Refleksi: Biar lambat, asal selesai dan sangat bagus sekali pemerintah Belanda telah meminta maaf kepada keluarga 431 korban pembantaian tahun di Rawang Gde pada tahun 1947.
Apakah ini tidak bisa dijadikan contoh kepada TNI dan perwira-periwanya sekarang yang berkuasa untuk meminta maaf kepada para keluarga korban pembantaian lebih dari sejuta manusia yang dilakukan oleh TNI dan konco-konco mereka pada 1965/1966 dan juga kepada ratusan ribu manusia yang dipenjarakan bertahun-tahun tanpa melalui proses hukum yang membuktikan kesalahan mereka dan begitu juga korban-korban lain peristiwa seperti tragedi Tanjung Priok 1984? Bagaimana pendapat presiden NKRI yang adalah panglima tertinggi TNI, mantan perwira serta para perwira TNI baik yang masih berdinas aktif maupun yang sudah pensiun yang turut melakukan pembantaian tsb? Kalau Anda sekalian tidak melakukan, siapa yang akan melakukan? Ataukah pelanggaran HAM itu dianggap sepele? http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=40197 Rabu, 10 Desember 2008 ] Dubes Belanda Minta Maaf Atas Pembantaian NICA di Rawagede 61 Tahun Lalu KARAWANG - Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf kepada korban dan keluarga peristiwa pembantaian Rawagede yang terjadi 61 tahun lalu. Kemarin (9/12), Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nicolaus Van Dam datang langsung ke makam para pejuang di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. Dia bersedia hadir setelah parlemen Belanda sepakat agar pemerintah Negeri Kincir Angin itu mengirimkan wakil resminya pada acara peringatan tragedi kemanusiaan yang menewaskan 431 warga Indonesia tersebut. ''Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas peristiwa yang terjadi pada 1947 itu,'' katanya dalam bahasa Inggris. Nicolaus yang datang dengan setelan jas itu didaulat untuk memberikan sambutan. Dia mengungkapkan, pemerintah Belanda memahami penderitaan yang dialami para keluarga korban Rawagede. Diperkirakan, jumlah rakyat Indonesia yang tewas akibat aksi brutal tentara Belanda tersebut sangat banyak. ''Itu merupakan satu contoh yang paling menyedihkan dari cara Belanda dan Indonesia untuk saling berpisah saat itu,'' ungkapnya. Dia menceritakan, pada 2005, Menteri Luar Negeri Bernard Bot menyampaikan, sebuah masyarakat harus mempunyai keberanian untuk menghadapi sejarah sendiri, termasuk Belanda dan Indonesia. ''Saya akui, penempatan kekuatan militer Belanda pada 1947 telah menempatkan Belanda pada sisi yang salah dalam sejarah. Kenyataannya, mengakibatkan banyak korban tewas dan terluka dari kedua pihak merupakan suatu kenyataan yang pahit dan kejam, khususnya bagi bangsa Indonesia,'' ujarnya. Setelah memberi sambutan singkat, Nicolaus berkeliling meninjau makam Sampurna Raga dan Monumen Rawagede. Dia juga sempat menaburkan bunga di beberapa makam. Dia sempat tertegun saat melihat diorama patung tiga tentara NICA menembaki warga. Nicolaus juga dipertemukan dengan delapan janda yang kehilangan suaminya serta Saih, 87, seorang saksi hidup peristiwa itu. Sebelumnya, ada 10 orang yang menuntut Belanda agar bertanggung jawab. Mereka adalah Cawi, Laksmi, Wisah, Wanti, Layem, Wanti, Bitijeng, Taswi, Kesa, Imi, dan Saih. Namun, Imi meninggal pada Agustus lalu. Nicolaus menyerahkan santunan EUR 5.000 (Rp 70 juta, dengan kurs 1 euro sekitar Rp 14.000) kepada para korban. Jika dibagi 10 orang, per keluarga akan mendapat sekitar Rp 7 juta. Uang itu bukan merupakan kompensasi, melainkan sumbangan kemanusiaan. ''Belanda menolak memberi ganti rugi. Jadi, uang itu hanya santunan atau donasi,'' jelas Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung yang selama ini aktif mengadvokasi korban Rawagede. Karena itu, KUKB dan para korban tetap akan meneruskan gugatan yang ditolak pemerintah Belanda. ''Kami harap pemerintah Indonesia berpihak kepada korban. Kalau perlu, harus dijajaki wacana pemutusan hubungan diplomatik,'' tegas Batara. Surat gugatan korban yang dilayangkan kepada Perdana Menteri Jan Balkenende melalui kantor pengacara GJW Pulles di Amsterdam ditolak pada 20 November lalu. Belanda bersikukuh tidak akan memberikan kompensasi apa pun kepada korban. Alasannya, peristiwa itu dianggap kedaluwarsa. Meski begitu, Belanda bersedia berdialog. ''Kami akan meneruskan gugatan ke Mahkamah Internasional,'' katanya. Saih, salah seorang korban yang lolos pada peristiwa itu, mengaku senang mendapat santunan. ''Tapi, saya percaya bapak-bapak pengacara untuk meneruskan gugatan kami,'' ujarnya. Sekarang, Saih tinggal di rumah sederhana di ujung barat desa. Dia menjadi satu-satunya saksi hidup peristiwa yang mengilhami Chairil Anwar menulis puisi Antara Krawang-Bekasi tersebut. Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947. Saat itu, 431 nyawa manusia melayang di desa lumbung padi tersebut. Belanda melakukan serangan mendadak dengan dalih mencari gerilyawan dan menewaskan lelaki dewasa serta anak-anak di atas 15 tahun. Hanya wanita yang tersisa. Selama dua hari mereka menunggu bantuan dan memakamkan keluarganya dengan peralatan seadanya. (rdl/nw