Beda Tafsir Porsi Negara Pungut Zakat
Pemerintah hendak memperkuat otoritasnya dalam pengelolaan zakat. Spirit itu terlihat dalam tiga materi pokok usulan revisi Undang-Undang (UU) 38/1999 tentang Pengelolan Zakat. Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni, menyampaikan rencana tersebut pada saat rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah, akhir Februari lalu. Materi revisi itu, pertama, usulan pengenaan sanksi bagi mereka yang memenuhi syarat wajib zakat tapi menolak membayar zakat. Dalam UU 38/1999 tercantum klausul bahwa setiap muslim Indonesia yang mampu wajib menunaikan zakat (Pasal 2). Hanya saja, kewajiban itu diserahkan kepada kesadaran masing-masing, tanpa ancaman sanksi. Hanya pengelola zakat yang diancam sanksi. Kedua, pembenahan relasi zakat dan pajak. Dalam ketentuan yang berlaku sekarang, zakat dapat mengurangi pendapatan kena pajak (Pasal 14 ayat 3). Diusulkan, zakat bukan mengurangi ''pendapatan kena pajak'', melainkan mengurangi persentase pajak. Sehingga beban kewajiban ganda lebih ringan. Ini diharapkan dapat memacu volume zakat. Usulan ketiga, penyatuan organisasi pengelola zakat. Regulasi yang kini berlaku menganut sistem pengelolaan zakat dengan dua model: badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah serta dibiayai dengan anggaran Departemen Agama (Depag) dan lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan swasta. Tapi LAZ tidak lepas dari kendali pemerintah. LAZ dikukuhkan pemerintah (Pasal 6) dan bertanggung jawab kepada pemerintah (Pasal 9). Ke depan, Depag mengusulkan, BAZ diteguhkan sebagai satu-satunya lembaga pengelola zakat dari tingkat nasional sampai desa. LAZ diintegrasikan dengan BAZ. ''Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara membentuk unit pengumpul zakat (UPZ) dengan persyaratan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah atau dijadikan pengurus BAZ,'' kata Maftuh. Menurut Direktur Pengembangan Zakat Depag, Nasrun Harun, revisi itu untuk meneguhkan makna perintah pungutan zakat dalam surat At-Taubah ayat 103, ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.'' Perintah itu, kata Nasrun, yang juga profesor ushul fiqih dari IAIN Padang, ditujukan kepada Nabi dalam kapasitas sebagai kepala negara. Nabi kemudian memerintahkan para sahabat memungut zakat. Dengan demikian, kata Nasrun, otoritas penghimpun zakat di tangan pemerintah, bukan masyarakat. Tapi pemerintah bisa mendelegasikan otoritas itu kepada masyarakat, sebagaimana dianut UU 38/1999 selama ini. Bahwa selain ada BAZ bentukan pemerintah, otoritas operator zakat juga didelegasikan kepada LAZ yang swasta. ''Tapi banyak LAZ sekarang yang kita tidak tahu berapa uang yang mereka dapatkan dan ke mana mereka salurkan,'' kata Nasrun. UU Zakat memerintahkan mereka bertanggung jawab kepada pemerintah karena mereka dikukuhkan oleh pemerintah. ''Aturannya begitu, tapi ternyata tidak efektif membuat mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya,'' Harun menambahkan. Konsep revisi pemerintah itu, khususnya materi ketiga, menuai reaksi dari para pengelola LAZ. Rabu pekan lalu, Forum Zakat (FOZ), asosiasi lembaga pengelola zakat, menggelar jumpa pers di Gedung Dewan Dakwah, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Bagi FOZ, sudut pandang Depag itu sangat merugikan LAZ, karena mereka harus membubarkan diri. ''Bisa jadi, orang yang memberi zakat ke sekolah atau masjid, penerimanya diberi sanksi pidana dan sekolahnya dibubarkan,'' ujar Eri Sudewo, anggota pleno FOZ, dalam jumpa pers itu, seperti dilaporkan Sukmono Fajar Turido dari Gatra. ''Penyusunan undang-undang itu harus melibatkan aspirasi masyarakat. Tanpa itu, tidak sah.'' Hamy Wahjunianto, Ketua FOZ, sepakat bahwa pada ujungnya, kewenangan memungut itu ada di pemerintah. Bedanya, bagaimana otoritas pemerintah itu diimplementasikan? Hammy lebih pas dengan model UU 38/1999, yang memberi kesempatan kepada BAZ dan LAZ, karena Indonesia bukan negara Islam. Dalam iklim demokrasi, partisipasi masyarakat harus diberi tempat. Apalagi, LAZ swasta lebih dulu merintis penghimpunan zakat. Kepercayaan masyarakat selama ini juga lebih tinggi kepada LAZ ketimbang BAZ, bila diukur dari jumlah dana yang dapat dihimpun. Ia membandingkan, Baznas saja, yang berada di tingkat nasional, pada 2008 hanya mengumpulkan Rp 20 milyar. Sedangkan Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Surabaya, yang dipimpin Hammy, mampu mengumpulkan Rp 27 milyar. Belum lagi LAZ besar seperti Dompet Dhuafa Republika yang mampu mengumpulkan hingga Rp 71 milyar. Sedangkan BAZ daerah selama ini lebih banyak mengumpulkan zakat fitrah. ''Citra Depag sendiri kan buruk dalam mengelola dana, misalnya dana abadi umat,'' kata Hammy. Hammy mengusulkan pengaturan kelembagaan model regulasi perbankan. Bahwa bank BUMN dan bank swasta dibolehkan beroperasi bersama menghimpun dan mengelola dana publik. Di atas semua itu, ada Bank Indonesia sebagai regulator. ''Regulator dan pengawas itu yang pada saat ini belum ada dalam pengelolaan zakat,'' katanya. Soal citra BAZ yang berlum mendapat kepercayaan masyarakat, Nasrun beralasan, itu karena lembaga ini baru bekerja. Ke depan, Baznas didorong agar lebih aktif. ''Kalau undang-undang ini sudah jadi, saya yakin, masalah zakat akan selesai dan masyarakat yang berzakat tidak menurun, karena setiap muslim yang mampu lalu tidak berzakat akan dikenai denda sebesar nilai zakatnya.'' Dalam konsepsi Depag ini, regulator dan operator dikatakan juga akan dipisah. ''Operatornya BAZ, regulatornya Depag,'' ujarnya. Draf revisi versi DPR memilih jalan tengah. Dikotomi BAZ dan LAZ ditiadakan. Tapi tidak lantas melimpahkan penuh kepada pemerintah. DPR mengusulkan pemisahan badan regulator dan operator. Diusulkan ada lembaga regulator yang langsung bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan secara berjenjang (presiden, gubernur, bupati). Komposisinya melibatkan unsur masyarakat, seperti ulama, cendekiawan, kaum profesional, dan pemerintah. Namanya, badan pengelola zakat (BPZ). Badan ini yang berwenang memberi izin operasi kepada LAZ sebagai operator. Depag tidak ikut-ikutan. LAZ bersifat hierarkis, dari pusat hingga kabupaten. Untuk mengumpulkan zakat, LAZ membentuk UPZ. Dalam waktu dua tuhan setelah undang-undang baru disahkan, kelembagaan yang berlaku sekarang harus menyesuaikan dengan konsep revisi tersebut. Kelak, selain LAZ dan UPZ dilarang mengumpulkan zakat. Bila melanggar, diancam pidana maksimal 10 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 500 juta. Baik versi DPR maupun Depag sama-sama memberi lampu kuning bagi kelangsungan lembaga zakat swasta. Asrori S. Karni [Agama, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 12 Maret 2009] http://gatra.com/artikel.php?id=124164 http://media-klaten.blogspot.com/ http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id salam Abdul Rohim