Laporan wartawan Kompas Yurnaldi

JAKARTA, MINGGU-- Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang
meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28
Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksiaan yang amat
langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair
Lampung Karam. Peneliti dan ahli filologi dari Leiden University,
Belanda, Suryadi mengatakan hal itu kepada Kompas di Padang, Sumatera
Barat, dan melalui surat elektroniknya dari Belanda, Minggu (31/8).

"Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir
luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat
kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun
penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk
tertulis, " katanya. Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus
1883, gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan
dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 km dan tsunami
setinggi 40 meter dan menewaskan sekitar 36.000 orang.

Sebelum meletus tahun 1883, Gunung Krakatau telah pernah meletus
sekitar tahun 1680/1. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling
berdekatan; Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata.
Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan
Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The
Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa
Committee of the Royal Society (London, 1883).

Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk
cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H
(November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri
Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama
kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair
Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga
diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884), "
paparnya.

Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik
Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga
ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3
Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair
Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi keempat syair ini, edisi terakhir
sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya
(36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura,
bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang
puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.

Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam
bahasa Melayu dan memakai aksara ArabMelayu (Jawi). Dari perbandingan
teks yang ia lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara
masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih
kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada
paroh kedua abad ke-19. Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat
penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada
di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis
Muhammad Saleh.

Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama
Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di
Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat
bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat
mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau
yang pergi mengungsi ke Singapura, dan membawa kenangan menakutkan
tentang bencana alam yang mahadahsyat itu," katanya.

Bisa direvitalisasi

Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai
syair kewartawanan, karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik.
Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu,
Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang
menyusul letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Ia menceritakan
kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu.
Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing,
Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari,
Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa,
Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak
dilanda tsunami, lumpur, dan hujan abu dan batu.

Pengarang menceritakan, betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau
balau itu orang masih mau saling tolong menolong satu sama lain.
Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya
diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang
ditimpa musibah. Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung
Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi
juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam
aksara latin.

"Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini
yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh,
saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya
itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung
Krakatau," jelas Suryadi.

Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini
bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang
akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan
untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda
tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan
untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya
dan sastra daerah Lampung.

Yurnaldi 

http://kompas.com/read/xml/2008/08/31/10515861/ditemukan.naskah.kuno.letusan.krakatau
 1883.






Kirim email ke