http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=1349
28/11/2008 Argumen Kuota Pencalonan Perempuan Oleh Didik Supriyanto Hari-hari ini, Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan gugatan Mohammad Sholeh terhadap Pasal 55 dan 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, yang mengatur keterwakilan 30 persen perempuan. Inilah kali pertama kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif di pemilu ditantang secara terbuka lewat jalur hukum. Sebelumnya, perlawanan muncul di forum-forum politik yang melebar dalam perdebatan publik di media massa. Pasal 55 UU No 10/2008 menyebutkan, dalam daftar calon anggota legislatif yang disusun partai politik, pada setiap tiga calon, sedikitnya terdapat satu perempuan. Sementara Pasal 214 mengatakan, calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara sedikitnya 30 persen BPP (bilangan pembagi pemilih). Jika tak ada calon yang meraihnya, kursi diberikan berdasar nomor urut. Jadi, meskipun dalam Pemilu 2009 nanti daftar calon bersifat terbuka, namun calon terpilih tidak ditentukan berdasar suara terbanyak. Dalam gugatannya, Sholeh mendalilkan, pasal-pasal tersebut telah menghilangkan hak-hak konstitusional dirinya sebagai warga negara. Ia merasa telah didiskriminasi oleh ketentuan pasal tersebut. Menurutnya, pemilu sebagai arena terbuka untuk memperebutkan jabatan publik, semestinya berlaku ketentuan yang sama kepada semua warga negara, tidak peduli apakah dia itu laki-laki atau perempuan. Dalil Sholeh tersebut mau tidak mau membawa kita pada perbincangan tentang apa itu prinsip persamaan warga negara dalam sistem pemilu. Sholeh benar, tiadanya persamaan perlakuan dalam sistem pemilu tidak saja mencederai konstitusi, tetapi juga nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi oleh umat manusia. Tetapi, sadarkah kita bahwa sejak prinsip persamaan itu diterapkan dalam sistem pemilu, ternyata hasil pemilu tidak pernah menunjukkan representasi warga negara yang sesungguhnya? Prinsip Demokrasi Prinsip demokrasi menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan keputusan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Namun, sejak gagasan demokrasi digulirkan dan dipraktikkan, parlemen nyaris tidak pernah mewakili semua kelompok di masyarakat. Kenyataan itu menyebabkan parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya. Menurut Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816, atau 51 persen dari jumlah penduduk. Sementara jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2004, hanya 9 persen dari 550 kursi. Itu artinya, perempuan Indonesia hanya diwakili oleh beberapa orang, sehingga 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi oleh kebijakan DPR. Bentuk diskriminasi itu bisa dilihat dari sedikitnya produk perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan. Banyak politisi, termasuk Sholeh tentu saja, dengan gampang menyalahkan perempuan jika tidak bisa memasuki parlemen. Sebab, sistem pemilu dibuka buat siapa saja untuk bertanding secara fair. Jika tidak banyak calon perempuan yang terpilih, itu bukan salah sistemnya, tapi lebih karena pemilih memang tidak menyukai calon perempuan. Dalih tersebut mengandaikan bahwa semua calon bertarung tidak hanya dalam sistem yang sama, tetapi juga memiliki kemampuan yang sama. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Perempuan yang terdiskriminasi oleh sistem sosial yang didominasi laki-laki selama berabad-abad punya keterbatan dan kelemahan hampir di semua lini kehidupan. Kondisi ini menyebabkan perempuan tidak akan mampu bersaing dalam pertarungan politik yang terbuka. Secara ekonomi, perempuan tidak memiliki akses yang cukup, sehingga dalam pemilu yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, calon perempuan akan menghadapi banyak kesulitan. Secara politik, perempuan jelas tidak menguasai struktur partai, sehingga pencalonannya nyaris tanpa dukungan partai. Yang tak kalah penting adalah kultur perempuan yang tidak bisa "menghalalkan" segala cara, sehingga dalam pertarungan keras, mudah disingkirkan. Kenyataan tersebut membuat perempuan sulit untuk meraih kursi legislatif. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota pemilu legislatif. Kebijakan ini berarti memberikan ruang yang lebih terbuka buat perempuan agar berhasil memasuki parlemen. Namun, sifat kebijakan afirmasi ini sementara. Saat perempuan sudah dalam kondisi yang sama untuk bersaing dengan laki-laki, maka kebijakan tersebut bisa dihapus. Jatah Kursi Dibandingkan dengan praktik di beberapa negara, kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30 persen perempuan di Indonesia masih lebih "adil" bila dilihat dari kacamata kepentingan politik lagi-laki. Sebab, di beberapa negara kebijakan itu diwujudkan dalam bentuk 30 persen kursi tersedia buat perempun. Artinya, berapa pun perolehan suara calon perempuan, maka 30 persen kursi di parlemen itu sudah menjadi jatahnya. Sementara itu di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10/2008, calon legislatif dari perempuan masih berkompetisi di arena pemilu, bersaing dengan laki-laki. Di sini kuota keterwakilan perempuan 30 persen hanya pada wilayah pencalonan. Itu artinya, para calon perempuan tetap berjuang untuk memperebutkan suara pemilih. Jadi, tidak ada jatah kursi khusus untuk perempuan. Kebijakan afirmasi di sini hanya meminta kepada partai agar membuka kesempatan yang cukup buat perempuan untuk dicalonkan. Itu saja. Sebab, jika tidak, seperti dalam pemilu-pemilu sebelumnya, partai yang didominasi laki-laki cenderung menyingkirkan perempuan dari daftar calon legislatif, dengan berbagai dalih yang tidak masuk akal. Penulis Adalah Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)