“Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya”.

(2Raj 5:1-15a; Luk 4:24-30)

 

“Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku
berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak
perempuan janda di Israel ketika
langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan
yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah
seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di
tanah Sidon. Dan pada
zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari
mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu."
Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka
bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung,
tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia 
berjalan
lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi” (Luk 4:24-30), demikian
kutipan Warta Gembira hari ini. 

 

Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

·   Jika kita perhatikan dengan saksama kiranya dapat kita
lihat bahwa cukup banyak orang menyeleweng dari tugas atau panggilan utamanya
dengan mencari hiburan sampingan yang dirasakan lebih nikmat dan bahagia. Suami
atau isteri berselingkuh di tempat kerja atau di luar rumah, para
pelajar/mahasiswa jarang atau tidak pernah belajar kecuali menjelang ujian atau
ulangan umum, para pekerja bermalas-malasan atau ngobrol melulu di tempat
kerja, orang lebih senang mengerjakan tugas tambahan yang bersifat eksidentil
daripada yang biasa-biasa setiap hari, dst.. Memang setelah kenal lebih jauh
dan mendalam ada kecenderungan untuk lebih memperhatikan kekurangan dan
kelemahan yang lain, dan dengan demikian siapa atau apa yang dekat dalam hidup
sehari-hari membosankan dan kurang diharrgai, dan kemudian mencari hiburang di
tempat lain yang lebih hangat, nikmat dan mesra. Jika kita tidak mampu
mengasihi siapa atau apa yang dekat dan hidup bersama setiap hari, maka
mengasihi atau memperhatikan siapa atau apa yang jauh berarti melarikan diri
dari tanggungjawab. Maka bercermin dari Sabda hari ini pertama-tama dan
terutama saya mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah kita saling
menghargai dan mengasihi antar anggota keluarga atau komunitas. Pengalaman
relasi antara orangtua-anak, kakak-adik, anggota keluarga-pembantu akan
mempengaruhi relasi anda di tempat kerja atau masyarakat antara atasan-bawahan,
senior-yunior dan diri kita tehadap mereka yang miskin dan berkekurangan. Hidup
keluarga  yang damai sejahtera, dimana
para anggotanya saling mengasihi dengan sepenuh hati, jiwa, akal budi dan
tenaga merupakan modal dan kekuatan untuk hidup bersama di tengah masyarakat
dan tempat kerja. Jika kita mampu mengerjakan tugas dan panggilan utama, maka
memperhatikan tugas tambahan akan semakin memantapkan hidup dan panggilan kita.


·   "Sekiranya
tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan
menyembuhkan dia dari penyakitnya.”
(2Raj 5:3), demikian kata seorang gadis, pelayan dan tawanan, kepada tuannya,
Naaman,  yang menderita sakit kusta.
Dalam iman segala macam penyakit disadari dan dihayati sebagai buah dari
perbuatan dosa, entah dosa pribadi yang bersangkutan atau orang lain. Seorang
nabi adalah utusan Allah, pewarta dan pembawa kebenaran dari Allah, maka saran
mohon penyembuhan kepada seorang nabi berarti suatu ajakan untuk bertobat atau
memperbaharui diri. Dengan rendah hati akhirnya Naaman, seorang panglima atau
perwira tentara, datang menghadap Elisa, nabi yang ditunjukkan oleh gadis
tersebut. Setelah melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Elisa, yaitu “mandi
tujuh kali di sungai Yordan”, Naamanpun sembuh dari penyakitnya. Kata ‘tujuh’
ini kiranya bagi kita semua anggota Gereja Katolik diingatkan akan adanya
‘tujuh sakramen’: permandian, ekaristi, krisma, tobat, pengurapan orang sakit,
perkawinan dan imamat. Maka baiklah di masa Prapaskah ini kita mengenangkan dan
merefleksikan sakramen-sakramen yang telah kita terima dan coba kita geluti dan
hayati. Kesetiaan pada penghayatan atas sakramen-sakramen yang telah kita
terima merupakan jalan penyembuhan atau kebahagiaan hidup kita, maka marilah
kita setia pada janji-janji yang telah kita ikrarkan ketika sedang menerima
sakramen terkait. Sekiranya kita telah menyeleweng atau mengingkari janji
tersebut, marilah dengan rendah hati kita bertobat: secara pribadi mengaku dosa
dihadapan seorang imam dan secara sosial hendaknya.mohon kasih pengampunan pada
mereka yang telah kita kecewakan atau lukai dengan dosa-dosa atau
kejahatan-kejahatan kita. Yang pertama-tama dan terutama kita kenangkan atau
refleksikan kiranya adalah ‘permandian’, dimana kita pernah berjanji ‘hanya
mengabdi Tuhan Allah saja serta menolak semua godaan setan’

 

“Seperti rusa
yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya
Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh
datang melihat Allah?” (Mzm 42:2-3)



Jakarta, 16 Maret 2009  
      




      Coba Yahoo! Messenger 9.0 baru. Lengkap dengan segala yang Anda sukai 
tentang Messenger! http://id.messenger.yahoo.com

Kirim email ke