Dari Milis tetangga...

Agar Pesan Sampai Ke Hati

Seorang pasien penderita penyakit kanker terbaring di atas tempat tidur di
sebuah rumah sakit yang entah rumah sakit ke berapa yang pernah disinggahinya.
Dan kali ini pun hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan perawatan
sebelumnya. Bahkan dokter yang menanganinya sempat menghampirinya. Sambil
mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada si pasien, bahwa seluruh upaya
medis telah ditempuh. Karena kondisi penyakit yang sangat kritis, agaknya
harapan untuk sembuh sangat tipis.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi pasien tersebut.
Sedih, gelisah, depresi, tidak ada lagi gairah dan upaya.
Berbeda halnya jika si dokter yang merawatnya itu mengatakan hal lain,
kondisinya memang sangat parah, namun, menurutnya, masih ada harapan untuk
sembuh. Tentu si pasien sangat bergembira mendengarnya. Kata-kata dokter itu
akan mempengaruhi semangatnya untuk sembuh.

Kata-kata mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Bahkan terkadang ia lebih ampuh daripada senjata.
Dalam hal ini pepatah lama masih relevan, bahwa lidah lebih tajam daripada
pedang.
Betapa sering sebuah perang berkobar disebabkan oleh kata.
Demikian pula sebaliknya, perang dapat dihentikan oleh sebuah diplomasi atau
secarik kertas perjanjian damai.
Seorang penulis wanita Jerman, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kekuatan
kata. "Kata yang baik laksana pohon yang baik.
Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia;
katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai
titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau
terbunuh oleh kata-kata."

Karena kata-kata seseorang bisa bergairah, bersemangat, terhibur dari duka,
seorang pasien akan mempunyai harapan sembuh oleh kata-kata dokter.
Yang terkadang kondisi sesungguhnya berlawanan dengan kata-kata itu, sekadar
untuk menerbitkan semangat.
Juga karena kata-kata, hati yang tadinya cerah berbunga-bunga menjadi redup
sedih. Tadinya optimis menjadi pesimis. Bersemangat menjadi patah arang.

Kata-kata sebagai alat yang ampuh untuk berbagai kepentingan orang. Melobi,
mempengaruhi, merayu, menghina, melecehkan, membalaskan sakit hati. Dan kata
orang, ia adalah senjata bermata dua.

Jika kata-kata itu keluar dari orang baik dan suka melakukan perbaikan, maka
dampak yang ditimbulkannya akan positif. Namun jika ia diungkapkan oleh orang
jahat dan mencintai tersebarnya kejahatan di muka bumi ini, dampak yang
ditimbulkannya tentu kejahatan itu sendiri sebagai produk hatinya yang jahat
itu.

Seorang dai dengan tugas dakwahnya mengajak orang kepada Allah dalam taat dan
ibadah kepada-Nya. Aktivitas dakwahnya sangat didominasi oleh penyampaian
kata-kata. Sebab sasaran yang hendak dituju adalah akal manusia itu sendiri..
Jika tujuan dakwah adalah melakukan perubahan (taghyir), maka faktor utama yang
dapat mempengaruhi proses perubahan adalah akal pikiran.

Dengan adanya perubahan pada tataran pemahaman dan pola pikir, maka perubahan
persepsi dan tingkah laku bisa terjadi.

Penyampaian kata-kata bahkan menjadi titik tekan tugas para nabi dan rasul.
Seperti yang Allah tegaskan kepada Rasulullah saw. Allah berfirman, "Jika mereka
berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka.
Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)." (As-Syura: 48).

Sebagai penerus tugas para nabi dan rasul, seorang dai berdakwah menyampaikan
risalah kepada manusia. Hendaknya ia selalu meningkatkan kemampuan dan
kreativitasnya dalam memasarkan risalah ini kepada manusia. Berbagai kajian dan
petunjuk tentang kata-kata dan ceramah yang berkesan telah banyak ditulis para
ulama.
Namun muaranya tidak jauh berputar pada beberapa poin berikut ini:

1. Kuatnya Hubungan dengan Allah
Hubungan yang menguatkannya, yang menjadi rujukan, tempat menyandarkan diri,
kepada-Nya ia mengadu, berdoa, dan berbagi. Seorang dai mengajak orang lain
menuju Allah. Bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada sesuatu jika ia sendiri
jauh dengannya dan lemah hubungannya dengan sesuatu itu. Syeikh Muhammad Ghazali
menyebutkan sifat ini sebagai pilar utama seorang dai, yang tidak boleh
diabaikan. Sebab jika setiap muslim berkewajiban membina hubungan baik dengan
Allah, apatah lagi seorang dai.

Sejarah telah menjadi saksi bahwa tidak ada seorang nabi pun atau pelaku
perbaikan kecuali ia mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah. Jalinan mereka
dengan Allah sangat kuat, hidup, dan selalu segar. Tidak pernah putus barang
sekejap pun dan tidak pernah layu. Terlihat dalam aktivitas kesehariannya, saat
bersama orang lain terlebih saat sendiri. Syeikh Abdurrahman As-Sa'ati, ayah
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengisahkan kegiatan anaknya ketika berada di rumah,

"Di antara akhlaqnya adalah berpaling dari banyak orang dan hanya menyendiri
bersama Rabbnya, tidak ada yang tahu selain keluarga dekatnya saja. Di rumahnya
–Allah yang menjadi saksi- tidak pernah lepas dari mushaf, tidak berhenti
membaca, tidak pernah lalai dari zikir, ia membaca Al-Qur'an memperdengarkan
bacaannya kepada salah seorang hafizh di antara kami. Jika tidak ada seorang
hafizh kecuali anak kecil, ia pun muraja'ah hafalannya dengan anak itu. Rumahnya
penuh dengan bacaan Al-Qur'an, sujud, larut dalam dzikir, dan mendaki ke
ketinggian langit spiritual. Ketika ia tahu cara Nabi membaca Al-Qur'an maka ia
praktekkan, termasuk waqaf-waqaf di mana Rasulullah berhenti, ia pun berhenti.
Terkadang badannya gemetaran, hatinya penuh ketakutan, gelisah pada ayat-ayat
ancaman, terhadap ayat-ayat gembira ia berbinar-binar, jauh dari suasana di mana
ia hidup, jauh terbawa makna ayat-ayat itu."

Dan semua orang yang pernah mendengar pidatonya mengakui, betapa Imam Syahid
mempunyai kata-kata yang sangat kuat.

"Jika ia berpidato, kata-katanya mengalir seolah-olah turun dari langit."

Kata seseorang yang pernah menghadiri ceramahnya.

2. Selalu Memperbaiki Diri
Setiap muslim wajib memperbaiki diri dari segala kekurangan. Apalagi seorang
dai. Boleh jadi ini merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Allah. Sebab
siapa yang mengingat Allah ia akan teringat akan semua dosa dan kekurangan
dirinya serta menyadari semua aib pribadinya. Berbeda halnya dengan orang yang
lalai dari zikir. Ia pun akan lalai kepada Allah bahkan lalai kepada dirinya
sendiri. Ia berjalan tanpa arah dan petunjuk. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang
fasik." (Al-Hasyr:19)

Sangat berbahaya jika seorang dai mengajak orang melakukan sesuatu sementara
dirinya sendiri jauh darinya. Atau mencegah orang dari melakukan sesuatu ia
sendiri belum bisa terlepas darinya. Jika demikian, maka seruan dakwah yang
dikumandangkannya tak nyaring lagi. Seseorang berkata, "Kalau saya melihat
seorang dai merokok, kepercayaan saya kepadanya berkurang dua puluh lima
persen."

Bahkan, tidak hanya ajakannya yang diabaikan orang, ia bisa mendapatkan murka
dari Allah.

"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan." (As-Shaf:3)

Tentu saja hal ini tidak dipahami secara tidak konstruktif, dengan menyibukkan
diri sendiri serta tidak peduli kepada perbaikan sekitarnya. Aslih nafsaka wad'u
ghairaka (perbaiki dirimu dan ajaklah orang lain), begitu kata orang.

3. Kecerdasan Akal, Kebersihan Hati, dan Pemahaman yang Dalam tentang Islam
Sifat ini hendaknya menjadi watak seorang dai. Yang dengan demikian ia bisa
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Menimbang persoalan dengan timbangan
yang benar dan tidak memihak. Dalam bahasa dakwah hal ini bisa disebut sebagai
hikmah. Seperti yang Allah firmankan,

"Allah menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
(Al-Baqarah:269)

Menurut Muhammad Al-Ghazali, kecerdasan yang dimaksud, seseorang tidak perlu
menjadi jenius. Namun hanya dengan memiliki kemampuan melihat suatu permasalahan
apa adanya. Tidak menambah maupun mengurangi. Dengan cara pandang seperti ini
seorang dari dapat mendiagnosa sebuah persoalan dengan baik dan pada gilirannya
bisa memberikan terapi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya.
Kata-kata yang disampaikannya menjadi tepat sasaran.

Dengan kemampuan seperti inilah Rasulullah terlihat menyampaikan nasihat yang
berbeda-beda, melihat kondisi dan latar belakang psikologis seseorang yang
konsultasi kepada beliau. Suatu saat beliau hanya mengatakan, "Janganlah kamu
marah." Dan Jariyah bin Qudamah, orang yang bertanya itu pun puas dengan jawaban
beliau. Bahkan menurut riwayat Thabrani, pahalanya surga, seperti yang beliau
sabdakan, "Janganlah kamu marah, maka akan mendapat surga." Suatu saat beliau
hanya mengatakan, "Katakan, aku beriman kepada Allah. Lalu istiqamahlah."

Kebersihan hati yang dimaksud tentu bukannya kebersihan hati yang setaraf dengan
para malaikat. Cukuplah bagi seorang dai memiliki hati yang penuh cinta kepada
manusia, cemburu kepada mereka, lembut dan tidak kasar memperlakukan mereka.. Ia
senang dengan kebaikan mereka dan bukannya senang melihat kesengsaraan mereka.
Di hadapannya maupun tidak sikapnya selalu sama. Senantiasa berharap atas
kebaikannya. Sehingga antara hatinya dan hati mereka terhadap tali yang
menghubungkan. Ketulusan cintanya melahirkan getar saat tangannya berjabat,
mulutnya berucap, dan matanya menatap. Doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan
mereka membuat nama-nama mereka selalu hadir dalam hidupnya. Sehingga ketika
bertemu, pertemuan itu pun terasa hangat dirasakan oleh mereka.

Kejelasan pemahaman dimiliki karena penguasaannya terhadap konsep universalitas
Islam. Hal ini membuatnya mampu mengidentifikasi setiap persoalan. Ia dapat
membedakan mana yang bisa dikategorikan sebagai persoalan aqidah dan mana yang
bukan. Dengan hal ini pula seorang dai dapat berinteraksi dengan semua lapisan
masyarakat dan dapat melihat kekurangan serta kelebihan mereka. Ia juga memiliki
skala prioritas dalam dakwahnya.

Dalam menyikapi berbagai perpecahan madzhab dan aliran di Mesir, Hasan Al-Banna
dengan Ikhwannya mempunyai sikap yang jelas. "Karena Ikhwan meyakini bahwa
perbedaan dalam hal-hal furu' adalah sebuah keniscayaan. Harus terjadi. Sebab
prinsip-prinsip Islam yang berupa ayat-ayat, hadits, amal Nabi bisa dipahami
secara berbeda. Oleh karenanya perbedaan semacam ini juga terjadi di kalangan
para sahabat. Dan perbedaan itu terus terjadi sampai hari Kiamat. Alangkah
bijaknya Imam Malik ra saat ia berkata kepada Abu Ja'far yang ingin memaksa
orang mengikuti buku Al-Muwattha', "Para sahabat Rasulullah berpencar di
negeri-negeri. Masing-masing kaum mempunyai ilmu. Jika Anda memaksa mereka
kepada satu ilmu, akan terjadi fitnah." Tidak ada salahnya dengan perbedaan,
namun yang salah adalah sikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan menutup
diri dari pendapat orang lain. Cara pandang semacam ini dapat menyatukan hati
yang bersengketa ke dalam kesatuan fikrah.

Cukuplah orang-orang bersatu menjadi muslim sebagaimana yang dikatakan Zaid r.a.

Pandangan seperti ini sangat penting dimiliki sebuah jamaah yang ingin
menyebarkan fikrah pada suatu negeri di mana yang dilanda sebuah konflik tentang
masalah yang tidak semestinya diperdebatkan."

4. Keikhlasan
Keikhlasan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi setiap muslim dalam ibadahnya
kepada Allah. Sebab ia sebagai syarat diterimanya ibadah. Ibnu Atha'illah
berkata, "Amal perbuatan merupkan tubuh yang tegak. Sedangkan ruhnya adalah
adanya rahasia di balik amal yang berupa keikhlasan." Terlebih lagi bagi seorang
dai dan aktivis. Aktivitas dakwahnya adalah sebaik-baik amal dan sarana taqarrub
kepada Allah, tentu keikhlasan menjadi lebih urgen lagi. Seorang da'i hendaknya
menjauhkan kepentingan pribadi yang berupa sebutan, imbalan, dan pengaruh
pribadi karena aktivitas dakwahnya.

Keikhlasan tentu saja ada buahnya. Aktivitas dakwah yang dilandasi dengan
keikhlasan tentu berbeda hasilnya dengan yang dilakukan karena pamrih. Bersamaan
dengan kata-kata yang diucapkan, interaksi yang dilakukan, dan kegiatan yang
dilaksanakan seorang dai selalu menambatkan hatinya kepada Dzat yang menguasai
dan membolak-balikkan hati. Kata orang Arab, "Kata-kata yang keluar dari hati
akan sampai kepada hati pula."

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima selain
kebaikan." Bagi seorang dari, kebaikan yang hendak dipersembahkan kepada Allah
adalah keyakinannya terhadap keutamaan dakwahnya dan harapannya yang ditambatkan
kepada ridha Allah semata.

5. Keluasan Wawasan
Dakwah di zaman modern sekarang ini harus didukung oleh keluasan wawasan. Karena
seorang dai bertugas mengarahkan dan membimbing manusia dengan segala strata
sosial dan intelektual mereka. Ia berbicara dengan dokter, pasien, guru,
pegawai, kuli, insinyur, pedagang, orang pintar, dan orang bodoh. Mestinya ada
penguasaan wawasan yang dapat memasuki pola pikir mereka semua.

Tidak harus menguasai semua disiplin ilmu secara mendalam, namun wawasan global
tentang berbagai persoalan hendaknya dipahami. Kecuali wawasan keislaman yang
secara asasi harus dikuasai. Pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Sunnah serta
wawasan keislaman lain; budaya Islam, sejarah Islam, dan lain-lain. Oleh karena
itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memberikan tekanan khusus kepada sisi ini dan
itu sebagai salah satu karakter dakwahnya. Bahwa dakwah Ikhwan juga bercirikan
Jamaah Ilmiyah Tsaqafiyah (organisasi ilmu pengetahuan dan wawasan). Dan semua
sarana yang dimilikinya pada dasarnya untuk membina intelektual, hati, dan jasad
para anggotanya.

Keluasan wawasan yang dimiliki seorang dai membuatnya mampu menemukan `pembuka
hati' bagi orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Ketika berkomentar tentang
wawasan Abu Bakar yang paling tahu tentang nasab suku Quraisy dan paling tahu
tentang apa yang baik dab buruk mereka, Munir Muhammad Al-Ghadhban berkata,
"Pengetahuan tidak kalah penting daripada akhlaq. Yang dituntut dalam masalah
ini bukan segala macam pengetahuan. Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat dan
kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan karakteristik jiwa
manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya gerak kepada dai yang
merupakan pintu masuk ka hati mad'u. Setiap hati memiliki `kunci', dan tugas
seorang dai adalah untuk mendapatkan kunci itu agar ia bisa memasuki hatinya
lalu hati itu menyambutnya."

6. Menguasai Metodologi Komunikasi
Sebab ada pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqal (bagi masing-masing momen
ada ungkapannya). Dan masing-masing orang memiliki kecenderungan terhadap satu
bentuk komunikasi tertentu. Ada yang suka dengan gaya bicara yang berapi-api.
Ada yang tertarik dengan ceramah yang banyak `lawak'nya. Ada pula yang tidak
suka terhadap hal-hal yang monoton dan serius dan ia lebih suka kalau ceramah
banyak diselingi ilustrasi. Kemampuan memilih model komunkasi yang tepat akan
menjadi daya tarik yang dapat menggait hati. Rasulullah saw bersabda,
"Sesungguhnya kejelasan (komunikasi) adalah sihir."

Al-Bahi Khauli merekomendasikan kepada seorang da'i agar menggunakan beberapa
metodologi dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya. Di antaranya adalah:

1. Kisah: karena dengan kisah sesuatu yang bersifat normatif bisa lebih mudah
dipahami. Karena nilai-nilai itu berubah menjadi kaki yang berjalan, tangan yang
bergerak, dan mulut yang berucap. Barangkali inilah di antara rahasia Al-Qur'an
yang menggunakan metode kisah sebagai salah satu sarananya. Agar Islam dapat
dipahami sebagai agama yang realistis dan tidak hanya bersifat kelangitan tanpa
bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Terbukti para pelaku sejarah itu mampu
melakukannya. Di samping ia juga menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman..

2. Perumpamaan: karena dengan perumpamaan dapat mendekatkan yang jauh dan
menjelaskan yang buram, juga menentukan kadar sesuatu yang abstrak. Al-Qur'an
dan hadits sendiri seringkali menggunakan perumpamaan sebagai sarana menjelaskan
kepada kaum Muslimin tentang ajaran Islam. Tentang hakikat amal perbuatan
orang-orang kafir Allah berfirman, " Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya
sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya." (An-Nur:39)

3. Perbandingan: dan tujuannya adalah untuk menjelaskan kadar keterpautan sebuah
nilai. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah bersabda, "Shalat berjamaah lebih
mulia daripada shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh derajat." Juga
sabda beliau, "Perbandingan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu seperti
perbandinganku dengan sahabatku yang paling rendah (pengetahuannya."

7. Berdoa
Setelah seluruh upaya dan sarana dikerahkan untuk menggait orang menuju Allah
dalam aktivitas dakwah, seorang dai tidak boleh menyandarkan hasil kepada
kemampuan dan upayanya. Upaya itu harus dikembalikan kepada Allah yang menguasai
hati dan pikiran. Ini akan menjaganya dari sikap ghurur apabila dakwahnya
mendapatkan kemenangan dan menjauhkannya dari berputus asa jika menemui
kegagalan. Sebab ia yakin, seberapa hebat sarana yang dikuasainya, ia hanyalah
senjata bisa mengenai sasaran dan bisa tidak. Doa juga dapat menutupi segala
kekurangan dan kelemahannya. Sebab tidak ada orang yang memiliki semua dan
menguasai segalanya secara ideal. Adakalanya seseorang memiliki kelebihan pada
satu sisi, namun ia juga memiliki kekurangan pada sisi lain. Dan berdoa adalah
ibadah. Adalah senjata seorang mukmin di saat senjata lain tidak mempan.
Ketajaman doa dapat menembus sesuatu yang tidak bisa ditembus senjata biasa..

8. Selanjutnya, Hidayah dari Allah
Karena dai hanya menyeru dan menggerakkan potensi yang diberikan Allah.
Selanjutnya hasilnya dikembalikan kepada Allah. Sebuah kegagalan, selain harus
disikapi secara proporsional dengan melakukan evaluasi aktivitas dakwah dan
motivasi amal da'awi, tentu harus dikembalikan kepada kehendak Allah yang berhak
memberi hidayah atau tidak memberi. Dan tentu saja tidak berhenti di situ.
Optimisme harus selalu ditanamkan dalam diri seberat apapun medan dakwah yang
dilalui. Sebab perjalanan belum berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di
sini. Masih ada harapan untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar.

Dengan pemahaman inilah kita tidak pernah menganggap Nabi Nuh gagal dalam
dakwahnya. Luth gagal. Shalih gagal. Sebab semua sarana dan prasarana telah
dikerahkan untuk mengetuk pintu hati mereka. Rasulullah juga tidak pernah gagal
ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah. Karena
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al-Qashash:56)

Kegagalan adalah jika si da'i itu sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya
karena dosanya atau ia sendiri terpental dari aktivitas dakwah, melempar handuk
untuk meninggalkan kancah pertarungan. Lalu ia hanya duduk-duduk bersama
`qa'idin'. Semoga Allah mengokohkan kaki kita dengan kata-kata-Nya yang tetap.




      

Kirim email ke