[BUKU INCARAN]

Raksasa Bedah Saraf dari Klaten
---Anwar Holid

Tinta Emas di Kanvas Dunia
Penulis: Pitan Daslani 
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9

Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS 
Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang 
spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, 
lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: "Ibu, kondisi suami sangat 
gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do 
nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam 
beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti 
apa, saya tidak tahu." 

Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya 
dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya "menurun."

Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan 
melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan 
kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi 
pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani 
pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran 
demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi 
menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis 
keluarga. 

Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), 
setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: "Bapak mengalami 
perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana 
dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for 
sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh." 

Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan 
keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan 
pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan 
kemampuan maksimal.

"Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human 
error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. 
Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan 
komitmen profesi kami," demikian katanya pada seorang wartawan.

Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan 
Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh 
puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat 
betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap 
bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, 
Kepala Bedah Saraf di Neurological & Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika 
Serikat berkomentar, "Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama 
sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di 
Indonesia."

Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses 
melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran 
Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah 
organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel 
vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. 
Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, 
istilahnya mengalami brain-dead. 

Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang 
pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini 
tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang 
otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 
20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala 
halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia 
sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya 
berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu 
melakukannya.

Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi 
sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah 
dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli. 

Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan 
kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of 
neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita 
terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum 
punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia 
bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu 
pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak 
Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta 
sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar informasi mengenai hal ini.

Komitmen Eka di bidang bedah saraf kian hebat ketika ilmu pengetahuan dan 
pengalamannya ditumpahkan ke dunia pendidikan, yaitu fakultas kedokteran. Ia 
ingin ada regenerasi yang sehat dan terjadi transfer pengetahuan yang lebih 
baik. "Dari jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia hanya punya 
sekitar 120 dokter bedah saraf," imbuhnya. Komitmen ini bisa jadi timbul karena 
cita-cita menjadi dokter awalnya tampak terlalu muluk bagi dia saat kecil 
tumbuh dari keluarga sederhana di Klaten, Jawa Tengah.

Karena keluarganya kurang mampu, sejak kecil Eka bersekolah atas biaya dari 
pakde (kakak orang tua), sampai ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas 
Diponegoro, Semarang. Persis di seberang rumah orang tuanya di Klaten, tinggal 
seorang dokter umum terkenal di kampungnya, dr. Subiyanto, yang ternyata juga 
dosen anatomi di Universitas Gadjah Mada. Eka berteman akrab dengan anak dr. 
Subiyanto, sering main ke rumahnya, sampai melahirkan gambaran naif bahwa 
profesi ini sangat mulia di matanya.

Kenyataannya, Eka mengalami berbagai kesulitan dan halangan untuk menjadi 
dokter yang berdedikasi. Bisa jadi karena keturunan Cina, dia mengalami 
berbagai perlakuan menyebalkan. Begitu masuk saringan di Universitas 
Diponegoro, dia sudah dihadang dengan sumbangan dalam jumlah besar. Begitu juga 
waktu hendak mengambil spesialisasi bedah. Dia gagal ikut pendidikan 
spesialisasi di almamaternya, meskipun lulus. Mau pindah ke Universitas 
Airlangga, dia ditampik. Di Bandung, setelah lulus spesialisasi dari 
Universitas Padjadjaran dan mendapat surat keputusan bekerja di RS Hassan 
Sadikin, dia malah diadukan atasannya pada Direktur Jenderal Pelayanan Medis 
Departemen Kesehatan. Eka tahu bahwa dunia kedokteran di Indonesia masih 
feodal, sedangkan dokter yang berjiwa demokratis dan berpikiran terbuka masih 
jarang. Setelah mondar-mandir mencari rumah sakit yang tepat untuk karirnya, 
akhirnya dia memutuskan bekerja di RS Siloam. 

Di lingkungan RS Siloam kemampuannya berkembang maksimal. Rumah sakit ini 
menjadi bagian integral ketika Universitas Pelita Harapan (UPH) pertama kali 
hendak membuka fakultas kedokteran, yang salah satunya juga berkat upaya Eka. 
Di sinilah dia mengembangkan ilmu kedokteran sesuai idealisme dan perkembangan 
zaman, sekalian terus berguru, baik secara formal dengan mengambil program 
doktoral di tiga universitas dalam waktu berdekatan, maupun memburu ilmu dengan 
mengundang banyak pakar yang relevan dengan kedokteran saraf, pemenang Hadiah 
Nobel bidang kedokteran, serta rutin mengadakan visiting professor atau guest 
lecture di UPH dan organisasi profesi dokter bedah saraf. Berkat sumbangsihnya, 
Eka akan diangkat sebagai guru besar UPH pada 17 April 2010.

Biografi ini dengan semangat menceritakan betapa ada anak Indonesia begitu 
berhasrat menjadi dokter bedah saraf kaliber dunia. Teknologi dan fasilitas 
yang terbilang seadanya bukan halangan baginya untuk berkembang, melakukan 
inovasi, berbagi ilmu, sebab Eka percaya tak ada sesuatu yang terlalu sulit 
bagi orang yang mau belajar dan bekerja keras. Pitan Daslani menampilkan Eka 
secara lugas, nyaris tanpa polesan, berhasil memotret sosok Eka bagaimana 
adanya. Dia tidak menulis ala jurnalisme sastrawi yang berusaha meliuk-liuk 
baik untuk mengungkapkan perasaan atau berniat mendapatkan informasi ala 
jurnalisme investigatif untuk mengorek hal-hal yang cukup sensitif. Sedikit ada 
kejanggalan, ilustrasinya banyak menggunakan sudut pandang "aku." Ini 
menimbulkan ambiguitas, apa buku ini sebenarnya biografi resmi atau 
autobiografi yang disamarkan.[]

ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Blogger @  
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141


      

Kirim email ke