Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati
--Anwar Holid

Miracle of the Brain
Penulis: Tingka Adiati
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 207 halaman  
Ukuran: 13.5 x 20 cm  
ISBN: 978-979-22-4809-8
Harga: Rp.30.000,-


JIKA KITA mengalami kebetulan luar biasa, berarti Tuhan sedang mengedip kepada 
kita. Kedipan itu ialah pesan cinta yang berbunyi: "Nak, Aku memikirkanmu. Kamu 
baik-baik saja. Bertahanlah." Demikian tulis Squire Rushnell dalam When God 
Winks. Kira-kira seperti itulah pengalaman Tingka Adiati, seorang ibu rumah 
tangga sekaligus jurnalis. 

Pada Minggu, 13 Januari 2008 menjelang dini hari dia menerima telepon bahwa 
suaminya jatuh ketika sedang bekerja di kantor. Suaminya ialah Bambang Wahyu 
Wahono, seorang wartawan di sebuah harian. Di tengah keheningan dan keseriusan 
menjelang deadline, rekan wartawan yang sama-sama masih ada di sana tiba-tiba 
mendengar suara berdebum orang jatuh, dan tak bangun-bangun. Ketika didekati, 
Bambang tampak muntah-muntah serta kondisinya sudah sangat serius. 

Setelah masuk rumah sakit, Tingka tahu suaminya mengalami perdarahan dan 
menerima vonis bahwa dia terkena stroke. Sakit ini membuat sang suami koma 
selama sembilan hari, badan bagian kirinya lumpuh total, gagal bicara, dan 
ingatannya hilang. Setelah bangkit dari koma, suaminya kembali hanya untuk 
diurus sebagai pasien selama lebih  dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa 
dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya 
akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa 
dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap 
berkorban nyawa bagi kekasihnya. 

Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning 
point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi 
lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan 
kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi 
baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam 
menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri 
dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian 
terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien 
stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup 
dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan 
dramatik. 

Sebelumnya, keluarga Tingka ada dalam kondisi ideal. Karir suaminya berjalan 
normal, sementara dia aktif sebagai wanita karir. Rumah tangganya pantas 
disebut sempurna: harmonis, kesejahteraan sosial  terjamin, anak-anak yang 
manis. Tapi takdir mendadak menggelincirkan mereka dalam kondisi kritis. Dia 
harus menerima fakta bahwa hidup bisa begitu tega memperlakukan manusia.

Alih-alih frustrasi, Tingka bersama anak-anaknya dengan tabah dan berani 
memasuki babak baru kehidupan keluarganya. Dia ikut aktif merawat, memilih dan 
mengerjakan berbagai terapi yang tepat, terus menyemangati suami dari kondisi 
koma sampai akhirnya bisa bicara lagi dan pulih sekitar enam puluh 
persen--kemajuan yang sangat pesat dan luar biasa bagi pasien stroke parah. 
Buah dari ketelatenan inilah yang dimaksud dengan "miracle of the brain."

Perjuangan tersebut menjadi ungkapan jujur seorang manusia biasa tatkala 
menghadapi kondisi luar biasa. Emosinya tumpah amat lugas dan apa adanya. 
Tingka bukan tipe perempuan melankolik. Mereka juga ber-"loe-gue" dalam 
mengekspresikan rasa sayang. Ketika sudah cukup pulih, suaminya berkata, "Loe 
baik banget, Ting. Bagaimana gue balasnya?" Jawab Tingka, "Semua ini gue 
lakukan karena gue cinta loe. Gue enggak minta balasan apa-apa selain loe 
semangat terus supaya sembuh dan pulih. Gue dan  anak-anak kangen banget sama 
loe yang dulu. Loe mau kan semangat terus?" 

Begitu pula saat dia frustrasi karena serba salah menebak-nebak maksud suaminya 
ketika kondisinya memburuk. "Bang, loe kenapa sih? Gue enggak ngerti loe maunya 
apa, soalnya loe kan enggak bisa bilang. Gue cuma menebak nih. Gue minta maaf 
ya kalau tebakan gue salah terus sehingga loe bete."

Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia 
dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan 
kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. 
Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali 
pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, 
sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy, seorang 
kolumnis, amat salut kepada Tingka. Katanya, "Tingka telah menjadi manusia 
ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga 
anak tanpa berkeluh  kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, 
manusia biasa."

Ketegaran Tingka dalam buku ini memang seolah-olah terasa begitu ilahiah. 
Betapa tidak, Bambang menghembuskan napas terakhirnya persis dalam pelukan 
istrinya.

SATU-SATUNYA "lubang" cukup serius dalam memoar ini ialah penulis tampak 
sengaja menghindari persoalan biaya (finansial). Bisa jadi Tingka menganggap 
masalah tersebut terlalu sensitif untuk diungkapkan. Atau karena dia telah 
masuk dalam fase "kebebasan finansial." Lepas dari itu, pembaca pasti penasaran 
bagaimana dia membiayai semua itu dengan lancar, seakan-akan tak berpengaruh 
pada kondisi keuangan keluarga? Bagaimana dia membayar seluruh biaya medis 
kelas satu, menyewa perawat, menebus obat-obatan, dan lain sebagainya. Apa 
ditanggung perusahaan, dari klaim asuransi, tabungan, dan kekayaan keluarga? 
Kita tahu, sakit yang parah dan lama selalu menguras emosi, energi, dan uang. 
Memang sekilas terungkap latar belakang mereka berasal dari keluarga berada. 

Karena tak disinggung, tampaknya biaya bukanlah masalah bagi penulis. Berapapun 
biayanya selalu bisa ditanggung. Padahal kalau sumber biaya disebutkan, 
misalnya dari asuransi, itu malah akan jadi pembelajaran berharga bagi setiap 
pembaca, yaitu agar setiap keluarga memiliki asuransi kesehatan (jiwa). Begitu 
juga bila dari tabungan, biar pembaca tahu manfaat menabung untuk keperluan 
darurat.

Kisah Tingka ini menghenyakkan, apalagi bila kita lihat betapa memprihatinkan 
nilai kesetiaan sekarang ini. Kita juga bisa menyaksikan adanya cinta yang 
lebih baru, tulus, dan kasih sayang yang memberi energi mulia bagi kehidupan. 
Kasih sayang, keikhlasan, dan  pengorbanan seorang istri pada suami dan 
keluarga, apalagi di saat duka, bisa menginspirasi banyak orang senasib. 
Miracle of the Brain bisa menyebarkan sikap optimisme kepada pembacanya, 
terutama keluarga yang sama-sama pernah mengalami musibah serupa. Bisa jadi 
akan lebih dramatik lagi bila ada sineas yang mampu mengangkatnya ke layar 
perak.[]

ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah 
Buku, Bandung. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.gramedia.com
____________________________________
Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke