http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=5867
2009-03-14 Antara Kupang, Weber, dan Huntington Oleh Ronny Prabowo Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) 2008 yang menempatkan Kupang sebagai kota terkorup di Indonesia patut menjadi perhatian. Sebagai ibu kota NTT, Kupang menjadi representasi NTT yang penduduknya mayoritas Nasrani. NTT sendiri didominasi oleh umat Katolik dan disusul Protestan. Khusus untuk Kota Kupang, per 2006 sekitar 60 persen penduduknya beragama Kristen Protestan dan 23 persen Katolik. Dengan komposisi demografis semacam itu, pengamat yang optimistis bisa secara apriori berpendapat bahwa tesis Max Weber yang terkenal tentang etika Protestan berlaku di Kupang. Secara singkat, tesis Weber menyatakan bahwa masyarakat Protestan memiliki etos kerja yang lebih baik daripada masyarakat Katolik untuk bisa memperoleh kemakmuran duniawi. Kemakmuran duniawi bukan dosa, tapi justru tanda berkat surgawi yang mereka peroleh. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa negara-negara Eropa Utara (mayoritas Protestan) lebih makmur daripada Eropa Selatan (yang mayoritas Katolik). Lebih lanjut, etika Protestan yang menekankan tanggung jawab personal dan mengandalkan agama yang tidak hierarkis membuat trust lebih berkembang. Penghormatan atas hak individu dan transparansi lebih bisa berkembang, karena trust tersebut. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer, dan Vishny (1997 dan 1999) merumuskan hipotesis ini dan menemukan bukti empiris yang mendukung. Dalam konteks korupsi dan good governance, Sandholtz dan Koetzle (2000), juga menemukan bahwa negara Protestan memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah ataupun governance yang lebih baik. Pengamat yang optimistis mungkin juga memakai tesis Samuel Huntington tentang peran Gereja Katolik (khususnya setelah Konsili Vatikan II) untuk mengharapkan peran Katolik dalam pembangunan NTT. Huntington melihat bahwa Konsili Vatikan II membuat Gereja Katolik membuka diri dan berbalik dari penghambat menjadi gerbong demokrasi. Pilihan politis Gereja Katolik untuk menekankan preferential option for the poor juga membuat demokratisasi berhembus kencang di negara Katolik. Bukan kebetulan jika negara yang mengalami proses demokratisasi selama beberapa dasawarsa terakhir mayoritas Katolik. Demokratisasi memberikan efek positif terhadap good governance dan pengurangan korupsi. Dalam survei TI 2008, banyak negara Katolik yang memiliki kinerja baik (meskipun negara Protestan masih mendominasi ranking atas). Bagaimana di Indonesia? Posisi bontot Kupang dalam survei TII 2008 harus menjadi perhatian umat Kristen (Protestan dan Katolik). Bisa jadi fakta ini hanya bukti anekdotal. Tapi, sebaliknya fakta ini juga bisa jadi indikator ketidakmampuan umat (dan gereja) Kristen berkontribusi dalam penciptaan good governance di Indonesia. Terlepas dari apakah fakta ini bisa digeneralisasi atau tidak, hasil survei ini bisa menjadi peringatan bagi umat Kristen Indonesia dan gereja untuk memikirkan sumbangan mereka dalam menciptakan habitus baru yang bebas dari korupsi. Umat Kristen harus jujur dalam menjawab pertanyaan, apakah provinsi atau kota/ kabupaten dengan pengaruh Kristen yang dominan atau signifikan berkinerja baik dalam upaya penciptaan good governance. Atau justru sebaliknya, jangan-jangan daerah tersebut memiliki kinerja mengecewakan. Selama ini, validitas tesis Weber (atau Huntington untuk Katolik) pada provinsi atau kota/kabupaten di Indonesia, yang memiliki umat Kristen mayoritas atau signifikan masih sumir. Etika Protestan atau Katolik tampak kalah bersaing dengan faktor-faktor lain. Menurut penulis, hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, peran profetis gereja dan umat melemah karena merasa tidak mampu mengalahkan budaya korupsi. Akibatnya, mereka diam dan mungkin ikut menikmati korupsi tersebut. Kedua, sebagian gereja lebih menekankan aspek personal-vertikal Kristen dan mengabaikan aspek sosial-horizontal. Ketiga, upaya gereja (Katolik dan Protestan) dalam inkulturasi di masyarakat setempat membuat gereja kurang kritis terhadap nilai adat setempat yang menghambat good governance. Dengan kata lain, bukan hanya Kristen yang "menaklukkan" daerah tersebut, tapi juga masyarakat setempat "menaklukkan" Kristen ke dalam adat mereka. Keempat, umat Kristen (dan gereja) dihinggapi minority syndrome yang mengakibatkan energi umat dan gereja habis tersedot ke isu minoritas-mayoritas. Dalam masa prapaskah ini, alangkah baiknya jika umat Kristen dan gereja dari berbagai denominasi kembali bertanya, apakah sebutan garam dan terang dunia masih valid, terutama dalam melawan budaya korupsi yang sudah menjadi kanker bangsa ini? Atau apakah "kegelapan dan ketawaran" budaya korupsi telah mengalahkan garam dan terang itu, sehingga umat dan gereja diam atau bahkan menjadi kontributor kegelapan dan ketawaran budaya korupsi tersebut. Sebagai catatan penutup, tidak ada satu pun bupati/wali kota Kristen yang terpilih sebagai bupati/wali kota pilihan majalah Tempo tahun 2008. Padahal salah satu kriteria Tempo adalah transparansi. Jangan- jangan ini juga indikator bahwa tokoh Kristen yang jadi pejabat publik gagal menjadi "garam dan terang dunia". Penulis adalah dosen FE UKSW Salatiga