--- In [EMAIL PROTECTED], arif <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Hal      : Undangan Seminar Rating Publik





UNDANGAN SEMINAR

RATING PUBLIK (II) : MENUJU TELEVISI RAMAH KELUARGA



Untuk memberikan alternatif penilaian terhadap program televisi yang
berbasis pada aspek-aspek kualitas, Yayasan SET bekerjasama dengan IJTI,
TIFA, Depkominfo dan Jaringan Masyarakat Pemerhati Televisi telah
menyelenggarakan Riset "Rating Publik". Riset periode kedua  ini
melibatkan 220 kalangan terdidik di 11 kota sebagai responden/panelis.
Dengan metode Peer Review Assessment, riset ini menjaring penilaian
mereka secara umum terhadap kualitas program-program televisi dan secara
khusus terhadap kualitas program-program televisi pada periode tertentu
yang ber-rating atau share tinggi. Hasil riset ini juga memberikan
perbandingan antara "Program Televisi Yang Paling Banyak
Ditonton" dengan "Program Televisi Yang Dianggap
Berkualitas".



Kami akan mempresentasikan hasil Riset Rating Publik tersebut dalam
seminar "Rating Publik II :  Menuju Televisi Ramah Keluarga",
yang akan diselenggarakan pada :



Hari/Tanggal  : Rabu, 3 Desember 008

Waktu         : 10.30-13.00 WIB

Tempat        : Hotel Sofyan Betawi

                   Jl. Cut Meutia 9 Menteng Jakarta Pusat

Penanggap  : Rosiana Silalahi (SCTV), Suprawoto (Depkominfo) , Deddy
Mizwar

Moderator      : Effendi Gazali (Pasca Sarjana UI)



Dalam acara ini, kami juga akan menyerahkan penghargaan untuk Program
Anak-Anak Televisi terbaik  pilihan para panelis/responden Riset Rating
Publik.



Bersama surat ini, kami mengundang bapak dan ibu untuk hadir dan
terlibat aktif dalam seminar tersebut. Atas perhatian dan kerjasamanya
kami mengucapkan banyak terima kasih.



Jakarta, 1 Desember 2008



Hormat Kami,




Gunawan Wiranto

Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)

Jl. Danau Jempang B III/81

Bendungan Hilir Jakarta Pusat

Telp. 021-5738679

Fax.  021-57974104





Contact person: Gunawan: 081387841259, Aunul Huda : 085230101924





TOR SEMINAR



RATING PUBLIK : ALTERNATIF UNTUK MENILAI PROGRAM TELEVISI

SECARA RASIONAL-KRITIS



Institusi Rating menjadi faktor yang sangat determinan dalam dunia
penyiaran Indonesia saat ini. Jika berlebihan disebut sebagai otoritas
satu-satunya, bisa dipastikan rating adalah otoritas utama yang
digunakan para pengelola media penyiaran untuk mengukur moralitas dan
kadar kepantasan program-program yang ditayangkan. Rating bagaikan the
impartial spectator, "hakim agung" yang menentukan program apa
yang harus diproduksi atau direproduksi, dan jenis tayangan-tayangan apa
yang harus dikesampingkan. Industri penyiaran bisa reluctan terhadap
kritik masyarakat, bisa mengabaikan keputusan KPI sebagai regulator
resmi atau menganggap sepi evaluasi lembaga-lembaga pemantau media.
Namun terhadap rekomendasi rating, industri penyiaran tunduk-patuh.

Persoalannya kemudian, layakkah rating menjadi the impartial spectator
bagi bisnis penyiaran, khususnya televisi ? Layaknya moralitas industri
televisi sebagian besar diserahkan kepada angka rating ? Pada titik ini,
muncul beberapa persoalan. Pertama, rating yang dilakukan di Indonesia
sejauh ini hanya menjangkau aspek kuantitas : seberapa banyak suatu
acara ditonton pemirsanya. Rating belum menjangkau aspek-aspek kualitas
program dan dampak-dampaknya (positip atau negatif) bagi pemirsa. Kedua,
rating (kuantitatif) itu hanya dilaksanakan oleh satu lembaga saja,
sehingga tidak ada alternatif pembanding. Kondisi yang monopolitik ini
jelas kurang sehat karena tidak ada alternatif lain untuk menilai
program televisi.

Ketiga, belum ada mekanisme untuk mengaudit lembaga rating dari sisi
metodologi, kelembagaan, pendanaan dan seterusnya sejauh bersinggungan
dengan kepentingan publik. Dari sisi metodologis misalnya, perlu
ditanyakan siapakah publik yang dimaksud dalam penyelenggaraan rating ?
Jangan-jangan terjadi reduksi "publik" menjadi "pemirsa
televisi", reduksi "pemirsa televisi" menjadi  "pemirsa
televisi di beberapa kota besar", dan seterusnya. Apa benar yang
ditonton pemirsa segmented di beberapa kota sungguh menggambarkan
kebutuhan publik ?

Keempat, dalam mekanisme rating, jangan-jangan juga terjadi reduksi atas
"apa yang dibutuhkan publik" menjadi "apa yang ditonton
publik". Apa yang layak bagi publik belum tentu sama persis dengan
apa yang diminati publik yang terjangkau rating. Acara televisi apa yang
dibutuhkan publik belum tentu sama dengan acara televisi yang paling
banyak penontonnya. Apa yang paling banyak ditonton pemirsa juga bukan
otomatis berarti apa yang pantas ditonton pemirsa. Benarkah yang paling
banyak ditonton itu bermanfaat bagi publik dan sebaliknya tidak
berdampak negatif ? Benarkah yang diminati pemirsa televisi itu
substansial bagi publik ? Media penyiaran harus peduli atas permasalahan
ini karena hubungan antara media penyiaran dan publik bukan murni
hubungan produsen-konsumen, melainkan juga hubungan antara peminjam dan
pemilik kekayaan-publik. Eksploitasi gelombang elektromagnetik sebagai
kekayaan-publik menuntut tanggung-jawab lebih dari sekedar memberikan
tayangan yang digemari sebagian pemirsa.

Kelima, Rating memicu industri penyiaran berlomba-lomba memproduksi
program dengan rating tertinggi dalam suatu logic produksi budaya
populer : serba cepat, efisien, aktual, instans. Aspek kedalaman,
kualitas dan relevansi bukan prioritas.  Dalam konteks inilah terjadi
transformasi simpati yang bercorak voluntaristik menjadi simpati
instrumentalistik terhadap pemirsa televisi. Simpati instrumentalistik
mengondisikan industri penyiaran untuk tidak sungguh-sungguh bersimpati
kepada pemirsa karena alasan kebaikan hati : pemberdayaan, pencerdasan,
pencerahan, pengembangan ruang demokrasi. Tetapi lebih karena
pertimbangan- pertimbangan bisnis: menyuguhkan hiburan untuk mendapatkan
rating atau share tinggi sebagai sarana untuk mendapatkan income yang
lebih besar. Rasionalitas komunikasi yang mensyaratkan kualitas
informasi, mutual-understandin g dan resiproksitas interaksi tergeser
oleh rasionalitas sasaran yang melulu berorientasi kepada raihan rating
dan share audience.

Rating tetap perlu sebagai sebuah parameter. Namun rating bukanlah
otoritas tertinggi dalam moralitas penyiaran. Rating bisa memfasilitasi
media penyiaran untuk keluar dari "dunia kehidupan", menjadi
subsistem yang benar-benar digerakkan rasionalitas ekonomi. Lalu
pencapaian kebaikan atau kesejahteraan bersama (bonum publicum) hanya
dianggap sebagai hasil sampingan dari kinerja pelaku bisnis mengejar
kepentingan partikular, bukan buah dari komitmen untuk mewujudkan
keutamaan-keutamaan media. Orientasi berlebihan para pengelola media
penyiaran terhadap hitungan-hitungan rating secara signifikan telah
berdampak pada corak, karakter dan kualitas tayangan-tayangan televisi.
Bukan dalam arti yang positip, tetapi dalam konteks akselerasi proses
pendangkalan dan pembanalan ruang publik penyiaran.

Dalam konteks inilah, Yayasan SET, bekerja sama dengan IJTI, Yayasan
TIFA, Badan Informasi Publik Depkominfo, dan Jaringan Masyarakat
Pemerhati Televisi menyelenggarakan riset "Rating Publik". Riset
ini bertujuan untuk memberikan alternatif penilaian atas program-program
televisi berbasis pada aspek-aspek kualitas. Riset ini ingin melihat
apakah hitungan-hitungan kuantitatif rating-share akan paralel dengan
penilaian terhadap aspek-aspek kualitas program televisi. Apakah program
yang rating-share-nya tinggi juga akan dinilai sebagai program yang
berkualitas ? Misalnya saja, apakah benar program-program hiburan
(sinetron dll) yang selalu mendapatkan rating dan share tinggi akan
mendapatkan apresiasi lebih tinggi daripada program-program news ?

Riset "Rating Publik" dilakukan dengan metode "Peer Review
Assessment" dengan melibatkan 220 orang anggota Kelompok Masyarakat
Pecinta Televisi di 11 kota besar di Indonesia. Dengan menggunakan
metode survey panel, dikumpulkan pendapat mereka tentang berbagai aspek
menyangkut kualitas program-program televisi tertentu yang menduduki
rating tertinggi bulan September 2008. Jaringan Masyarakat Pecinta
Televisi di berbagai kota yang terlibat dalam survey panel ini terdiri
dari beberapa unsur : dosen, mahasiswa, aktivis NGO, pengusaha, dan
pegawai negeri. Survey panel ini sengaja memilih kelompok berpendidikan
sebagai responden karena yang hendak dinilai adalah kualitas tayangan
televisi, sehingga membutuhkan kelompok masyarakat yang mampu berpikir
kritis dan sanggup memberikan penilaian mandiri.

Berikut ini 11 kota yang dipilih untuk pelaksanaan Rating Publik,
berikut lembaga-lembaga Jaringan Yayasan SET dan IJTI yang akan terlibat
: (1) Surabaya (LKM); 2) Makassar (Elsim), 3) Medan (Yayasan Kippas); 4)
Semarang (LeSPI); 5) Batam (LKi&KP); 6) Denpasar (IJTI Bali); 7) Jakarta
(YPMA Kidia); 8) Bandung (Jurusan Publisistik Fakultas Ilmu Komunikasi
UNPAD); 9) Yogyakarta (Pusat Studi Audience STPMD "APMD"); 10)
Pontianak (LPSAIR); 11) Palembang (Silabika).


http://teknofood.blogspot.com <http://teknofood.blogspot.com/>    
http://jalanku.multiply.com <http://jalanku.multiply.com/>   
http://ariefbudi.wordpress.com <http://ariefbudi.wordpress.com/>

"...Bila engkau penat menempuh jalan panjang, menanjak dan berliku..
dengan perlahan ataupun berlari, berhenti dan duduklah diam.. pandanglah
ke atas.. 'Dia' sedang melukis pelangi untukmu.."

--- End forwarded message ---

Kirim email ke