--- In [EMAIL PROTECTED], "arief budi setyawan" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:


--- In [EMAIL PROTECTED], "arief budi setyawan" arife44@
wrote:



--- In [EMAIL PROTECTED], "arief budi setyawan" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:


--- In [EMAIL PROTECTED], "arief budi setyawan" arife44@
wrote:



Tarbiyah Dzatiyah (Self Education)

Oleh. KH. Rahmat Abdullah



Tiada arti sebuah keberhasilan proses tarbiyah rasmiyah (pendidikan:
formal) tanpa di barengi kemampuan seorang mutarabbi (anak didik) dalam
mengaktualisasikan dirinya sebagai nukhbah (kader) yang dinamis,
sensitif dan bijak (hay, hassas, hakim). Cermatilah kecermelangan
tarbiyah dzatiyah (pendidikan diri) tokoh-tokoh sejarah berikut.



Keluarga Nabi Ibrahim, AS.
Ummu Ismail tak berhasil mencari jawaban dari Nabi Ibrahim kenapa sang
suami tega meninggalkan mereka di lembah tak bertanaman, tanpa kerabat
dan bekal, kecuali sekantung makanan dan minuman untuk hari itu. Maka ia
mencoba mencari pertanyaan lain yang mencairkan segala yang beku,
membukakan segala yang buntu, dan memudahkan segala yang mustahil,
"Allah kah yang menyuruhmu meninggalkan kami disini?" tanya Ummu
Ismail. "Ya," jawab Ibrahim. "Bila demikian, pastilah Ia tak
akan menyia-nyiakan kami", sahut Ummu Ismail.


Pada kondisi paling kritis dan dilematis itu, ia berhasil mengambil
keputusan terbaik. Padahal sangat manusiawi, bila ia meminta agar Allah
melimpahkan bahan makanan. Tapi yang dilakukan justru berdoa agar
keturunannya menegakkan shalat, agar sebagian umat manusia mencintai
mereka, baru kemudian ia minta agar Allah memberikan mereka rezeki
buah-buahan (QS. 14;37). Ia memang pemimpin visioner.
Atau betapa bijaknya Ismail alaihissalam ketika ayahnya mengungkapkan,
"Aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu." Ismail menjawab,
"Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan
temukan daku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. 37:102)

Berbeda sekali dengan jawaban Yam bin Nuh yang telah menyaksikan langit
pecah menumpahkan air berderai-derai dan bumi membelah mengeluarkan
banjir bandang, lalu menjadi paduan ombak yang menggunung. Ternyata, ia
masih yakin dapat berlindung ke bukit dan enggan bergabung dengan
bapaknya dalam bahtera penyelamat (Qs, 11: 42-44). Inilah tanda
kegagalan tarbiyah dzatiyah dan dominasi pandangan khas materialisme,
yang di kurun ini kian merebak.


Nabi Yusuf, AS.
Ditengah paksaan isteri pembesar Mesir yang mengajaknya berbuat mesum,
Yusuf as menjawab, "Aku berlindung kepada Allah." Dan ketika
isteri pembesar Mesir memprovokasi suaminya untuk menjatuhkan hukuman
berat atau memenjarakannya, Yusuf mengajukan pembelaan yang sangat tegas
dan polos, "Dia yang merayu diriku." hal yang di belakang hari
dijawabnya dengan kata-kata yang lebih dewasa dan elegan.
Ketika raja memintanya datang ke istana karena kecemerlangan
menta'wil mimpi, Yusuf menyuruh sang utusan kembali untuk menanyakan
kisah wanita-wanita yang mengiris-iris jari mereka sendiri saat Yusuf
melintas. Maka ia tak perlu lagi mengatakan dia (isteri pembesar Mesir)
yang merayuku, justru isteri pembesar Mesir yang semula main penjara dan
siksa, kini mengaku bahwa ia yang merayu dan Yusuf menjaga diri.


Para Sahabat dan Tarbiyah Dzatiyah (Self Education)
Lembaran sejarah para sahabat juga memberikan bukti keberhasilan
tarbiyah dzatiyah. Disaat banyak anak-anak bangsa menjadi kolaborator
asing dan membenamkan negeri mereka ke kancah kehinaan, Ka'ab bin
Malik menjadi contoh paling orisinal bagi kesetiaan, kesabaran,
introspeksi diri dan kerendahan hati. Ia tidak tergiur oleh surat rayuan
raja Ghassan yang menawarkan suaka politik, "Kudengar bosmu
memboikotmu, padahal tak pernah engkau di (perlakukan) hina.
Berangkatlah kepadaku, nanti aku santuni (muliakan) engkau." (HR
Bukhari, Muslim dll). Dengan cepat ia bakar surat itu, "inilah dia
bala' yang sebenarnya," katanya.


Atau Abu Rabi', pembantu urusan harian Rasulullah saw. Melihat
keseriusannya, Rasul menawarkan apa kiranya yang diinginkannya. As-aluka
murafaqata-ka fil Jannah (Aku meminta untuk tetap dapat menemanimu
didalam surga), pinta Abu Rabi. "Nah, bantulah aku untuk dapat
menolongmu, dengan banyak bersujud," jawab Rasulullah saw. Ia
menuntut sesuatu yang jauh diatas nilai-nilai bumi dan sang guru
menyiratkan jalan sejati menuju kebahagiaan sejati, suatu ungkapan
bernuansa tarbiyah dzatiyah.


Kegagalan Tarbiyah Dzatiyah
Beberapa episode perjalanan Bani Israel bersama Nabi Musa mengajarkan
kita betapa pentingnya tarbiyah dzatiyah. Mereka tahu kedatangan Nabi
Musa untuk misi penyeiamatan. Apapun yang mereka alami, kemenangan
adalah kepastian. Namun, mereka gagal (Qs. 7:128-129).


Tenggelamnya Fir'aun di laut dan selamatnya Bani Israel dari
Fir'aun, tak menyisakan setitikpun keraguan untuk memasuki Bumi Suci
yang dijanjikan (QS 5:20). Namun, peristiwa itu seperti terjadi tanpa
kuasa Allah. Mereka lebih memandang tubuh besar bangsa Amalek (raksasa)
yang menduduki Kota Suci daripada janji kemenangan dari Allah, Berita
tenggelamnya Fir'aun yang perkasa adalah kegemparan besar yang mampu
membuat siapapun lari tunggang-langgang menghadapi pengikut Nabi Musa.
Namun, mereka justru menyampaikan ungkapan dekil yang khas, agar Musa
dan Allah berperang disana, baru sesudah itu mereka masuk.


Karenanya, mereka dikutuk. Berputar-putar di padang Tih, 40 tahun tak
dapat memasuki kota suci yang dijanjikan. Allah masih memberikan mereka
perlindungan berupa awan yang menaungi mereka dari sengatan terik
matahari dan makanan instan Manna dan Salwa. Namun, baru beberapa saat
mereka sudah protes, "Hai Musa, kami tak bakal sabar menerima satu
jenis makanan. Karenanya berdo'alah untuk kami kepada tuhanmu, agar
Ia mengeluarkan untuk kami tumbuhan bumi. (Qs. Al-Baqarah: 61).
Perhatikan, bahasa apa yang mereka gunakan dihadapan nabi?.


Dimana Kita?
Kita adalah satu di antara dua profil berikut. Alkisah, dua pasang belia
membangun rumah tangga. Lepas walimah, sang suami pun harus berangkat
lagi membina kader-kader da'wah, kerja yang biasa dilakukan sampai
larut malam. Malam panjang tanpa suami pun menderanya, membungkusnya
dalam selimut sunyi lalu melemparnya dalam nyala bara yang menghanguskan
keindahan hari-hari madu mereka. Perangpun mulai berkecamuk, zauji au
da'wati? (Isteriku atau da'wahku?).


Dengan mantap sang da'i merangkum kata menang, "Adindaku, kita
bertemu di jalan da'wah. Allah melimpahkan kebahagiaan kepada kita
dengan membimbing langkah kita ke da'wah yang diberkahi-Nya.
Haruskah kita meninggalkannya, sesudah kekuatan kita bersatu dan
bertambah untuk lebih melipatgandakan kontribusi kita bagi da'wah?
Jangan kita langgar janji kita kepada-Nya, sehingga keturunan kita kelak
akan tercerai-beraikan oleh khianat kita."


Tahun-tahun da'wah silih berganti. Ketika bayang-bayang kejenuhan
dan kepenatan melintas, isteri tercintalah yang tak bosan-boson
mengobarkan semangat da'wah dan pantang menyerah. Sampai anak-anak
mereka tak punya fikiran menyuruh tamu-tamu menelpon di lain waktu
karena ayahnya sedang istirahat. Mereka berlomba membangunkannya. Ia
jadi yakin, da'wahlah yang membangunkannya bukan anak-anak yang
berkolaborasi dengan tamu dan penelpon yang tak tahu etika itu.


Profil yang satu lagi menghadapi hal yang sama, "isteriku atau
dakwah?" Satu jurus saja ia jatuh. Ketika dievaluasi, ia menangis
dan bertekad, hujan, guntur dan badai tak boleh lagi menghalanginya dari
tugas da'wah. Dan saat ia telah bersiap melaksanakan tekad dan
ikrarnya, tiba-tiba terdengar suara sang mertua. "Mertuaku atau
da'wahku? Sekali lagi ia tersungkur.


Tahun-tahun lewat berbilang, kedua profil ini bertemu, yang satu dengan
produk da'wah yang penuh berkah yang lain dengan kemurungan, dunia
yang membelenggu dan urusan keluarga yang tak kunjung selesai.


(Dicopy dari Buku : Pilar-Pilar Asasi, Terbitan Tarbawi Press)

--- End forwarded message ---

--- End forwarded message ---

--- End forwarded message ---

--- End forwarded message ---

Kirim email ke