10 NOVEMBER 1945 LATAR BELAKANG, AKIBAT DAN PENGARUHNYA Oleh Batara R. Hutagalung Pendahuluan Setiap tahun pada tanggal 10 November bangsa Indonsia memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Namun nampaknya tidak banyak yang mengetahui penyebabnya, mengapa Inggris yang ditugaskan oleh Tentara Sekutu (Allied Forces), pemenang perang dunia kedua untuk melucuti tentara Jepang dan memulhkan keamanan, ternyata mengerahkan pasukan terbesarnya setelah usai perang dunia kedua. Dua alasan yang dikemukakan oleh Mayjen R. Mansergh, Panglima Divisi 5 Inggris dalam ultimatumnya tertanggal 9 November 1945 ternyata tidak benar. Kalau begitu apa alasan yang sebenarnya, sehingga tentara Inggris selama tiga minggu membom kota Surabaya secara membabi-buta, yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 penduduk, sebagian terbesar adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak, 150 ribu penduduk mengungsi ke luar kota. Yang juga tidak pernah dibahas adalah, dampak dari pemboman tersebut, di mana terjadi kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang telah dilakukan oleh tentara Inggris. Selain itu, apa pengaruh pertempuran Oktober-November 1945 di Surabaya terhadap perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945? Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945 Brigade 49 dari Divisi 23 Tentara Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Supreme Commander Allied Forces South East Easia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara), Vice Admiral Lord Louis Mountbatten adalah: 1. melucuti tentara Jepang serta mengatur kepulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces), 2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta 3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order). Namun ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Di Surabaya, setelah dilakukan perundingan yang panjang dan alot, akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1945 dicapai kesepakatan yang isinya: 1. Yang dilucuti senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. (The disarmament shall be carried out only in the Japanese forces). 2. Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. (The allied forces will assist in the maintenace of law, order and peace). 3. Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese forces after being disarmed shall be transported by sea). Agar kerjasama dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka segera akan dibentuk suatu “Contact Bureau”. Selain itu tentara Sekutu berjanji tidak membawa tentara Belanda dan juga mengatakan bahwa di dalam tentara Sekutu tidak terdapat tentara Belanda. Pada 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.: “Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).” Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi: “… Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…” Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Tak lama kemudian datang Kolonel Pugh yang menyampaikan pendirian Brigjen Mallaby mengenai seruan dalam pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya tanpa mendapat jawaban dari pimpinan TKR. Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundingan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.” Dalam pertemuan kilat pimpinan TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu. Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru dua hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya. Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”. Perintah diberikan langsung oleh Komandan TKR Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu. Selanjutnya baca di http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/11/10-november-1945-latar-belakang-akibat.html