Bad Governance Salah Satu Ekses Pilkada 

Oleh Eko Prasojo * 

Pada Januari lalu presiden menyetujui pemeriksaan kasus hukum terhadap 128 
kepala daerah dan anggota DPRD. Berita persetujuan itu tentu mengejutkan karena 
menunjukkan begitu banyak kepala daerah yang memiliki kasus pelanggaran hukum. 

Bagaimana menjelaskan fenomena maraknya kasus hukum yang dilakukan kepala 
daerah? Apa yang menjadi penyebab banyaknya kasus pelanggaran hukum oleh kepala 
daerah? Saya berhipotesis bahwa hal itu terkait dengan pemilihan langsung 
kepala daerah. 

Transaksi Ekonomi Politik 

Sepertinya menjadi jamak dalam berbagai diskusi dan polemik di tanah air bahwa 
biaya penyelenggaraan pemilihan langsung kepala daerah sangat mahal. Biaya 
tersebut tidak saja harus dibayar masyarakat melalui APBD, tetapi juga oleh 
calon kepala daerah dan partai politik pengusung. 

Meski sulit untuk dibuktikan secara resmi, berapa biaya yang dikeluarkan 
seorang calon dan partai politik untuk mengikuti proses pemilihan kepala 
daerah, itu dapat dirasakan berbiaya besar. Hal tersebut dibutuhkan sejak 
seorang calon melamar atau dilamar partai politik, biaya survei dan konsultan, 
biaya iklan politik, biaya resmi administratif, sampai biaya ''upaya paksa" 
mengubah preferensi atau pilihan masyarakat. 

Besarnya biaya juga bervariasi, bergantung nama besar partai pengusung dan 
tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Untuk pemilihan gubernur, biayanya akan 
jauh lebih mahal dibandingkan dengan pemilihan bupati/wali kota. Semakin 
populer sebuah partai, semakin mahal pula biaya yang dikeluarkan seorang calon 
kepala daerah. 

Bahkan, sering terdengar sayup-sayup bahwa kebutuhan biaya itu dipenuhi dengan 
cara pre-finance (prabayar) melalui proyek-proyek pengadaan barang dan jasa 
yang secara definitif telah diketahui pemenangnya.

 

Besarnya biaya yang diperlukan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah 
ditengarai merupakan penyebab utama buruknya kualitas pemerintahan daerah saat 
ini. 

Sebenarnya sangat mudah memahami gejala itu karena uang yang sudah dikeluarkan 
untuk membiayai ongkos pilkada sebenarnya tidak dibiayai sendiri oleh calon, 
melainkan harus dibayar rakyat melalui APBD. 

Modus yang paling lazim adalah keberpihakan kepala daerah kepada ''investor 
politik" dalam pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin-izin tertentu 
dalam pengelolaan sumber daya alam. 

Tentu saja tidak semua kepala daerah yang dipilih secara langsung memiliki 
perilaku buruk seperti itu, namun jumlahnya sangatlah sedikit. Perilaku buruk 
kepala daerah dalam pilkada merupakan fenomena umum, sekalipun bisa dijumpai 
perilaku menyimpang yang positif. 

Banyaknya kepala daerah yang terkait dengan kasus pelanggaran hukum korupsi, 
dalam pandangan penulis, sangat berhubungan dengan mahalnya biaya pilkada yang 
harus diupayakan gantinya dalam pemerintahan daerah. 

Ke Arah Bad Governance? 

Pertanyaan berikutnya, apakah praktik pemilihan langsung kepala daerah di 
Indonesia telah menyebabkan praktik pemerintahan yang buruk (bad governance), 
sebagaimana diindikasikan 128 kepala daerah yang tersangkut kasus pelanggaran 
hukum. 

Pada 2000 James Manor dan Richard Crook melakukan penelitian di Amerika Selatan 
dan Afrika Barat tentang kaitan antara pemilihan langsung kepala daerah dan bad 
governance. Hasilnya adalah ''Some of the worst cases of corruption and 
ineffectiveness are associated with the direct popular election mayors of chief 
executives and a separation of powers between the elected chief and 
representative councils". 

Jadi, kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan dalam penyelenggaraan 
pemerintahan daerah berhubungan dengan pemilihan langsung kepala daerah dan 
pemisahan kekuasaan antara kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. 



Menurut Manor dan Crook, ada tiga penyebab pemilihan langsung kepala daerah 
berhubungan dengan praktik pemerintahan daerah yang buruk. Pertama, tidak 
berfungsinya secara efektif kontrol politik dari dewan perwakilan rakyat daerah 
(council) terhadap kepala daerah. Kedua lembaga itu sama-sama memiliki 
legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh masyarakat. 

Di Indonesia, berdasar UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah 
tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD. Fungsi pengawasan DPRD jadi mandul, 
sedangkan pengawasan oleh pemerintah pusat tidak berjalan efektif karena 
keterbatasan kompetensi dan jumlah personel. 

Bisa dikatakan, saat ini kepala daerah tidak terawasi baik oleh DPRD maupun 
pemerintah pusat. 

Kedua, kecenderungan elite politik lokal di negara berkembang yang bersifat 
tertutup dan selalu mengooptasi kekuasaannya. Penguasaan terhadap aset, sumber 
daya, dan kemakmuran hanya terbatas pada lingkaran elite yang sangat kecil. 
Karena itu, calon kepala daerah incumbent selalu mengooptasi kekuasaan, 
termasuk birokrasi dan sumber keuangan daerah, untuk memenangi pilkada. 

Ketiga, kesadaran, pengetahuan, dan jaringan masyarakat dalam mengontrol 
pemerintahan daerah sangat minim dan terbatas. Di daerah-daerah pedesaan dan 
pedalaman, masyarakat cenderung tidak bisa berpartisipasi secara aktif dalam 
mengontrol kebijakan kepala daerah dan implementasinya. 

Padahal, dalam demokrasi yang partisipatif, termasuk dalam pemilihan langsung 
kepala daerah, dibutuhkan peran dan fungsi masyarakat yang aktif untuk 
mengontrol kinerja kepala daerah. Lemahnya partisipasi masyarakat dalam 
penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan salah satu penyebab kian 
banyaknya kepala daerah yang tersangkut pelanggaran hukum. Tentu saja faktor 
semakin gencarnya pemberantasan korupsi ikut berperan dalam pengungkapan kasus 
tersebut. 

Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan dampak negatif pemilihan langsung 
kepala daerah? Pertama, mengikat akuntabilitas kepala daerah pada peran dan 
fungsi DPRD sebagai lembaga pengawasan politik. Kedua, penguatan proses 
pendidikan politik ke masyarakat untuk meningkatkan partisipasi yang aktif dan 
positif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

Ketiga, membangun meritokrasi politik dalam sistem partai untuk menyederhanakan 
dan menjadikan murah pemilihan langsung kepala daerah. Semoga.

* Eko Prasojo, guru besar ilmu administrasi negara di FISIP, UI, Depok

http://jawapos.com/

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke