Jawa Pos 
Jum'at, 10 April 2009 ] 

Takut ke Golput atau ke Ghost Voters 
Oleh Kacung Marijan *


Turunnya angka partisipasi pemilih dalam pemilu bukan khas negara tertentu 
seperti Indonesia. Kecuali di negara-negara yang memandang mengikuti pemilu 
sebagai kewajiban (compulsory) seperti Australia dan Belgia, sebagian besar 
negara-negara demokratis menghadapi penurunan tingkat partisipasi pemilih di 
dalam pemilu (turn-out).

Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Kalau pada Pemilu 1999 mencapai 
89,79 persen, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 menurun menjadi 76,66 
persen. Tingkat partisipasi itu lebih rendah pada Pilpres 2004, dan rata-rata 
partisipasi pemilih di dalam pilkada hanya di bawah 70 persen. 

Hasil Pemilu 9 April 2009 belum diketahui secara pasti meskipun quick count 
sudah memberikan isyarat yang cukup akurat. Survei, quick count, dan pemantauan 
sementara menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih juga tidak menunjukkan 
tanda-tanda lebih baik dari Pemilu 2004. Bahkan, di banyak TPS, tingkat 
partisipasi pemilih hanya pada kisaran 50 persen.

Golput atau Ghost Voters? 

Di Indonesia, pemilih yang tidak datang ke bilik suara sering disebut golongan 
putih (golput). Istilah itu mengemuka ketika sejumlah aktivis mengadakan 
gerakan tidak mengikuti pemilu pada 1971. Golput merupakan gerakan protes 
terhadap fenomena ''penyeragaman politik'' yang mulai dilakukan oleh Orde Baru.

Dalam perkembangannya, golput tidak lagi dipakai untuk menyebut kelompok orang 
yang tidak percaya terhadap institusi politik yang ada atau penguasa. Semua 
pemilih yang terdaftar di dalam DPT dan tidak menggunakan hak pilihnya disebut 
golput. 

Faktanya, tidak semua pemilih yang tidak datang ke bilik suara adalah pemilih 
kritis kepada institusi partai politik atau penguasa. Ada juga kelompok pemilih 
lain, misalnya, pemilih yang terpaksa tidak memilih karena alasan teknis. 
Pemilih yang harus menyelesaikan pekerjaan, pergi ke luar daerah, atau yang 
tidak memperoleh panggilan untuk memilih merupakan kelompok pemilih yang bisa 
jadi tidak bermaksud tidak ikut di dalam pemilu.

Selain itu, terdapat juga pemilih yang disebut pemilih siluman (ghost voters). 
Itu merupakan kelompok pemilih yang seharusnya tidak tercantum dalam DPT tetapi 
masih tercantum. Ketika pemilunya benar-benar jurdil, pemilih siluman tersebut 
jelas tidak akan datang ke TPS. 

Sistem administrasi kependudukan di Indonesia yang masih belum rapi merupakan 
faktor pokok dari munculnya pemilih kelompok demikian. Juga, disebabkan oleh 
adanya penduduk ''nakal'' yang memiliki KTP lebih dari satu. 

Pemilih siluman itu seharusnya bisa diatasi manakala mekanisme validasi pemilih 
berlangsung secara baik. Faktanya, seperti yang terlihat pada Pemilu 2009 ini, 
validasi pemilih tidak dilakukan secara memuaskan. Konsekuensinya, hampir di 
seluruh wilayah Indonesia didapati pemilih siluman tersebut.

Jumlah pemilih siluman memang masih belum diketahui secara pasti. Tetapi, 
mengingat adanya DPT bermasalah di banyak tempat, jumlahnya jelas tidak 
sedikit. Sekiranya hal demikian ini yang terjadi, itu berpengaruh terhadap 
kelompok pemilih yang seharusnya disebut goput tersebut.

Mengapa? 

Ada banyak argumentasi mengapa pemilih tidak datang ke bilik suara. Pertama, 
penurunan partisipasi itu dikaitkan dengan tingkat kepuasan terhadap 
performance pemerintah (Noris 1999). Termasuk di dalamnya adalah adanya 
peningkatan trust terhadap pemerintah (Franklin 2004).

Pemilih yang merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah akan berujung kepada 
berkurangnya kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Kecenderungan demikian 
akan mendorong pemilih untuk apatis kepada pemerintah.

Memang, permasalahan kinerja itu akan mendorong pemilih beralih ke partai yang 
lain. Tetapi, manakala pemilih juga berpandangan bahwa ''siapa pun yang 
berkuasa, tidak banyak berpengaruh kepada diri mereka'', para pemilih akan 
cenderung golput.

Kedua, penjelasan lain justru memiliki logika yang sebaliknya. Kepercayaan 
kepada pemerintah juga akan mendorong peningkatan golput (Marijan 2005). 
Pemilih demikian akan cenderung pasrah terhadap pemerintahan yang ada. Mereka 
tidak perlu merasa harus datang ke TPS karena sudah berpikiran bahwa 
pemerintahan yang ada akan kembali terpilih. 

Dalam argumentasi yang kedua itu, pemilih akan berbondong-bondong ke TPS ketika 
mereka merasa perlu mengganti pemerintah yang berkuasa. Hal itu, misalnya, 
terlihat dari peningkatan pemilih pada pemilu sela di Amerika Serikat pada 2006 
dan Pemilu 2008. 

Ketiga, berkaitan dengan apa yang disebut oleh Bruce Ackerman dan James Fishkin 
(2003) sebagai ''civic privatism''. Pemilihan di dalam argumentasi demikian 
dipandang sebagai urusan pribadi. Implikasinya, pemilih bisa saja kemudian cuek 
terhadap pemilihan. 

Kalau kita lihat tren pemilih yang tidak datang, faktor-faktror pendorongnya 
bisa kompleks. Ada yang golput karena tidak lagi percaya kepada parpol. Ada 
juga yang merasa tidak perlu harus memilih di TPS karena sudah ada yang 
memilih. Atau karena merasa, siapa pun yang berkuasa tidak akan berpengaruh 
banyak terhadap kehidupannya.

Apa pun argumentasinya, golput dalam pemilu harus dipandang sebagai hal yang 
serius. Ketika golput didasari pertimbangan tentang ketidakpercayaan terhadap 
lembaga politik, berarti terdapat kebutuhan untuk memperbaiki kinerja 
lembaga-lembaga politik itu.

Fenomena banyaknya pemilih yang tidak datang ke TPS, dengan demikian, menjadi 
modal awal bagi wakil terpilih untuk bekerja lebih baik. Bagi KPU, fenomena 
demikian bisa dijadikan titik tolak untuk membersihkan pemilih siluman yang 
sudah menjadi hantu pada Pemilu 2009. 

* Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga 

Kirim email ke