"UmurMu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?" (Kej 17:3-9; Yoh 8:51-59) “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya." Kata orang-orang Yahudi kepada-Nya: "Sekarang kami tahu, bahwa Engkau kerasukan setan. Sebab Abraham telah mati dan demikian juga nabi-nabi, namun Engkau berkata: Barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya. Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kita Abraham, yang telah mati! Nabi-nabi pun telah mati; dengan siapakah Engkau samakan diri-Mu?" Jawab Yesus: "Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikit pun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya. Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita." Maka kata orang-orang Yahudi itu kepada-Nya: "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?" Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah.” (Yoh 8:51-59), demikian kutipan Warta Gembira hari ini Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut: · Semakin Yesus menyingkapkan ‘Jati DiriNya’ semakin menimbulkan ketegangan bagi mereka yang tidak atau kurang percaya kepadaNya, sebagaimana dihayati oleh orang-orang Yahudi. Rasanya hal macam itu juga sering terjadi di dalam kehidupan kita, sebagai contoh adalah hidup terpanggil sebagai suami atau isteri, imam, bruder atau suster. Laki-laki dan perempuan yang sedang dalam masa pacaran atau tunangan pada umumnya menampilkan diri baik-baik saja, namun bukan kebenaran yang ditampilkan melainkan permainan sandiwara. Ketika mereka berdua telah menjadi suami-isteri dimana senantiasa hidup bersama, tidur bersama, makan bersama dan mungkin juga mandi bersama dst.. tidak mungkin lagi ada permainan sandiwara, dan masing-masing tampil keaslian atau kebenaran dirinya. Hal itu pada umumnya terjadi pada masa ‘balita’, masa lima tahun pertama menghayati panggilan hidup. Percekcokan yang juga dapat berkembang menjadi perceraian pada umumnya terjadi pada masa lima tahun pertama hidup terpanggil, entah sebagai suami-isteri, imam, bruder atau suster, dan mungkin juga dalam dunia kerja. Ketika orang mampu mengatasi aneka tantangan dan hambatan pada masa lima tahun pertama hidup terpanggil, maka mereka akan mampu untuk setia menghayati panggilan selama-lamanya, sampai mati, dan berlakulah apa yang disabdakan oleh Yesus :”Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami mau sampai selama-lamanya”. Sebaliknya jika kita tidak mampu mengatasi tantangan dan hambatan yang muncul pada lima tahun pertama hidup terpanggil, kiranya dengan mudah kita akan saling mengusir, bercerai, mengingkari panggilan, dst.. serta ada kemungknan bertindak seperti orang-orang Yahudi terhadap Yesus “mengambil batu untuk melempari Dia”. Maka marilah kita mawas diri:selama mengarungi jalan hidup terpanggil ini apakah saya semakin percaya kepada Tuhan dan sesama manusia alias semakin banyak sahabat atau semakin kurang percaya kepada Tuhan dan sesama, sehingga semakin memiliki musuh? · "Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kej 17:4-5). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita dalam mawas diri perihal pergantian atau penambahan nama yang kita kenakan sebagai tanggapan atas panggilan dan janji Tuhan. Tono dan Tini menjadi “Adiraharjo”, Sutiyem menjadi ‘Agnes Sutiyem’, Gombloh menjadi ‘pastor John’, Tuginem menjadi ‘Sr Anna”, setelah selesai belajar di depan atau dimuka nama ditambahi gelar ‘Ir, Dr., Prof, MBA, dst..’ (samua nama samaran). Apakah kita konsekwen dengan pergantian nama atau penambahan nama tersebut, yang berarti cara hidup dan cara bertindak kita harus sesuai dengan ‘nama’ yang menandai diri kita masing-masing? Contoh konkret: suami-isteri yang taat-setia pada janjinya akan menjadi ‘bapa dan ibu sejumlah besar bangsa’, seorang sarjana yang meneruskan ilmu dan ketrampilan berarti dia sendiri semakin berilmu dan terampil dan semakin banyak orang menjadi berilmu dan terampil, dst.. Maka marilah kita mawas diri perihal arti dan makna pergantian atau penambahan nama yang dikenakan pada kita masing-masing. Kita harus berani beruhah atau diperbaharui terus-menerus, sehingga cara hidup dan cara bertindak kita sesuai dengan nama yang menandai diri kita, sesuai dengan janji-janji yang pernah kita ikrarkan dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh banyak orang. “Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu! Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya dan penghukuman-penghukuman yang diucapkan-Nya, hai anak cucu Abraham, hamba-Nya, hai anak-anak Yakub, orang-orang pilihan-Nya! Dialah TUHAN, Allah kita, di seluruh bumi berlaku penghukuman-Nya.Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya, firman yang diperintahkan-Nya kepada seribu angkatan” (Mzm 105:4-8), Jakarta, 2 April 2009 Nikmati chatting lebih sering di blog dan situs web. Gunakan Wizard Pembuat Pingbox Online. http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/