Bangsa Reality Show 

Oleh Kurniawan Muhammad *

Ketika menyaksikan tayangan yang diulang-ulang di televisi tentang adegan Ketua 
DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat saat dievakuasi dari kejaran massa 
sebelum meninggal, apa yang ada di benak kita? Prihatin, sedih, ikut tegang, 
gemas, heran, atau merasa tidak habis pikir mengapa bisa terjadi peristiwa 
seperti itu? Perasaan-perasaan tersebut mungkin juga kita alami ketika 
menyaksikan tayangan reality show di televisi. 

Pada reality show, ketegangan, keheranan, kesedihan, keprihatinan, dan 
kegeraman, sengaja dibangun melalui adegan-adegan riil (tanpa diarahkan, dan 
mungkin juga tanpa diedit) di layar kaca. Dengan demikian, yang disaksikan oleh 
masyarakat adalah adegan apa adanya. 

Baru-baru ini di layar kaca, kita beberapa kali menyaksikan tayangan mirip 
reality show. Paling mutakhir adalah kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul 
Aziz Angkat yang dramatis itu (sebelum meninggal, diduga sempat dikeroyok oleh 
para pengunjuk rasa). 

Sebelumnya, menjelang Idul Fitri tahun lalu, kita juga menyaksikan adegan 
ribuan orang yang berdesak-desakan di Pasuruan. Mereka antre menerima pembagian 
zakat, hingga ada beberapa orang yang nyawanya terenggut. Adegan tersebut juga 
sempat ditayangkan berulang-ulang di televisi. 

"Tontonan" mirip reality show lainnya terjadi di Jombang. Ketika ditayangkan, 
ribuan orang tampak antre. Mereka menunggu giliran bertemu seorang bocah yang 
dipercaya punya kesaktian bisa mengobati berbagai macam penyakit. Bocah itu 
belum genap 10 tahun umurnya. Dia punya batu, yang konon dia terima begitu 
saja. Bahkan, ada yang menyebut, batu itu turun dari langit.

Si bocah menggunakan batu tersebut untuk mengobati pasien-pasiennya. Caranya, 
batu dicelupkan ke dalam air. Kemudian air tersebut diminumkan ke pasien.. 
Menurut kabar dari mulut ke mulut, banyak pasien yang bisa disembuhkan dengan 
cara itu.

 

Ada beberapa pertanyaan untuk tiga kasus di atas (kasus kematian Ketua DPRD 
Sumut, kasus antre zakat, dan kasus dukun cilik). 

Untuk kasus pertama, mengapa orang-orang yang berunjuk rasa itu menjadi 
beringas dan membabi buta memaksakan kehendaknya? 

Thomas Hobbes pernah menyatakan, "Manusia adalah serigala bagi orang lain." 
Dengan pernyataan itu, Hobbes sepertinya ingin mengingatkan bahwa memang ada 
sisi beringas pada diri manusia, seperti beringasnya seekor serigala. 

Seekor serigala menjadi beringas ketika perutnya lapar. Seekor serigala semakin 
beringas ketika menyaksikan buruannya berusaha melarikan diri. Seperti itulah 
kira-kira yang terjadi pada unjuk rasa di gedung DPRD Sumatera Utara. 

Massa yang sedang kalap memburu ketua DPRD Sumatera Utara agar memimpin sidang 
paripurna. Yang diburu berusaha dievakuasi. Tapi, dia dianggap massa sedang 
berusaha melarikan diri. Maka, terjadilah keberingasan itu. 

Setidaknya ada dua kondisi yang menyebabkan peristiwa itu menjadi semakin tak 
terkendali. Kondisi pertama, kurang siaganya aparat keamanan. Padahal, peserta 
unjuk rasa tersebut sudah mengajukan izin ke aparat kepolisian. Seharusnya 
beberapa kemungkinan terjelek bisa diantisipasi. Tapi, yang terlihat pada unjuk 
rasa itu, antisipasi polisi sangat lemah. 

Kedua, semakin menggumpalnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga dewan 
dan anggota dewan. Gejala ini terjadi secara luas. Sejak reformasi bergulir, 
masyarakat semakin tidak respek terhadap lembaga legislatif dan perilaku para 
wakil rakyatnya. 

Untuk kasus kedua, mengapa dalam kegiatan sosial seperti pembagian zakat di 
Pasuruan harus ada korban yang meninggal? Di sinilah sisi ego manusia yang 
berbicara. Ketika ribuan orang yang diasumsikan sama-sama tak mampu berkumpul, 
bukan toleransi atau solidaritas yang terbangun. 

Justru mereka saling berkompetisi. Dan, ketika hawa kompetisi semakin tak 
sehat, rasa kepedulian terhadap sesama pun menjadi tumpul. Maka, mereka yang 
berusia lanjut dan mereka kaum hawa yang lemah, yang tak kuat berdesak-desakan, 
akhirnya meninggal setelah tubuhnya tergencet tubuh lain yang lebih kuat.

 

Pada kasus ketiga, mengapa begitu mudahnya ribuan orang percaya dengan kabar 
yang bersumber dari mulut ke mulut, hingga ada empat orang yang tewas karena 
antre berdesak-desakan (baca JP 10 Februari 2009)? 

Ribuan orang itu sebelumnya tak pernah bertemu Ponari, si dukun cilik. Mereka 
hanya mendapatkan referensi dari mulut ke mulut tentang kesaktian Ponari yang 
bisa menyembuhkan penyakit dengan batu. Meski bersumber dari mulut ke mulut, 
anehnya, ribuan orang itu seperti terhipnotis. Mereka percaya begitu saja dan 
rela berdesak-desakan, hingga ada beberapa orang yang tewas. 

Fakta ini, mengutip hasil penelitian Kooyman (1970), disebabkan masyarakat kita 
lebih banyak didominasi budaya lisan ketimbang literer. Beberapa ciri 
masyarakat dengan budaya lisan antara lain: emosi lebih berperan daripada 
pikiran rasional, hanya melihat yang terindera, dan mengandalkan kesadaran dari 
radio, televisi, ngobrol, gosip, dan SMS. 

Sedangkan beberapa ciri masyarakat dengan budaya literer, antara lain: selalu 
melihat substansi peristiwa, melihat tak hanya berdasarkan inderawi tapi akal 
budi, dan berbuat setelah matang pemikirannya. 

Penelitian Kooyman itu menyebutkan, pada 1970, dari 100 juta orang dewasa, 
hanya 2 persen (sekitar 2 juta) orang-orang literer. Tiga puluh tahun kemudian, 
jumlah orang literer diperkirakan meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar 6 
juta. Ini masih belum ada 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Apakah 
ribuan orang yang antre pengobatan dukun cilik itu adalah orang-orang dengan 
budaya lisan? Silakan, Anda yang menilai. 

Akhirnya, kita berharap beberapa peristiwa di atas bisa menggugah kesadaran 
kita untuk becermin, seperti apa bangsa kita ini. Selanjutnya, tugas para 
pembuat kebijakan yang harus menjadikannya lebih baik. Jika kita sama sekali 
tak tergugah dengan peristiwa-peristiwa itu, lantas apa bedanya dengan ketika 
kita menyaksikan reality show di layar kaca? (*)

*. Kurniawan Muhammad, wartawan Jawa Pos 



 
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=51979
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke