http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=6839

2009-04-08 
Prabowo - Sultan Bisa Kalahkan SBY
Anton Lesiangi


Hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 secara garis besar akan memperlihatkan 
kekuatan capres dari partai-partai terkait, yang dapat maju satu paket, 
capres-cawapres, dalam bentuk koalisi, berkompetisi pada Pilpres 8 Juli 2009. 
Parpol yang berhasil meraih 20% kursi DPR atau suara rakyat 25%, sesuai UU 
Pilpres dapat menetapkan sendiri capres dan cawapresnya. 

Hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2004, Partai Golkar menempati urutan pertama 
21,84 % = 128 kursi DPR, PDI-P 19,47 % = 98 kursi, sedangkan Partai Demokrat 
7,5 % = 58 kursi.

Kalau Partai Demokrat telah menetapkan SBY sebagai capres, PDI-P dengan 
Megawati, Prabowo dari Gerindra. dan Wiranto dari Hanura, pertanyaannya, 
bagaimana dengan Partai Golkar, yang belum juga menetapkan JK sebagai capres? 
Itu dapat diterjemahkan bahwa Partai Golkar maju ke pileg tanpa capres.

Ini tentu mempersulit posisi Partai Golkar untuk meraih target 30% kursi DPR 
yang sudah ditetapkan JK tanpa melalui hasil rapat pleno DPP. Walaupun JK, 
sebagai ketua umum dan Surya Paloh (SP) sebagai ketua dewan penasihat, selama 
tiga minggu keliling Nusantara melakukan kampanye terbuka, guna meraih target 
30%, itu sulit dicapai kalau hanya diserahkan pada kerja keras para caleg. 

Partai terkait sudah menetapkan SBY, Mega, Prabowo, dan Wiranto sebagai "ikon" 
partai masing-masing. Guna meraih kursi DPR sebanyak-banyaknya gabungan kerja 
keras antara ikon dan caleg akan menghasilkan sinergi yang dahsyat. Sedangkan 
ikon Partai Golkar adalah Sultan bukan JK atau SP, apalagi kalau dihubungkan 
dengan tingkat elektabilitas, Sultan selalu tertinggi. 

Jusuf Kalla jangan mau terjebak permainan Burhanudin Napitupulu (Burnap), 
Firman Subagyo, dan Rully Chairul Anwar, yang selalu berpegang pada keputusan 
Rapimnas 3 tahun 2007, bahwa capres dan cawapres Partai Golkar ditetapkan 
setelah melihat hasil pileg. Karena memang forum hasil pileg satu-satunya 
lembaga, yang terukur raihan kekuatan/nilai, capres sebagai ikon partai politik 
terkait. Kalau JK tidak ditampilkan sebagai capres pada Pileg, dari mana 
ukurannya JK sebagai capres atau cawapres, maju ke Pilpres 8 Juli 2009. 
Artinya, untuk menjadi capres atau cawapres JK tidak memungkinkan. Keputusan 
Rapimnas 3, kemudian dipertegas pada Rapimnas 4 tahun 2008, adalah forum yang 
tepat, karena memang sesuai konstitusi partai. Tetapi, dihubungkan dengan 
keputusan 33 Ketua DPD tingkat I, yang telah menetapkan JK sebagai capres 
tunggal, di sinilah letak permasalahannya. Itu bertentangan dengan UU Pilpres, 
yang tidak mengenal capres tunggal. Demikian pula keputusan Rapimnas 3 dan 4. 
Keputusan Rapimnas 3 dan 4 sudah jelas, JK dapat maju pada Pilpres hanya 
setelah mengetahui hasil Pileg, baik sebagai capres maupun cawapres, bukan 
keputusan 33 Ketua DPD. Pengertian inilah yang disesatkan oleh Burnap dan 
kawan-kawan.


"King Maker" 

Dalam rangka penyelamatan JK dan Partai Golkar agar keluar dari keterpurukan, 
jalan terbaik tetapkan JK sebagai king maker dan umumkan segera Sultan sebagai 
Capres Golkar menghadapi Pileg yang tinggal beberapa hari lagi. Berdasarkan 
hasil penjaringan dan survei, figur Sultan minimal dapat meraih 20 %, malah 
peluang lebih besar sangat terbuka.

Dari beberapa capres yang diunggulkan oleh partainya sebagai ikon, sementara 
ini yang jelas maju adalah SBY, Megawati, Prabowo, Sultan, dan Wiranto. SBY, 
Mega, dan Wiranto adalah wajah lama yang masih diharapkan oleh pendukung mereka 
tampil sebagai presiden. Pasangan Prabowo-Sultan atau sebaliknya 
Sultan-Prabowo, apabila mereka diduetkan untuk memimpin negeri ini, akan sangat 
kuat. Mengapa? Karena Sultan-Prabowo atau Prabowo-Sultan adalah satu-satunya 
capres alternatif, sementara SBY, Mega, dan Wiranto, meminjam istilah Rizal 
Ramli, adalah" capres L4 ( Loe lagi, loe lagi)".

Beberapa alasan mengapa Sultan-Prabowo atau Prabowo-Sultan akan didukung oleh 
rakyat. Pertama, perlu calon alternatif. Selain mendambakan figur alternatif, 
bangsa ini memang membutuhkan perubahan kepemimpinan. Realitas politik 
menunjukkan diperkirakan golput akan sangat besar pada Pileg dan Pilpres 2009. 
Salah satu faktor penyebab adalah mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap 
"pemain lama". Ditambah lagi kultur "politik balas dendam" antara SBY dan 
Megawati, sesungguhnya bukanlah tontonan yang sedap dipandang rakyat. Sedang, 
Sultan dan Prabowo adalah sosok yang relatif menjanjikan, karena rakyat sangat 
mendambakan figur capres dan cawapres alternatif.

Kedua, bukan sekadar pergantian pemimpin. Pemilihan presiden dan wakil presiden 
bukan sekadar mekanisme pergantian pemimpin lima tahunan, melainkan benar-benar 
mempertaruhkan masa depan bangsa. Dibutuhkan pemimpin yang benar-benar mampu 
mengemban amanat penderitaan rakyat, khususnya mendatangkan kesejahteraan, 
adil, makmur dan merata, yang hanya dimungkinkan apabila tercapai pemerintahan 
yang kuat, bersih, dan aman.

Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan kebijakan dan mentalitas pemimpin. Banyak 
rakyat memilih golput, karena mereka tidak bisa melihat keteladanan yang baik 
dari seorang pemimpin dan realitas politik di mana para pemimpin kita 
kebanyakan lebih mengutamakan partai, kelompok, dan individu. 

Saya telah terjun ke tengah-tengah masyarakat. Sebagian orang-orang golput 
begitu membaca presentasi Prabowo Membangun kembali Indonesia Raya, mulai 
antusias mendukungnya. 

Ia menyampaikan komitmen kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Sebuah negeri 
yang sangat plural, seperti Indonesia, tidak mungkin dikelola dengan ideologi 
agama, itulah pesan penting dari para founding fathers khususnya Bung Karno. 
Konsep pemisahan negara dari agama tidak sama dengan sekuralisme, yang mendepak 
agama sama sekali dari penyelenggaraan negara. Hal ini tidak mungkin, sebab 
masyarakat percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Komitmen Sultan-Prabowo kepada 
Pancasila tidak diragukan, bahkan keduanya sepakat kita harus kembali ke UUD 
1945 yang asli (dengan perubahan yang dianggap perlu saja; misalnya pembatasan 
masa jabatan presiden dua periode saja). Perlu dicatat, amendemen UUD 1945, 
sampai empat kali, dilakukan dengan cara tergesa-gesa, hanya demi memenuhi 
tuntutan demokrasi dan kepentingan para elite eksekutif, yudikatif, dan 
legislatif. 


Solusi

Visi politik Prabowo, yang mengembalikan UUD 1945, adalah solusi dari kehidupan 
demokrasi kita yang tanpa arah. Visi Prabowo ini sesuai dengan pemikiran Sultan 
HB X, yang berakar dari nilai-nilai luhur budaya nasional. Karena itu, duet 
Sultan-Prabowo atau sebaliknya Prabowo-Sultan benar-benar akan mengguncang 
jagat perpolitikan Indonesia. 

Dalam konsep pertahanan keamanan, menurut konsep Sultan dan Prabowo, sistem 
kontinental harus disempurnakan dengan sistem maritim, NKRI adalah negara 
dengan 13.700 pulau besar dan kecil dengan wilayah sebagian besar laut. Warisan 
lingkungan yang demikian sangat rawan dari segi pertahanan dan keamanan. Karena 
itu, mestinya bukan saja Angkatan Darat yang kuat melainkan juga Angkatan laut 
(AL) dan Angkatan Udara (AU). Tanpa stabilitas yang kuat kita tidak mungkin 
membangun negeri ini.

Sebagian besar rakyat Indonesia adalah petani, nelayan, dan pekerja pasar atau 
buruh kasar yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan ekonomi. 
Selain memaksimalkan peranan petani dan nelayan, sistem ekonomi nasional kita 
yang sekarang menuju pada neoliberalisme dan neokapitalisme sangat bertentangan 
dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Subsidi hanya diberikan 
pada petani, nelayan, dan pekerja pasar, sehingga terciptalah jutaan lapangan 
kerja di desa dan ini secara langsung memperkecil urbanisasi dari desa ke kota. 

Oleh karena itu, dengan kembali kepada Pasal 33 UUD 1945 asli, perekonomian 
yang berpihak kepada rakyat, yang kita sebut ekonomi kerakyatan, bisa 
diwujudkan. Saya melihat Prabowo-Sultan mempunyai komitmen yang kuat untuk 
membangun ekonomi kerakyatan yang jelas-jelas bersumber pada sila kelima 
Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamendemen. Dengan alasan-alasan 
seperti di atas, saya yakin Sultan-Prabowo atau Prabowo-Sultan adalah pemimpin 
alternatif. 

Setelah mengikuti dengan cermat proses Konvensi DIB (Dewan Integrasi Bangsa), 
telah tampil seorang capres yang cemerlang, yaitu Marwah Daud Ibrahim. Dalam 
rangka head to head dengan SBY pada Pilpres, baik Prabowo maupun Sultan bila 
dapat meraih 20 % suara pada pileg maka pasangan Prabowo dengan Marwah Daud 
Ibrahim atau Sultan dengan Marwah Daud Ibrahim, juga merupakan "petarung" andal 
memenangi Pilpres 2009.


Penulis adalah Pengamat Ekonomi, Politik, Pertahanan, dan Keamanan

Kirim email ke