Teladan Tiga Muslim Feminis

Majalah TEMPO, 6-12 September 2010

Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam
Penulis: Mohamad Guntur Romli
Tebal: xlix + 250 halaman
Penerbit: Freedom Institute, Juli 2010
ISBN: 978-979-19-4664-3 

Muslim feminis dalam buku ini mengacu pada istilah male feminist yang dikenal 
dalam studi feminisme. Yang dituju adalah laki-laki yang memiliki perspektif 
feminisme dan aktif berjuang bagi terwujudnya kesetaraan dan ke adilan gender 
dalam tatanan masya rakat.

Istilah muslim feminis pasti sangat "asing" di telinga sebagian besar umat 
Islam. Sebab, istilah feminis sudah telanjur mendapat pemaknaan negatif dan 
sering dianggap tidak islami sehingga tidak pantas disandingkan dengan kata 
muslim.

Tidak sedikit umat Islam keliru memaknai feminisme; dianggap gerakan yang 
diciptakan demi merusak akidah; perlawanan perempuan terhadap kodrat; 
permusuhan terhadap laki-laki; pemberontakan perempuan terhadap kewajiban rumah 
tangga; bahkan dianggap penolakan terhadap syariah.

Semua anggapan tersebut keliru dan, karena itu, harus diluruskan. Di sinilah 
keberanian Mohamad Guntur Ramli memilih judul Muslim Feminis patut di acungi 
jempol. Sebab, di samping memasyarakatkan istilah "asing" itu, ia sekaligus 
meluruskan anggapan keliru yang selama ini membelenggu pikiran sebagian besar 
umat Islam.

Lalu apa itu feminisme? Sepanjang se jarahnya, gerakan feminisme selalu 
mendefinisikan diri sebagai gerakan me nentang perlakuan tak adil terhadap 
perempuan. Intinya: menolak seti ap bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan 
kekerasan berbasis gender terhadap pe rempuan, apa pun alasannya. Dengan ung 
kapan lain, feminisme adalah upaya transformasi sosial yang meng arah ke 
terwujudnya sistem dan pranata so sial yang secara gender lebih adil dan ega 
liter.

Substansi gerakan feminisme adalah memperjuangkan tatanan masya rakat yang adil 
secara gender, bebas dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan 
kekerasan. Jika demikian, Nabi Muhammad sangat pantas disebut feminis. Sebab, 
Nabi hadir untuk membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari belenggu 
thagut dan khurafat dengan memperkenalkan konsep tauhid (monoteisme murni).

Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan berketuhanan secara benar dan 
kemudian menuntun berke manusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, 
tauhid menja di pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan umat Islam 
bertindak benar, dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta. 
Bertauhid yang benar akan meng antarkan ke kesadaran kemanusiaan yang tinggi 
sehingga manusia tidak lagi mengeksploi tasi sesama dan tidak merusak 
kelestarian alam. Nabi mengajarkan, tugas utama manusia perempuan dan 
laki-laki-sama, yaitu menjadi khalifah filardh (pengelola kehidupan di dunia). 
Lelaki dan pe rempuan harus berlomba-lomba berbuat amal terbaik (fastabiqul 
khairat).

Melalui buku ini, Guntur menampilkan tiga sosok muslim feminis asal Mesir 
beserta ulasan perjuangannya. Pertama, Syekh Rifa'ah al-Thahthawi (1801-1873), 
dengan gagasan ide persamaan. Dia menyadar kan perlunya umat Islam meninggalkan 
penindasan terhadap perempuan dan memberinya akses luas untuk mengenyam 
pendidikan. Menurut dia, tingkat keadaban suatu masyarakat dapat dilihat dari 
sejauh mana masyarakat itu menghor mati hak-hak perempuan.

Kedua, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), yang amat vokal berbicara tentang 
kesetaraan laki-laki dan perem puan. Sebab, keduanya dicipta kan dari unsur 
yang satu. Ada empat isu gender yang menjadi perhatiannya, yakni perkawinan, 
poligami, warisan, dan perceraian. Pemikiran Abduh mengandung nuansa liberal 
yang memakai rasionalitas dalam menafsirkan teks-teks agama. Bahkan metodologi 
interpretasi yang dibangunnya menjadi cikal-bakal hermeneutika modern.

Ketiga, Qasim Amin (1863-1908), terkenal karena kedua bukunya, Tahrir al-Mar'ah 
(Pembebasan Perempuan) dan Al-Mar'ah al-Jadidah (Perempu an Baru). Statemennya 
yang terkenal: kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kondisi kemajuan 
kaum perempuannya. Dia menolak penggunaan hijab, pakaian yang menutup seluruh 
tubuh perempuan sehingga menyulitkan beraktivitas secara leluasa di ruang 
publik. Dia juga berupaya memajukan pendidikan bagi perempuan agar lebih 
berkiprah mendidik bangsanya.

Pendek kata, para tokoh feminis tersebut menggugat tradisi budaya 
patriarkal-seperti poligami, kewajiban hijab, dan larangan ke luar rumah-yang 
merugikan perempuan. Mereka mengkritik pemahaman keislaman yang diliputi 
takhayul dan khurafat, pemahaman yang tidak membebaskan dari belenggu 
kejahiliahan, yang memenjarakan umat Islam dalam kebo dohan, kemiskinan, dan 
kejumudan.

Mereka mengajak umat Islam berpikir kritis, rasional, dan terbuka. Setiap ide 
dan gagasan dari mana pun datangnya, timur atau barat, utara atau selatan, 
harus direspons kritis dan proporsional. Hanya dengan itu umat Islam dapat maju 
dan berjaya seperti pada abad keemasan Islam .

Artinya, setiap gagasan dan pemi kiran harus dibaca kritis agar dapat dipetik 
segi positif dan konstruktifnya serta dibuang segi negatif dan destruktif. 
Tentu tetap berpegang teguh pada hakikat ajaran Islam yang termaktub dalam 
Al-Quran dan sunah. Hanya, membaca teks-teks suci itu perlu bertumpu pada 
prinsip Islam yang universal: keadilan, kebebasan, kesetaraan, kemaslahatan, 
dan kemanusiaan. Wallahualam.

Siti Musdah Mulia 

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/06/BK/mbm.20100906.BK134518.id.html


Kirim email ke