2009: Masih Tahun Stres

Adrianus Meliala
Kriminolog Universitas Indonesia 
Bagaimana kita menyebut tahun 2008 yang akan segera kita lalui ini: tahun 
kegemilangan? Tahun penuh tantangan? Berbeda dengan tahun 2007 yang penuh 
musibah, tahun 2008 relatif aman dari kejadian-kejadian yang mengindikasikan 
murka Tuhan. Juga pada tahun ini dunia (begitu pula di Indonesia) tidak memulai 
konflik baru, walaupun konflik-konflik lokal dan laten tetap saja berlangsung 
di beberapa belahan dunia yang itu-itu juga. 
Dalam kaitan dengan itu, perkenankan penulis mengajukan suatu sebutan bahwa 
tahun ini adalah tahun stres bagi banyak orang. Dengan kata lain, pada tahun 
ini banyak muncul stressor (penyebab stres) yang menyebabkan banyak orang 
bingung, mengalami disorientasi, atau menurun kinerjanya. Itulah tandanya stres 
menjadi sesuatu yang merugikan (distress), ketimbang menjadi eustress atau yang 
menyemangatkan dan menggairahkan seseorang. 
Beberapa sumber 
Terdapat banyak sumber stres yang terjadi tahun ini, sebagai berikut: Pertama, 
sebagai tahun menjelang Pemilu 2009, banyak yang geregetan, penuh harap, cemas 
sekaligus tegang. Apa pun yang terjadi di tahun ini terkait dengan pemilu akan 
amat menentukan hasil tahun depan. Alhasil, pada tahun ini kita pun sudah 
merasakan masuk dalam suasana pemilu itu sendiri. Calon kuat presiden, 
misalnya, tentunya tambah stres melihat kandidat penantang yang satu per satu 
memperlihatkan wajah di tahun ini. 
Terkait dengan itu, banyak pihak yang sebal melihat Undang-Undang Pemilu belum 
kunjung selesai. Atau, melihat kinerja Komisi Pemilihan Umum yang konon 
membingungkan dan tidak jelas prioritasnya (lebih mementingkan sosialisasi luar 
negeri ketimbang mengurusi persoalan domestik yang menggunung). Keputusan 
Mahkamah Konstitusi, yang menetapkan terpilihnya seorang calon legislator 
berdasarkan suara terbanyak dan bukan nomor urut, bukankah akan kembali membuat 
pusing banyak orang?

 
Kedua, kinerja komisioner baru Komisi Pemberantasan Korupsi di bawah pimpinan 
Antasari Azhar ternyata makin galak saja. KPK pada tahun ini benar-benar bikin 
banyak pejabat publik tidak bisa lagi tidur nyenyak, mengingat keinginan 
mempergunakan anggaran belanja secara arbitrer (dengan kata lain, semaunya) 
tetap saja tinggi. Dewasa ini ada provinsi di mana beberapa wali kotanya telah 
ada yang menjadi tahanan KPK (serta calon tahanan KPK) plus anggota DPRD dan 
beberapa pejabat pemda setempat. 
Alhasil, tidak hanya mereka yang "kotor" yang stres, mereka yang bersih juga 
terkena penyakit itu, mengingat selalu mungkin mereka terkena implikasi akibat 
permainan kotor rekan-rekannya. Ditangkapnya Romli Atmasasmita, pakar korupsi, 
misalnya, diyakini banyak pihak sebagai akibat tidak langsung dari korupsi 
Sisminbakum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dewasa ini. 
Ketiga, gonjang-ganjing ekonomi dunia membuat indeks harga saham gabungan turun 
drastis, demikian pula harga-harga komoditas dunia, termasuk bahan bakar 
minyak, turun drastis. Tidak hanya pialang, bankir dan pejabat pemerintah juga 
terpaksa tidak bisa pulang kantor dengan teratur karena harus melakukan 
rekonsolidasi penerimaan maupun pengeluaran. Juga para investor dan pengusaha. 
Menyusul itu, ada berita tentang seorang bapak yang membunuh anak dan istrinya 
sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Konon, sang bapak kalah main saham.. 
Andaikan ada hal-hal lain sejelas ini, kita tentunya juga akan tahun berapa 
yang mengalami gangguan jantung atau tekanan darahnya naik-turun akibat krisis 
ekonomi kali ini. 
Keempat, pada tahun ini pula berbagai penyakit masyarakat disikat oleh aparat. 
Judi, premanisme, dan narkoba ramai disikat polisi. Sementara itu, Satuan 
Polisi Pamong Praja gencar melibas pengemis, penjual minuman keras, pelacur, 
serta pedagang kaki lima. Tiga hal di atas lebih membuat stres orang-orang dari 
kalangan menengah dan atas, sedangkan yang nomor empat ini membuat pusing 
orang-orang kecil.

 
Sistem menguat 
Agak berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat pula dikatakan bahwa stres yang 
banyak muncul dewasa ini diakibatkan sistem yang menguat di mana-mana. Sebagai 
contoh, sebelumnya banyak pelanggar hukum yang tenang-tenang saja karena hukum 
masih bisa ditekuk dan aparat tidak berkutik, tapi agak sulit bersikap serupa 
dewasa ini. Pada masa Soeharto, pemilu hanya "jurdil" dan "luber" dari motonya 
saja dan bukan dari prakteknya, sedangkan dewasa ini semuanya harus terefleksi 
secara nyata. Alhasil, ini menjadi sumber stres bagi mereka yang awalnya ingin 
coba-coba main kayu. 
Implikasi dari sistem yang menguat juga terlihat dari keyakinan masyarakat yang 
tinggi ketika pemerintah mengatakan harga BBM harus dinaikkan, ketika gas 
tiba-tiba hilang dari pasar karena pasokan terhenti, atau ketika susu impor 
dari Cina harus disita dan diserahkan kembali ke pemerintah. Masyarakat 
tampaknya yakin bahwa itulah yang benar. Tetapi, sekaligus itu menumbuhkan 
permasalahan berupa stres baru terkait dengan keadaan yang berada di luar 
kendali masyarakat. 
Beberapa waktu belakangan ini terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan oleh 
beberapa anak muda. Konon, tindakan nekat itu terkait dengan kenyataan bahwa 
mereka tidak lulus ujian atau memperoleh nilai buruk. Menyadari bahwa sistem 
yang ada di lembaga pendidikan tidak memungkinkan mereka mengubah kenyataan, 
timbullah stres. Sayang sekali, mereka tidak kuat menanggungnya dan memilih 
langkah fatal. 
Ironis, memang. Pada satu ketika kita menginginkan sistem yang kuat di segala 
bidang guna menjamin kepastian hukum, efisiensi usaha, kelancaran perjalanan, 
keamanan transportasi, dan sebagainya, tapi pada saat yang lain ada saja pihak 
yang "menderita" karena selama ini telanjur enak dengan kondisi seperti itu. 
Bentuk penderitaan yang sudah pasti menghadang adalah munculnya stres yang bisa 
berkembang menjadi penyakit ataupun sikap-sikap fatalistik.. 
Bagaimana 2009 
Tahun depan diperkirakan akan memunculkan stres baru sebagai ikutan krisis 
ekonomi yang sekarang mulai memperlihatkan wajahnya. Ketika industri melesu 
karena tidak ada order dan ribuan orang terpaksa di-PHK, hanya ada stres yang 
membayangi hari-hari para mantan karyawan tersebut.

 
Ribuan calon anggota DPR tingkat I dan tingkat II maupun DPD juga akan semakin 
stres mendekati hari-hari pemilihan umum. Stres akan mencapai puncaknya ketika 
sudah jelas bahwa hanya ada beberapa ratus orang yang bisa meraih tiket ke 
Senayan. 
Secara sosial, gejolak konsumerisme, gaya hidup dinamis, maupun tuntutan 
kebutuhan hidup yang tinggi adalah generator stres yang secara konstan 
mencengkeram kehidupan orang kota. Pada 2009, hampir tidak mungkin kedua sumber 
stres ini akan berkurang peranannya. Yang juga menjadi masalah adalah ketahanan 
orang per orang menghadapi stres yang juga telah jauh berkurang. Ketahanan 
menghadapi stres umumnya disumbang oleh gaya hidup sehat dan seimbang. 
Masalahnya, khususnya menyangkut keseimbangan, hidup masyarakat kota sudah jauh 
dari seimbang. Pergi bekerja pagi hari dan pulang malam hari, tidak pernah 
berolahraga, dan memakan makanan berkolesterol tinggi adalah gaya hidup yang 
rentan stres. Alhasil, menghadapi permasalahan yang sedikit saja, masyarakat 
sudah gampang limbung dan ujung-ujungnya timbul permasalahan baru. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/02/Opini/krn.20090102.152482.id.html


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke