Demokrasi Setengah Hati
Pada era transisi pasca-Orde Baru, perkembangan politik terjadi secara dinamis, yang ditandai dengan mengemukanya fragmentasi antar-elite politik yang berebut pengaruh dalam menentukan perubahan. Fragmentasi itu ditandai dengan mengemukanya dua arus besar politik. Kelompok pertama menghendaki perubahan politik secara ekstraparlementer, inkonstitusional, dan ''revolusioner'' dengan pola yang disebut Huntington replacement: perubahan politik tidak mengikutsertakan elite politik lama yang dianggap bertanggung jawab atas masa lalu. Sementara itu, kelompok kedua menghendaki proses perubahan politik dilakukan secara gradual dan tidak serta-merta, melainkan bertahap dan tertata dengan melibatkan segenap elemen. Perubahan mendasar yang terjadi harus dilakukan tetap dalam kerangka konstitusional. Dalam perkembangannya, gagasan inilah yang mengemuka, sehingga proses perubahan politik secara mendasar harus berjalan secara gradual dan konstitusional. Konsekuensinya, fenomena itu segera menempatkan posisi dan peran DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi pada posisi yang sangat strategis. Hal ini dapat dipahami, mengingat pada kenyataannya, tidak ada perubahan yang terjadi tanpa didasarkan pada aturan main konstitusi dan perundang-undangan. Fakta tersebut segera menempatkan pula elite politik di DPR sebagai aktor kunci dalam menentukan arah perubahan menuju rezim yang demokratis, mengingat seluruh proses dan dialektika yang terjadi dalam pembahasan seluruh rancangan undang-undang (RUU) melibatkan berbagai peran dan kontribusi mereka, bersama pihak pemerintah. Harapan masyarakat atas elite politik di DPR sebagai aktor kunci dan pejuang reformasi pun ikut membuncah. Namun proses politik di DPR tidak sesederhana yang dibayangkan. Apabila dicermati, pada era transisi, proses politik di DPR tidak lepas dari perkembangan struktur politik makro (nasional) yang diwarnai proses sirkulasi elite politik yang fragmentatif (terpecah-pecah) dan tergesernya pola sentralisme kekuasaan yang ditandai makin tersebarnya ''pusat-pusat kekuasaan''. Fenomena itu sangat berpengaruh terhadap proses politik di DPR (mikro), mengingat adanya keterkaitan antara elite politik di struktur mikro DPR dan konstelasi politik yang mengemuka dalam struktur politik makro (nasional). Pasca-pemilu multipartai 1999, konstelasi dan peta politik di DPR berubah. Tidak ada lagi kekuatan politik mayoritas tunggal (single majority). Demokrasi Setengah Hati Fenomena tersebut memunculkan konsekuensi bahwa proses legislasi berjalan sangat dinamis, bahkan tidak efektif karena mengemukanya berbagai kendala yang mempersulit pencapaian kata sepakat dalam pengambilan keputusan politik strategis, akibat mengemukanya berbagai macam kepentingan politik subjektif yang sulit dipertemukan. Kalaupun tercapai kesepakatan, biasanya makan waktu cukup lama. Pola-pola interaksi politik yang mengemuka cenderung diwarnai intrik-intrik politik, negosiasi, dan kompromi dengan berbagai lobi, bahkan barter politik. Akibatnya, dalam proses pembahasan RUU, tidak mengemuka perdebatan substansial-kualitatif. Sebaliknya adalah pemenuhan kepentingan para elite politik pada efisiensi mikro, yakni optimalisasi kepentingan subjektif diri sendiri dan kelompoknya yang bersifat jangka pendek, dan akibatnya menghadirkan ''demokrasi setengah hati''. Hal itu terkonfirmasikan dalam hasil temuan disertasi penulis yang dipertahankan pada sidang ujian terbuka Program Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, dengan judul "Demokrasi Setengah Hati, Studi Kasus Pembahasan RUU Bidang Politik di DPR 1999-2004". Elite politik di DPR terlibat dalam proses politik yang sangat dinamis dan sarat dengan berbagai kepentingan, sehingga memunculkan berbagai dilema dalam menentukan pilihan-pilihan rasionalnya dan sangat berpengaruh terhadap proses perubahan politik. Dilema-dilema yang mengemuka itu, dalam perspektif teori pilihan rasional, terkait dengan bagaimana elite politik bekerja berdasarkan struktur insentif dalam mengoptimalkan kepentingan-kepentingan subjektifnya. Apabila kepentingan subjektif tersebut kebetulan selaras dengan aspirasi reformasi, maka elite politik di DPR cenderung memperlancar proses demokratisasi. Sebaliknya, apabila kepentingan subjektif itu berseberangan atau bertentangan dengan aspirasi reformasi, maka elite politik di DPR akan cenderung menghambat dan menyandera proses demokratisasi. Jadi, elite politik di DPR dapat menjadi kekuatan politik yang memperlancar atau sebaliknya menghambat proses demokratisasi. Di sisi lain, kehadiran elite politik di DPR melalui proses pemilu yang demokratis tidak serta-merta memunculkan ide-ide kebijakan yang mendorong terjadinya perubahan ke arah rezim demokratik, mengingat mereka cenderung meminimalkan risiko atas kepentingan politiknya, sehingga enggan merespons perubahan menuju terciptanya rezim politik yang demokratis secara cepat, tepat, dan mendasar, bahkan cenderung pro-status quo. Dalam menentukan pilihan-pilihan rasionalnya, elite politik di DPR cenderung mengoptimalkan hubungan mereka dengan partai politik yang menaunginya, yang masih didominasi realitas patron-klien dan oligarki politik. Fenomena ''demokrasi setengah hati'' sangat terkait dengan kinerja elite politik di DPR yang cenderung ''setengah hati'' dan ''tidak sungguh-sungguh'' dalam memperjuangkan agenda-agenda demokrasi --baik karena faktor perilaku maupun karena ketergantungan pada struktur insentif-- yang mempengaruhi proses dan hasil akhir atas segenap produk legislasi yang dihasilkan DPR. Fenomena demikian membuat harapan masyarakat sirna, ditandai dengan membesarnya ''ketidakpercayaan politik'' (political distrust). Elite politik di DPR justru dipandang menghambat proses demokrasi, menghadirkan fenomena ''demokrasi setengah hati'' yang menjauhkan upaya untuk mewujudkan rezim politik yang demokratis. Mengemukanya ''demokrasi setengah hati'' berimplikasi secara luas pada kemerosotan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sesungguhnya memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang besar, kuat, demokratis, sekaligus disegani negara-negara lain, dan semakin menjauhkan bangsa Indonesia dari segenap cita-cita nasionalnya. Demokrasi yang ''setengah hati'' tidak akan memunculkan kondisi yang kondusif bagi terimplementasikannya nilai-nilai universal demokrasi (demokrasi substansial), dan sebaliknya dapat menggemakan ''lonceng kematian demokrasi'' yang mengantarkan Indonesia sebagai negara-bangsa yang gagal ( nation-state failure). Karena itu, bila perilaku elite politik tidak berubah dan semata-mata hanya memperkuat fenomena ''demokrasi setengah hati'', maka hal tersebut benar-benar merupakan sinyal bagi ''lonceng kematian demokrasi''. Tanggung Jawab Partai dan Civil Society Demokrasi yang ''setengah hati'' harus dihindari, dan dalam konteks ini diperlukan upaya menata dan memperkuat konsolidasi demokrasi yang melibatkan peran nyata elite politik untuk mengimplementasikan secara optimal berbagai agenda demokrasi, sehingga menepis ''wajah suram demokrasi Indonesia''. Hal itu membutuhkan proses panjang dan berliku serta melibatkan segenap kalangan guna menemukan aspek-aspek kualitatif dalam mengimplementasikan ''demokrasi substansial'' (nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal). Proses yang panjang itu tentu akan diwarnai banyak tantangan yang bersifat mendasar maupun teknis dalam politik praktis. Karena itu, pendekatannya harus komprehensif dan integratif, dengan menciptakan suatu sistem dan struktur politik yang kondusif, baik di level makro (dalam skala nasional yang lebih luas) maupun mikro (skala kelembagaan politik, terutama kelembagaan DPR) yang betul-betul mampu menjamin terwujudnya dinamika politik yang konstruktif dan responsif dalam upaya mewujudkan aspirasi reformasi masyarakat dan rezim politik yang demokratis. Hal ini berkonsekuensi pada upaya agar demokrasi mampu bekerja (working democracy) secara optimal. Dalam penguatan dan peningkatan kualitas demokrasi, secara khusus diperlukan pula perubahan secara mendasar atas perilaku (behavior) elite politik dalam merespons aspirasi reformasi dalam masyarakat dan dalam mewujudkan rezim politik yang demokratis. Dalam konteks lebih luas, perlu adanya penciptaan sistem dan struktur politik yang demokratis, antara lain dengan mereformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu yang makin kompatibel dan memosisikan elite politik lebih otonom dalam proses pengambilan kebijakan politik secara mendasar. Hulu penciptaan sistem politik yang demokratis adalah peran serta dan tanggung jawab partai politik. Partai-partai politik harus sehat dan optimal dalam mengimplementasikan fungsi-fungsinya, terutama fungsi pendidikan politik dan rekrutmen kader (perkaderan dan sirkulasi elite politik). Partai politik yang sehat dan terinstitusionalisasi memiliki suatu sistem, jaringan, dan infrastruktur politik yang kokoh, serta senantiasa berorientasi pada proses perkaderan, sirkulasi, dan regenerasi elite politik berdasarkan kualifikasi-kualifikasi prinsip merit system. Perkaderan politik yang dilakukan secara sistematis dan konsisten dalam partai politi, sangat mendasar dan penting tidak saja dalam rangka menepis kehadiran ''politisi instan'' atau ''kader jenggot'' yang tidak jauh dari kualifikasi-kualifikasi kepemimpinan politik yang ideal serta tidak memilliki kompetensi dan komitmen politik yang kuat pada upaya peningkatan kualitas demokrasi, melainkan juga sangat memberikan kontribusi pada perkaderan politik bangsa. Di sisi lain, demokrasi kita masih sangat membutuhkan civil society yang kuat, di mana masyarakat makin mandiri dan dewasa dalam keikutsertaannya untuk mendorong proses-proses politik yang berkualitas guna menuju terciptanya efisiensi makro dan ''demokrasi sepenuh hati''. Civil society mencerminkan arus dan aspirasi sosial dan politik dalam masyarakat, yang harus diperhatikan. Kekuatan civil society akan sangat berpengaruh pada konteks kualitas demokrasi checks and balances. Dalam perspektif itulah, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk memilih para calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu legislatif yang ''benar-benar berkualitas'', tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan emosional-pragmatis yang subjektif. Dengan demikian, masyarakat juga memiliki kontribusi signifikan dalam menghadirkan elite-elite politik sebagai ''aktor kunci'' yang menentukan proses demokrasi yang berkualitas di DPR. Idrus Marham Anggota DPR, alumnus Program Doktor UGM, Yogyakarta [Kolom, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 5 Februari 2009] http://gatra.com/artikel.php?id=122979 http://media-klaten.blogspot.com/ salam Abdul Rohim