Memaknai Musibah Situ Gintung
oleh: Ferry Djajaprana

.... Dua pekan telah berlalu setelah kejadian bobolnya Situ Gintung .........

Dalam khotbah Jumat (3/4) di suatu Masjid dimana saya ikut menjadi jemaah di dalamnya dijelaskan bahwa musibah Situ Gintung adalah akibat dari perilaku masyarakat sekarang yang tidak lagi melaksanakan syariat Agama lagi. Dalam tayangan televisi malah salah seorang artis yang rumahnya dekat Situ Gintung membeberkan bahwa di taman Situ Gintung tersebut sering dijadikan orang berpacaran atau bermesra-mesraan. Seolah-olah pendapatnya setali tiga uang dengan penjelasan khotib. Di salah satu stasiun televisi mendatangkan pengamat per-situ-an yang memaparkan bahwa konstruksi situ sudah tidak laik lagi karena sejak jaman Belanda situ tersebut dibangun asal-asalan karena hanya dengan pondasi tanah yang diuruk saja. Sang Pengamat seolah menyalahkan Pemda Tangerang yang tidak memikirkan keselamatan penghuni di balik Situ Gintung dengan tindakan preventif seperti pemeliharaan Situ dari keretakan-keretakan yang memang sudah terjadi sebelumnya dan pihak Pemda tidak segera mengambil tindakan cepat. Rano Karno, wakil Bupati Tangerang malah bernada mengelak dan cuci tangan bahwa itu adalah murni bencana alam, kemauannya Tuhan Yang Di Atas! Banyak tafsir berkenaan musibah Situ Gintung, membuat saya ingin mencoba mengolah pandangan mereka dan mencoba memahami musibah ini dari sudut yang lain yang jarang disentuh. Pada paragraf pertama, ternyata Khotib (orang yang memberikan khotbah) dan Sang Artis pendapatnya mengacu kepada hadits : Tiada seorang hamba ditimpa musibah baik di atasnya maupun di bawahnya melainkan sebagai akibat dosanya. Sebenarnya Allah telah memaafkan banyak dosa-dosanya. Lalu Rasulullah membacakan ayat 30 dari surat Asy Syuura yang berbunyi : "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Mashabih Assunnah) Nasehat pengamat per-situ-an menjelaskan dengan logis, sesuai dengan ilmu alam (physics) dan teknis pengairan yang dirasa tepat sesuai dengan kaidah modern. Sementara Rano membahas dengan bahasa politis sesuai dengan posisinya sebagai orang Pemerintahan, ucapannya tentu agar logis sesuai ilmu yang berkembang di masyarakat, entahlah ucapan di hati sanubarinya sama dengan yang diucapkan. Bukankah bisa saja ucapan yang dimulut tidak sama dengan yang di hati?

Tulisan saya berikut tidak bermaksud memihak salah satu sudut pandang di atas karena pandangan di atas sudah benar sesuai dengan kadar ideal masing-masing. Namun, saya bermaksud menguak riwayat yang lain yang nampaknya kontroversi. Ada beberapa hadits yang jarang diungkap :

1. Di dalam sebuah Riwayat disebutkan bahwa , "Sesungguhnya Allah SWT mengingat dan menyayangi seorang mukmin dengan cara mengirimkan musibah dan kesulitan kepadanya, sebagaimana seorang laki-laki menyayangi keluarganya dengan mengirimkan hadiah dari tempat bepergiannya". 2. Allah menguji hambaNya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang ke luar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang ke luar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah). (HR. Ath-Thabrani) 3. Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dalam rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridho dengan bagian yang diterimanya maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberianNya. Kalau dia tidak ridho dengan pemberianNya maka Allah tidak akan memberinya berkah. (HR. Ahmad) 4. Barangsiapa ditimpa musibah dalam hartanya atau pada dirinya lalu dirahasiakannya dan tidak dikeluhkannya kepada siapapun maka menjadi hak atas Allah untuk mengampuninya. (HR. Ath-Thabrani) Sumber riwayat di atas : 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Dari riwayat di atas dapatlah kita ambil hikmahnya bahwa kesulitan dan musibah memiliki kekuatan penggerak dan merupakan hadiah dari Allah. Pertanyaan kini timbul, kalau Tuhan sayang kenapa harus memberikan musibah yang menelan korban itu? Bukankah umumnya rasa sayang diiringi dengan pemberian kemudahan dan kenyamanan? Di dalam riwayat bahkan disebutkan bahwa itu adalah "ujian" berupa musibah, kenapa harus demikian? Bukankah tidak ada daun yang jatuh yang tanpa izin dari-Nya? Bukankah Dia mengetahui setiap pergerakan atom sekalipun? Mari kita perhatikan emas, terbuat dari satu logam yang telah ditempa dengan panas yang tinggi. Pengaruh musibah dan kesulitan bersifat kimiawi, bahkan bisa merubah wujud dari satu wujud ke wujud yang lain. Dia dapat merubah yang lemah jadi kuat, memiliki sifat menggerakkan, menjadikan sensitif, menghilangkan kelemahan dan menjadikan berwaspada. Jadi, sebenarnya perkara bencana bukan murni berwujud angkara murka, justru merupakan kasih sayang hanya berwajah "garang", kebaikan berwujud keburukan, kenikmatan yang tampil dengan kemarahan. Oleh karena itu, kesulitan-kesulitan yang menimpa nabi umumnya lebih berat dengan manusia biasa, hal ini terjadi agar jiwa mereka lebih kuat dan lebih besar dari pada jiwa yang lain. Lalu kenapa di sebut ujian? Masih ingatkan dahulu pada saat kita duduk di bangku sekolah atau kuliah, dimana tiap akhir semester diadakan ujian? Ujian dilakukan untuk mengetahui siapa yang yang berpotensi menjadi nyata dan sempurna, melalui kesulitan akan ujian ini Allah menyampaikan setiap orang kepada kesempurnaannya. Intinya, kesulitan akan menumbuhkan potensi seseorang manusia menjadi tidak terbatas. Lain dari itu semua, bukankah melalui bencana semua manusia diketuk hatinya untuk berkasih sayang sesamanya, memperhatikan bagi yang diterima kesulitan, dibukanya lapangan pekerjaaan baru, terjadi perputaraan siklus kehidupan dan lain sebagainya.

Jadi, jangan kecewa bila Anda menerima musibah atau bencana, artinya boleh jadi Anda disayang Allah, Anda sedang diajarkan bermetamorphosis menjadi lebih kuat dan lebih sempurna.
Salam,
http://ferrydjajaprana.multiply.com

Kirim email ke