[BUKU INCARAN]

Sebundel Karya Jurnalistik Bermutu

Menuju Jurnalisme Berkualitas, Kumpulan Karya Finalis & Pemenang Mochtar Lubis 
Award 2008
Penyunting: Ignatius Haryanto
Penerbit: KPG, 2009
Halaman: 424 + xv
ISBN 13: 978-979-91-0174-7 
Harga: Rp.55.000,-


Menuju Jurnalisme Berkualitas merupakan buku kumpulan karya finalis dan 
pemenang Mochtar Lubis Award 2008. Anugerah tersebut merupakan program 
penghargaan jurnalistik yang bertujuan memberi apresiasi dan menumbuhkan 
semangat kompetisi di kalangan wartawan Indonesia untuk menghasilkan karya yang 
baik. Saya pertama kali dengar rencana acara anugerah bagi karya jurnalistik 
ini pada akhir 2006, ketika bertemu dengan Ignatius Haryanto, salah satu 
pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), juga seorang penulis 
prolifik---telah menghasilkan kira-kira lima belas buku populer dan banyak 
menulis di media massa. Ternyata dia sekaligus menjadi Direktur Program Mochtar 
Lubis Award 2008. 

Tolok ukur Mochtar Lubis Award ialah Pulitzer Prize di Amerika Serikat. Di awal 
inisiasinya, anugerahnya terdiri dari lima kategori, yaitu pelayanan publik, 
tulisan feature, pelaporan investigasi, foto jurnalistik, dan liputan mendalam 
jurnalisme televisi. Ada lima finalis untuk masing-masing kategori, hal 
tersebut membuat buku ini jadi cukup tebal. Dewan juri terdiri dari para macan 
jurnalistik dengan reputasi terkemuka, antara lain Farid Gaban, Sori Siregar, 
Yusi Avianto Pareanom, Arya Gunawan Usis, Maria Hartiningsih, Dwi Setyo 
Irawanto. Setelah menampilkan karya para finalis, di ujung setiap kategori 
dewan juri mengajukan alasan kenapa mereka memenangkan suatu karya. 

Hal paling berharga dari buku ini ialah kita bisa membaca dan belajar tentang 
tulisan bermutu, sekaligus tahu alasan kenapa karya tersebut memang benar-benar 
mantap. Penilaian para dewan juri sangat tegas dan jernih. Ini memberi 
kepastian bahwa karya yang bagus itu memang bisa diukur, ada faktor dan 
kriterianya. Menurut Ignatius Haryanto sendiri: aneka contoh (karya ini) akan 
sangat berguna bagi para pembaca dan membuat mereka bisa mencecap langsung 
seperti apa karya jurnalistik yang baik tersebut. (Hal. ix). 

Jadi buku ini terutama berharga sekali bagi mahasiswa jurnalistik dan siapapun 
yang tertarik dengan kepenulisan, orang yang ingin jadi citizen journalist, 
termasuk blogger. Kita bisa membaca baik tulisan pendek yang berisi, maupun 
tulisan (amat) panjang yang benar-benar memikat. Contohnya The Lost Generation 
(Muhlis Suhaeri), pemenang kategori pelaporan investigasi. Karya sepanjang 
seratus halaman tentang pembersihan etnik Tionghoa di Kalimantan Barat sekitar 
tahun 1967 oleh konspirasi TNI dan suku Dayak ini betul-betul memikat, 
menegangkan, membuat miris, hebat, dan memiliki unsur kemanusiaan yang dalam 
sekali. Komentar juri: juri terkesan pada gairah penulis untuk mencari data, 
menelusuri dokumen tua, dan hasil riset para peneliti, menelusuri fakta, dan 
menjumpai mereka yang terlbiat dengan mengandalkan ingatan. Tulisan ini 
memberikan pemahaman sejarah tentang praktik militerisme, politik pecah belah, 
operasi intelijen, kisah tragis manusia yuang
 terjebak di antara situasi pergantian politik negara, dan akar perdagangan 
perempuan, serta konflik komunal di daerah Kalimantan Barat (terutama daerah 
Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya.)

Buku ini secara tersirat menguatkan kaitan antara industri pers yang sehat, 
berkembang baik, dengan kualitas karya jurnalistik yang juga hebat---meskipun 
ini bukan sesuatu yang mutlak. Mayoritas finalis awalnya dipublikasi media 
besar dan terkemuka, seperti Kompas, Pikiran Rakyat, dan Tempo, merupakan karya 
wartawan yang bekerja di sana atau sumbangan dari kontributor. Tapi itu bukan 
berarti media daerah, kecil, atau spesifik, kehilangan kesempatan untuk 
menghasilkan karya gemilang. The Lost Generation awalnya dimuat harian Borneo 
Tribune (Pontianak).

Kalau benar-benar mengharapkan kualitas, bisa jadi ada dua kekurangan dalam 
buku ini. Pertama dari tampilan kategori foto jurnalistik, yang hanya diwakili 
oleh sebuah foto untuk setiap finalis, alih-alih misalnya berupa esai foto yang 
terdiri dari rangkaian sejumlah foto untuk suatu peristiwa. Apalagi foto 
tersebut juga tak dicetak khusus pada plat art paper, melainkan kertas biasa 
yang kurang memadai untuk menampilkan kualitas karya foto. Kedua, untuk 
kategori liputan mendalam jurnalisme televisi, yang malah memilih menampilkan 
script alih-alih membungkus tayangan videonya dalam sekeping cd sebagai 
sisipan. Betul-betul sulit membayangkan kesuksesan kualitas sebuah liputan 
acara televisi sekadar dari script tanpa ada tayangannya. Zaman sekarang apa 
sulitnya menyelipkan cd untuk hal seperti itu? Ini patut disayangkan.

Anugerah yang menggunakan nama seorang wartawan legendaris Indonesia ini patut 
kita hargai dan dukung. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan hebat, ia 
juga seorang penulis yang lengkap, tokoh politik, aktif dan berani menyadarkan 
warga. Warisan intelektual dan karyanya banyak. Semoga Mochtar Lubis Award 
terus berkembang dan di masa depan mampu menambah kategori, termasuk merambah 
ke karya sastra, penerbitan, dan musik.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke