SEJENAK TERANG, TERBITLAH GELAP


Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta. 
Sejarah telah dicatatkan oleh Indonesia pada 2008, dengan menempatkan diri 
sebagai negara kelima di Asia, dan ke-76 di dunia, yang secara resmi mengadopsi 
prinsip-prinsip keterbukaan informasi. April 2008, Dewan Perwakilan Rakyat 
mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Indonesia 
sejajar dengan India, Jepang, Thailand, dan Nepal dalam satu pelembagaan 
kerangka hukum bagi pemenuhan hak-hak publik untuk mengakses proses-proses 
penyelenggaraan pemerintahan. Cukup membanggakan dan dapat mengangkat citra 
Indonesia terkait dengan isu pemberantasan korupsi, transparansi, dan kebebasan 
pers. 
Undang-Undang KIP secara cukup memadai mengatur kewajiban badan atau pejabat 
publik untuk memberikan akses informasi yang terbuka kepada masyarakat. 
Kewajiban memberikan informasi, dokumen, dan data diintegrasikan sebagai bagian 
dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas 
untuk pelanggarannya. Undang-Undang KIP juga mengatur klasifikasi informasi 
sedemikian rupa sebagai upaya memberikan kepastian hukum tentang 
informasi-informasi yang wajib dibuka kepada publik, dan yang bisa dikecualikan 
dengan alasan tertentu. Secara teoretis, UU KIP memberikan solusi bagi kalangan 
jurnalis, peneliti, dan masyarakat yang selama ini menghadapi klaim rahasia 
negara atau rahasia instansi ketika mengakses dokumen-dokumen badan publik. 
Kultur kerahasiaan 
Pemberlakuan UU KIP harus melewati masa transisi 2 tahun sejak disahkan. Namun, 
urgensi pemberlakuan UU KIP sudah dapat kita rasakan sejak sekarang jika 
becermin pada realitas betapa lembaga-lembaga publik kita masih menunjukkan 
kecenderungan kuat untuk menutup diri dari masyarakat dan tidak menempatkan 
pelayanan informasi yang terbuka sebagai bagian integral dari fungsi birokrasi. 
Lembaga-lembaga publik secara umum masih menunjukkan bekerjanya mekanisme atau 
kondisi-kondisi rezim kerahasiaan: proses penyelenggaraan pemerintahan yang 
kurang-lebih bersifat tertutup, eksklusif, dengan akuntabilitas yang buruk 
karena tidak dapat diakses dan dikontrol oleh publik.

 
Pada 2008, buruknya kinerja KPU dalam mendistribusikan informasi tentang pemilu 
kepada masyarakat bisa menjadi contoh bekerjanya rezim kerahasiaan. 
Informasi-informasi tentang pemilu sangat menentukan kualitas penyelenggaraan 
pemilu. Masyarakat jelas membutuhkan basis informasi dan pemahaman yang cukup 
tentang tahap-tahap, problem, dan perubahan-perubahan sistem pelaksanaan 
pemilu. Persoalannya, urgensi informasi tentang pemilu ini tidak diimbangi 
dengan kesigapan KPU untuk menyediakan sistem pelayanan dan akses informasi 
yang terbuka, efektif, dan cepat untuk masyarakat. KPU secara kelembagaan 
maupun individu justru menunjukkan sikap yang reluctant dan menutup diri dari 
akses pers. Kritisisme dan upaya media menggali informasi tentang persiapan 
pemilu dianggap sebagai gangguan atas kinerja KPU. 
Tak pelak, dalam setahun terakhir terjadi kekacauan dan simpang-siur informasi 
tentang seluk-beluk pemilu. Sosialisasi dan diseminasi informasi-informasi 
seputar pemilu tidak dilakukan secara sistematis dan terencana. Penyelenggaraan 
pemilu semakin dekat, ada banyak aspek yang berubah dalam pelaksanaan pemilu, 
namun begitu sedikit penjelasan yang sampai ke masyarakat tingkat bawah. Publik 
juga tidak paham benar sejauh mana akuntabilitas KPU sebagai pemegang otoritas 
penyelenggaraan pemilu. Jika rezim pemilu cenderung menjadi rezim kerahasiaan, 
patut dipertanyakan sejauh mana kualitas penyelenggaraan pemilu secara 
keseluruhan. 
Implementasi prinsip-prinsip UU KIP juga sangat mendesak jika merujuk pada 
politik legislasi yang dari segi substansi dan proses pembahasannya belum 
sepenuhnya menempatkan keterbukaan informasi sebagai bagian integral dari 
reformasi tata-kelola pemerintahan. Satu contoh yang menarik pada 2008 adalah 
Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan, yang saat ini proses 
pembahasannya masih berlangsung. RUU Susunan dan Kedudukan belum menempatkan 
kewajiban untuk terbuka dan "accessible" kepada publik sebagai bagian integral 
dan eksplisit dari kewajiban anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Rumusan kewajiban 
anggota badan-badan ini sangat luas dan tidak operasional. Misalnya saja pasal 
31 mengatur kewajiban anggota DPR: memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, 
melaksanakan UUD 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan, mempertahankan 
kerukunan dan keutuhan NKRI, mendahulukan kepentingan negara di atas 
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, menaati
 prinsip-prinsip demokrasi, dan seterusnya.

 
RUU Susunan dan Kedudukan juga belum menjamin partisipasi publik dalam 
proses-proses legislasi perundang-undangan. Hak publik atas informasi mencakup 
hak untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan publik, termasuk dalam hal ini 
proses persidangan DPR. Namun, tidak ada pasal dalam RUU Susunan dan Kedudukan 
untuk sementara ini yang menegaskan bahwa proses-proses persidangan di DPR 
secara umum bersifat terbuka bagi publik. Masalah ini akan diatur dalam 
Peraturan Tata Tertib DPR (pasal 118). Persoalannya, masalah terbuka atau 
tertutupnya proses persidangan DPR bukan murni urusan intern DPR. Masalah ini 
berurusan langsung dengan kepentingan publik. Fakta menunjukkan, proses-proses 
persidangan yang tertutup, eksklusif, dan tidak melibatkan publik menjadi salah 
satu penyebab lahirnya banyak undang-undang yang kontroversial dan ditolak 
masyarakat, sebagaimana UU Anti-Pornografi dan UU Badan Hukum Pendidikan. 
Rahasia negara 
Kondisi lembaga publik dan praktek legislasi seperti di atas menunjukkan 
urgensi implementasi UU KIP, tapi juga bisa memantik kekhawatiran atas 
rekonsolidasi menuju rezim kerahasiaan. Apalagi, pada sisi lain, implementasi 
UU KIP juga dihadapkan pada masalah lebih serius: rencana pengesahan RUU 
Rahasia Negara. Hanya sebulan setelah UU KIP disahkan, pemerintah telah 
mengusulkan pembahasan RUU Rahasia Negara. Persoalannya, dalam hampir semua 
aspek, RUU Rahasia Negara bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan 
informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP. Pertama, RUU Rahasia Negara 
merumuskan ruang lingkup tentang rahasia negara secara sangat luas dan elastis. 
Rahasia negara adalah "informasi yang dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, 
keselamatan NKRI, yang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan 
negara, sumber daya nasional, ketertiban umum dan terganggunya pelaksanaan 
tugas dan fungsi lembaga negara" (Pasal 1). Selain terlalu luas,
 ruang lingkup rahasia negara ini dirumuskan secara absolut dan kategoris 
murni, tanpa melalui uji publik dan uji konsekuensi sebagai prinsip universal 
pengklasifikasian informasi.

 
Kedua, dapat dibayangkan betapa berbahayanya jika seluruh pimpinan instansi 
pemerintah, di semua lini dan semua level birokrasi, mempunyai otoritas 
melakukan klaim rahasia negara atas informasi dan aktivitas-aktivitas yang 
dilakukannya. Namun, rumusan inilah yang kita dapati pada Pasal 1 RUU Rahasia 
Negara. Ketiga, RUU Rahasia Negara akan membentuk Badan Pertimbangan Rahasia 
Negara dengan tugas merumuskan kebijakan dan melakukan pengawasan pelaksanaan 
penyelenggaraan rahasia negara (Pasal 23). Anggota Badan Pertimbangan Rahasia 
Negara semuanya dari unsur pemerintah (Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, 
Menteri Dalam Negeri, Kepala Polri, Panglima TNI, Kepala BIN, dan Kepala 
Lemsanek). Dengan tidak melibatkan unsur publik sama sekali, dapatkah kita 
berharap Badan Pertimbangan Rahasia Negara mempertimbangkan kepentingan publik 
terhadap pelembagaan keterbukaan informasi? Problem lain, fungsi Badan 
Pertimbangan Rahasia Negara niscaya akan berbenturan
 dengan fungsi Komisi Informasi. 
Keempat, proses-proses persiapan pembahasan RUU Rahasia Negara dilakukan secara 
eksklusif. Sejauh ini, belum terlihat forum-forum konsultasi publik untuk 
menghimpun masukan dan aspirasi masyarakat tentang RUU Rahasia Negara. Secara 
substansial, publik belum dilibatkan dalam proses perumusan RUU Rahasia Negara. 
Pembahasan RUU Rahasia Negara tampaknya hampir pasti dilaksanakan DPR dan 
pemerintah pada 2009. Persoalannya, sekali lagi, dengan semangat dan substansi 
yang terkandung di dalamnya, RUU Rahasia Negara sangat kontraproduktif bagi 
prinsip-prinsip keterbukaan informasi. RUU Rahasia Negara secara spesifik juga 
menghadirkan ancaman langsung bagi komunitas pers, yang selama ini paling 
rentan terhadap klaim-klaim pembocoran rahasia negara oleh para pejabat publik. 
Ibaratnya, sejenak dalam terang keterbukaan informasi, dengan munculnya RUU 
Rahasia Negara ini kita kembali kepada bayang-bayang kegelapan rezim 
kerahasiaan. *


 
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/27/Opini/krn.20081227.152114.id.html


 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke