkan, khususnya pada era Orde Baru/ Orba (1966-1998). Melalui Undang-Undang (UU) Subversif dan dalih penumpasan G30S/PKI, ribuan nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Para aktivis yang vokal terhadap kebijakan Orba, selalu dihadapkan kepada dua pilihan, mati atau dipenjara. Pendek kata, era Orba merupakan masa-masa paling suram bagi kebebasan dan penegakan HAM. Pun begitu dengan era reformasi. Gerakan yang mengusung misi utama perubahan di berbagai struktur kebangsaan itu, tidak berpengaruh secara signifikan kepada penegakan HAM. Singkatnya, meski sudah sepuluh tahun reformasi digulirkan, belum ada langkah nyata penegakan HAM, sampai memasuki akhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Sebagai contoh, belum terkuaknya misteri di balik kematian Munir. Masih gelapnya misteri di balik kematian aktivis HAM itu, tentu saja menjadi warning bagi para pejuang HAM lainnya untuk lebih berhati-hati dan waspada. Karena, bisa jadi akan menyusul jejak Munir apabila terlalu kritis/vokal terhadap berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan penguasa. Kekhawatiran seperti itu dirasakan oleh hampir semua aktivis dan pejuang HAM di pelbagai penjuru Tanah Air. Akibatnya, iklim upaya penegakan HAM menjadi kurang kondusif. Harus Berbenah Tidak dimungkiri, dengan dipilih 182 anggota untuk menjadi Dewan HAM PBB, citra Indonesia di mata dunia internasional mulai membaik. Prestasi itu jauh lebih baik ketimbang Italia, yang hanya dipilih 101 negara, Belanda (121 negara), Irak, Afganistan, Sudan, dan Myanmar. Bahkan melebihi Malaysia yang disibukkan dengan berbagai isu diskriminasi rasial, atau Thailand yang dibayangi-bayangi oleh kekuatan militer. Penegakan HAM di Indonesia, tulis Manfred Nowak (2007), pada beberapa aspek memang menunjukkan fenomena positif. Itu bisa dilihat dari banyaknya peraturan atau lembaga baru yang dibuat, misalnya Pengadilan HAM Ad Hoc, UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta dimasukkannya semua butir HAM dalam Amandemen UUD 1945. Meski demikian, ada beberapa kendala yang membuat peraturan hukum dan organisasi itu tidak dapat berfungsi secara maksimal. Pertama, keseriusan dan komitmen pemerintah untuk menghapuskan impunitas atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu masih rendah. Itu terlihat dari belum terkuaknya pelanggaran HAM dalam peristiwa jajak pendapat Timor Timur, kasus Tanjung Priok (Malari), dan sebagainya. Kedua, Indonesia belum mengambil posisi -khususnya dalam kepemimpinan- bersama dengan negara lain dalam pembentukan komisi HAM ASEAN. Sebab, ASEAN merupakan satu-satunya kawasan di dunia yang belum mempunyai mekanisme HAM. Ketiga, para tahanan lebih rentan terhadap penganiayaan saat berada di tahanan polisi daripada di penjara. Itu karena tidak adanya perlindungan hukum bagi para tahanan, khususnya yang ada di rumah tahanan (rutan). Kondisi itu tentu sangat bertentangan dengan norma dan standar internasional yang ada dan dianut Indonesia. Mestinya Indonesia konsisten melaksanakan norma dan standar internasional tersebut. Keempat, tanggung jawab kriminal di Indonesia dimulai sejak seseorang berumur delapan tahun. Dengan aturan itu, pemerintah membolehkan anak kecil dimasukkan ke penjara. Akibatnya, mereka lebih banyak mendapat hukuman fisik dan perlakuan menyakitkan di tempat penahanan dan atau di dalam penjara. Melalui momentum peringatan HAM Internasional, tampaknya segenap pihak harus berbenah diri. Pemerintah sebagai policy maker (pengambil sekaligus pembuat kebijakan), harus membuat peraturan yang tegas melindungi HAM. Selain itu, upaya menyosialisasikan penegakan HAM yang dimulai dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM 2004-2009, harus diubah sasaran dan orientasinya. Jika semula hanya ditujukan kepada mereka yang rentan terkena pelanggaran seperti anak-anak dan perempuan, kini sosialisasi juga harus diberikan kepada kelompok yang justru berpotensi melakukan pelanggaran, seperti tentara, polisi, serta petugas ketenteraman dan ketertiban (trantib) atau satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Sementara itu Dirjen Perlindungan HAM harus lebih vokal bersuara tatkala terjadi pelanggaran HAM. Karena kepanjangan tangan pemerintah, hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya sebagai motor penggerak upaya penegakan HAM di negeri ini. Jika merujuk kepada Bali Actions Points (2007), penegakan HAM di Indonesia mestinya juga berfungsi mengentaskan kemiskinan. Pasalnya, dari upaya penegakan HAM bakal muncul komitmen sekaligus sense of responsibilities (kepekaan terhadap penderitaan orang lain). Langkah positif pemerintah tersebut, bisa diibaratkan sekali dayung satu dua pulau terlampaui. Lebih dari itu, penegakan demokrasi dan HAM merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, semakin demokratis sebuah bangsa, akan semakin kokoh pula penghormatan kepada kemanusiaan ataupun jaminan dan perlindungan terhadap HAM. Sementara itu demokrasi yang bernafaskan HAM bakal menjamin eksistensi pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Semoga.(68) - Agus Wibowo, Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).