Cape dan Bingung?..Mana Komentar yang Benar? --------------------------------- Akhir-akhir ini, mungkin beberapa dari anda sudah merasa muak, capek dan bingung terhadap komentar-komentar mengenai keimanan dan keagamaan. Kalo itu karena beda keyakinan sih masih bisa dimaklumi, bahkan sering kali kita merasa kasihan, terheran-heran sambil berkata dalam hati dengan kening berkerut, "kesambet kali niee orang...Kesian amat..deh luu!! ". Padahal saat yang sama mereka juga berpikir, "Ah...niee orang sesat!!" Tapi, jika pandangan-pandangan tersebut berasal dari satu Iman/agama yang sama namun ternyata bertolak belakang, maka ini benar-benar membuat bingung! Komentar-komentar itu terkadang membuat kening berkerut, bikin ngga sreg, sangat membingungkan..padahal pendapat itu datang dari mereka yang mempunyai reputasi terkenal, terhormat dan dianggap sangat mumpuni mengenai keagamaan. Sebelumnya, hal-hal semacam itu sering ku alami hingga suatu ketika aku membaca sebuah kisah kebingungan yang sama namun kali ini bukan masalah kebingungan satu orang saja namum kebingungan sekelompok besar orang! Kelompok orang tersebut menetap di suatu daerah yang menjadi tempat pesinggahan mereka yang sedang dalam perjalanan. Kedatangan mereka juga membawa berbagai macam doktrin/pandangan yang bukan hanya bertolak belakang namun juga saling memburukan doktrin-doktrin lainnya. Keadaan ini malah makin menyebabkan keraguan dan makin membingungkan untuk menilai. Nah, artikel ini adalah mengenai keadaan tersebut dan bagaimana menyikapinya. Semoga bermanfaat. --------------------------------- Pada suatu hari dalam suatu pengelanaannya, Sang Buddha bersama rombongan para bhikkhu tiba di Kesaputta [Bihar, Uttar Pradesh, India, lihat: peta]. Kesaputta adalah sebuah kota tempat kediaman suku Kalama. Dijaman Buddha, kota ini terletak di pinggir hutan dan menjadi tempat perhentian berbagai kelompok petapa dan pengelana. Kunjungan para pendatang menyebabkan penduduk kota itu terbuka bagi berbagai rangkaian teori filsafat. Walaupun sering didatangi oleh para Petapa, namun ketika mengetahui bahwa kota mereka di singgahi oleh Buddha Gotama, mereka kemudian menemui Sang Buddha. Seringnya mereka di kunjungi dan mengunjungi 'orang suci' tercermin dari berbagai sikap mereka ketika bertemu sang Buddha, yaitu: Beberapa dari mereka memberi hormat dan duduk di satu sisi. Beberapa bertukar salam dengan Beliau dan setelah bertegur sapa, duduk di satu sisi; Beberapa memberikan penghormatan yang tinggi kepada Beliau dan duduk di satu sisi; beberapa tetap diam dan duduk di satu sisi. Kemudian terjadilah tanya jawab. Suku Kalama berkata kepada Sang Buddha: "Tuan, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan menguraikan doktrin-doktrin mereka sendiri, dan menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain... Kemudian beberapa petapa dan brahmana lain datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan menguraikan doktrin mereka sendiri, dan menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain... Tuan, kami merasa bingung dan ragu. Dari antara petapa-petapa yang baik ini, yang manakah yang berbicara benar dan yang manakah yang berbicara salah?" Sang Buddha: "Memang pantas bagi kalian untuk bingung, O suku Kalama, memang pantas bagi kalian untuk ragu. Keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang masalah yang membingungkan. Wahai, suku Kalama..Jangan begitu saja mengikuti(1): 1. tradisi lisan, 2. ajaran turun-temurun, 3. kata orang, 4. koleksi kitab suci, 5. penalaran logis, 6. penalaran lewat kesimpulan, 7. perenungan tentang alasan, 8. penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, 9. pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau 10. karena kalian berpikir, 'Petapa itu adalah guru kami.' Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, bahwa hal-hal ini: tidak bermanfaat, dapat dicela (tercela); dihindari oleh para bijaksana; jika dilaksanakan/dipraktekkan, menuju kerugian dan penderitaan', maka kalian harus meninggalkannya "Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Bila keserakahan, kebencian dan kebodohan batin muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu menyebabkan kesejahteraannya atau kerugiannya?" Suku Kalama: "Kerugiannya, Tuan." Sang Buddha: "Suku Kalama, orang yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin(2), yang buah-pikirnya dikendalikan oleh hal-hal itu, akan menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu akan menyebabkan kerugian dan penderitaannya untuk masa yang lama?" Suku Kalama: "Ya, Tuan." Sang Buddha: "Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?" Suku Kalama: "Tidak bermanfaat, Tuan" Sang Buddha: "Tercela atau tidak tercela?" Suku Kalama: "Tercela, Tuan." Sang Buddha: "Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?" Suku Kalama: "Dikecam, Tuan." Sang Buddha: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini menyebabkan kerugian dan penderitaan atau tidak, atau bagaimana?"
Suku Kalama: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini menuju ke kerugian dan penderitaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami." Sang Buddha: "Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Janganlah begitu saja mengikuti: 1. tradisi lisan, 2. ajaran turun-temurun, 3. kata orang, 4. koleksi kitab suci, 5. penalaran logis, 6. penalaran lewat kesimpulan, 7. perenungan tentang alasan, 8. penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, 9. pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau 10. karena kalian berpikir, 'Petapa itu adalah guru kami.' Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, bahwa hal-hal ini: bermanfaat, tidak tercela; dipujikan oleh para bijaksana; jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan', maka kalian harus menjalankannya." "Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Jika tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian dan tanpa-kebodohan-batin muncul di dalam diri seseorang, apakah itu membawa kesejahteraan atau kerugiannya?" Suku Kalama: "Kesejahteraannya, Tuan." Sang Buddha: "Suku Kalama, orang yang tanpa keserakahan, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang buah-pikirnya tidak dikendalikan oleh semua itu, dia tidak akan menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu menopang kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk masa yang lama?" Suku Kalama: "Ya, Tuan." Sang Buddha: "Bagaimana pendapatmu, Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?" Suku Kalama: "Bermanfaat, Tuan." Sang Buddha: "Tercela atau tidak tercela?" Suku Kalama: "Tidak tercela, Tuan." Sang Buddha: "Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?" Suku Kalama: "Dipuji, Tuan." Sang Buddha: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimana?" Suku Kalama: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami." Sang Buddha: "Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan...dst" "Maka, suku Kalama, siswa agung itu yang tidak memiliki keserakahan, tidak memiliki niat jahat, tidak bingung, memahami dengan jernih, selalu waspada berdiam dengan menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat(3). Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat." "Dia berdiam menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang... dipenuhi sukacita yang tidak mengutamakan diri sendiri... dipenuhi ketenang-seimbangan, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang, dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat. "Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari rasa permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, dia telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini juga. Inilah jaminan pertama yang telah dimenangkannya: 'Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan ketika tubuh hancur, setelah kematian, aku akan muncul di tempat yang baik, di suatu alam surgawi.' Inilah jaminan kedua yang telah dimenangkannya: 'Seandainya tidak ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, aku hidup dengan bahagia, bebas dari rasa permusuhan dan niat jahat.' Inilah jaminan ketiga yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan, maka karena aku tidak berniat jahat kepada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?' Inilah jaminan keempat yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam dua hal [dia tidak melakukan kejahatan dan tidak ada kejahatan yang akan menimpanya]' "Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka dia telah memenangkan empat jaminan ini di dalam kehidupan ini juga." Mendengar uraian tersebut, Suku Kalama menjawab dengan kegembiraan, "Benar demikian, Yang Terberkati! Benar demikian, Yang Agung! Jika siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, dia telah memenangkan empat jaminan ini di dalam kehidupan ini juga." Kemudian Suku Kalama melanjutkan, "Luar biasa, Tuan! ... Biarlah Yang Terberkati menerima kami sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat." [Sumber: Kalama Sutta, Anguttara Nikaya, Tika Nipata, Mahavagga, Sutta No. 65] --------------------------------- Catatan: (1) Sepuluh kriteria mengenai keterangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: Yang pertama adalah dalil yang didasarkan pada tradisi, yang mencakup empat kriteria pertama. Dari kriteria ini, "tradisi lisan" (anussava) biasanya dianggap mengacu pada tradisi Veda, yang menurut para brahmana, berasal dari Dewa Pertama (Brahman/Allah/Tuhan) dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. "Turun-temurun" (parampara) menunjukkan tradisi pada umumnya dan kesinambungan yang tidak terputus dari ajaran-ajaran atau guru-gurunya. "Kata orang" (atau "laporan"; itikira) bisa berarti pendapat populer atau persetujuan umum. Dan "koleksi kitab suci" (pitaka-sampada) mengacu pada koleksi kitab-kitab agama apapun yang dianggap sebagai tidak bisa salah. Rangkaian kedua yang terdiri empat kriteria berikutnya, mengacu pada empat jenis penalaran yang dikenali oleh para pemikir di zaman Sang Buddha; perbedaan-perbedaan mereka tidak perlu menghalangi kita di sini. Rangkaian ketiga, yang merupakan dua butir terakhir, terdiri dari dua jenis otoritas pribadi: yang pertama adalah kharisma pribadi pembicara (mungkin mencakup juga kualifikasi eksternalnya, misalnya dia memiliki pendidikan yang tinggi, memiliki banyak pengikut, dihormati raja dll.); yang kedua adalah otoritas yang bermula dari hubungan pembicara dengan dirinya, yaitu bahwa dia adalah guru pribadinya sendiri (kata Pali garu yang digunakan di sini identik dengan kata Sanskerta guru). (2) Di dalam ajaran buddha, ini disebut tiga akar kejahatan yang mendasari semua perilaku tidak bermoral dan semua keadaan pikiran yang kotor. Suku Kalama diminta merenungkan pengalaman mereka sendiri. (3) Di ajaran Buddha ini disebut empat "tempat tinggal yang agung" (brahmavihara), mengembangan cinta kasih universal, kasih sayang, suka cita altruistik (yang tidak mementingkan diri sendiri), dan ketenang-seimbangan: Cinta kasih (metta) secara formal didefinisikan sebagai keinginan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; kasih sayang (karuna) sebagai rasa empati kepada mereka yang tertimpa penderitaan; suka cita altruistik (mudita), sebagai suka cita dalam keberhasilan dan nasib baik orang lain; dan ketenang seimbangan (upekkha), sebagai sikap netral atau tidak pilih kasih terhadap makhluk. --------------------------------- http://wirajhana-eka.blogspot.com/2008/11/cape-dan-bingung-komentar-mana-yang.html