Melihat dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing
Yesterday at 12:07am

PADA tahun 80an, setelah hancurnya Uni Soviet, banyak kalangan ideolog
gerakan Islamisme yang meramal bahwa kapitalisme di mana Amerika
menjadi simbol utamanya akan segera rontok. Dari reruntuhan dua
"ideologi" dan kekuatan besar itu, mereka meramalkan (atau "wishful
thinking"?) bahwa Islam akan tampil sebagai kekuatan baru yang
menggantikan keduanya.

Apakah mimpi mereka itu sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan
terwujud? Marilah kita tengok dunia sekitar. Yang paling gampang
adalah dengan melihat event yang sekarang sedang digelar di Cina,
yaitu Olimpiade Beijing 2008. Pembukaan Olimpiade di Beijing pada
8/8/08 yang lalu begitu megah sekali, seolah-olah negeri Cina hendak
mendeklarasikan diri bahwa kami adalah kekuatan baru di panggung
dunia. Apa yang dikatakan oleh negeri Cina itu bukan sekedar mimpi
atau "wishful thinking", tetapi kata-kata yang disokong dengan sebuah
bukti nyata.

Sekarang kita lihat sendiri, kekuatan baru yang akan menjadi pesaing
utama Amerika Serikat tampaknya bukan negeri-negeri Islam atau "Islam"
secara umum. Pesaing baru itu datang dari dua negeri yang jauh dari
tradisi Islam, yakni Cina dan India.

Fareed Zakaria menulis buku baru (yang tampaknya kurang terlalu
sukses), "Post American World", dunia paska-Amerika. Menurut dia,
konstelasi kekuatan dunia saat ini pelan-pelan mulai memperlihatkan
gejala baru, yaitu merosotnya peran Amerika, dan dari sanalah lahir
dunia baru, dunia paska-Amerika. Tetapi, dunia baru ini bukan ditandai
dengan merosotnya peran Amerika secara total, atau "the declining
West". Yang terjadi adalah munculnya beberapa kekuatan baru dalam
bidang-bidang tertentu atau "the emerging rest". Dunia tidak lagi
uni-polar, tetapi multipolar.

Visi dunia yang dibayangkan kalangan Islamis masih "old-fashioned",
alias kuno dan antik, yaitu dunia dengan kekuatan tunggal yang dominan
di semua bidang. Kalangan Islamis bermimpi Islam atau "negeri Islam"
memerankan kekuatan hegemonik seperti yang diperankan oleh Amerika
sekarang. Dengan kata lain, dengan seluruh kebencian mereka terhadap
Amerika, mereka sebetulnya "kesengsem" atau jatuh cinta pada peran
yang dimainkan Amerika saat ini, dan karena itu mereka bermimpi suatu
saat Islam akan menggantikan peran itu.

Saya kira, mimpi seperti itu menjadi tidak relevan dalam jangka
panjang. Pertama, mimpi itu sendiri jelas "mimpi", sebab hingga
sekarang kita belum melihat tanda-tanda sedikitpun bahwa negeri-negeri
Islam akan menjadi kekuatan baru, entah dalam bidang militer,
teknologi, kebudayaan, apalagi ekonomi, terlebih-lebih olah-raga.

Hingga sekarang, negeri seperti Saudi Arabia masih bergelut dengan
pertanyaan utama: bolehkah perempuan ikut olah-raga? Dalam Olimpiade
Beijing saat ini, kontingen olah-raga Saudi Arabia sama sekali tak
menyertakan perempuan. Alasannya jelas karena masalah agama: menurut
Islam versi mereka, perempuan tak layak, atau tepatnya diharamkan ikut
olah-raga.

Dalam bidang ekonomi, tak ada satu negeri Islampun yang bisa disebut
sebagai kekuatan yang signifikan saat ini. Negeri-negeri Arab teluk
seluruhnya menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sumber alam,
yaitu minyak, bukan karena kerja keras penduduknya sendiri. Secara
budaya, kita juga jarang melihat produk-produk budaya "populer" yang
meng-global yang berasal dari dunia Islam. Dalam bidang sastra
misalnya, karya-karya yang mampu menembus pasar dunia yang muncul dari
luar tradisi kesusasteraan Barat umumnya berasal dari para penulis
India. Penulis Muslim yang mampu menembus pasar itu adalah Orhan Pamuk
yang berasal dari Turki, negeri Muslim yang sekuler yang justru
dibenci oleh kalangan Islamis di mana-mana.

Dalam pandangan saya, visi dunia ke depan yang lebih masuk akal dan
realistis adalah dunia yang multi-polar, dunia dengan sejumlah
kekuatan yang menyebar. Hingga saat ini, Amerika masih menjadi
kekuatan utama dalam hampir semua bidang. Tetapi, kekuatan-kekuatan
baru mulai pelan-pelan muncul ke permukaan. Dalam jangka panjang,
kekuatan-kekuatan baru yang lain tentu akan bermunculan. Setelah Cina
dan India, mungkin akan muncul kekuatan-kekuatan lain dari kawasan
Amerika Latin. Begitu seterusnya.

Dalam konstelasi dunia yang cenderung multi-polar itu, kita belum
belihat negeri-negeri Islam muncul ke permukaan sebagai calon
"kekuatan baru". Jangankan menjadi calon kekuatan "tunggal", bahkan
kekuatan yang setara dengan Cina atau India sekarang pun tidak sama
sekali. Oleh karena itu, ramalan kaum Islamis bahwa Islam akan
menggantikan komunisme dan kapitalisme sebagai satu-satunya kekuatan
baru di panggung dunia hanyalah mimpi yang mendekati "wishful
thinking".

Ada dua tantangan besar yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini
sebelum berharap menjadi kekuatan atau "kutub" baru dalam konstelasi
kekuatan dunia. Pertama di sektor ekonomi. Pelajaran yang bisa kita
ambil dari Cina dan India --keduanya saat ini berhasil menjadi contoh
kesuksesan baru di bidang ekonomi-- adalah keduanya berhasil
mengintegrasikan diri dalam pasar globar, merebut peluang-peluang baru
di sana, tanpa kehilangan kemandirian sebagai suatu entitas politik
yang memiliki kepentingan nasionalnya sendiri.

Saya belum melihat model Amerika Latin yang menempuh suatu eksperimen
baru melalui apa yang disebut dengan "neo-sosialisme" --model yang
beberapa hari lalu dipuji oleh harian Kompas itu-- sebagai model yang
"workable" dan masih terlalu dini untuk dinilai. Terus terang, saya
skeptis dengan model Amerika Latin itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh
Venezuela melalui figur utamanya Hugo Chavez, model sosialisme (entah
lama atau baru) selalu membutuhkan kekuatan negara yang besar untuk
mengontrol arah kebijakan ekonomi yang dipaksa mengikuti jalur
tertentu.

Dengan kata lain, dalam sosialisme (sekali lagi, entah lama atau baru)
selalu ada kecenderungan kepada "planisme" atau peran negara yang
besar sekali sebagai "perancang utama". Kekuatan negara di sini secara
empiris tentu diterjemahkan melalui kekuatan yang besar yang diberikan
kepada kepala negara. Itulah yang menjelaskan kenapa tahun lalu Hugo
Chavez meminta kekuasaan yang lebih besar melalui serangkaian
amandemen atas konstitusi. Kekuatan negara yang besar semacam ini,
sebagaimana kita ketahui dari pengalaman selama ini, akan berujung
kepada hal yang sederhana: korupsi. Petuah lama dalam dunia politik
berlaku di sini: power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely!

Contoh yang diperlihatkan oleh Cina dan India sekali lagi
memperlihatkan bahwa kedua negara itu sukses sebagai kekuatan ekonomi
bukan karena memerankan diri sebagai "trouble maker" dalam pergaulan
ekonomi global. Mereka menjadi sahabat yang baik, membuka diri pada
pasar global, merebut peluang di sana, seraya tak kehilangan
independensi. Dengan kata lain, mereka sukses bukan dengan memusuhi
pasar, tetapi justru mengintegrasikan diri di dalamnya. Model Cina dan
India patut dipertimbangkan oleh negeri-negeri Islam.

Kepada kaum Islamis yang "sok yakin" dan "ge-er" bahwa Islam akan
menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina
itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang
dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak
maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri
tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah "khilafah" yang
tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum
Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan
dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Tantangan kedua adalah di bidang politik. Dunia Islam cepat atau
lambat harus membangun suatu sistem yang demokratis. Sistem otoriter
yang sekarang ini ada di hampir semua negeri-negeri Islam menjadi batu
sandungan yang amat serius yang merintangi gerak mereka untuk tampil
kekuatan yang dipertimbangkan dalam dunia internasional.

Meskipun Cina sukses sebagai kekuatan ekonomi, saya masih menyimpan
keragu-raguan, karena negeri itu masih diperintah oleh satu partai,
dan karena itu sistem politik mereka masih berwatak otoriter.

Saya sendiri berpandangan bahwa kebebasan ekonomi tak bisa
terus-menerus ditegakkan dalam sistem politik yang tak bebas.
Kebebasan hanya bisa hidup dalam sebuah sistem politik yang bebas.
Oleh karena itu, kapitalisme tidak bisa tidak kecuali hidup dalam
sistem demokrasi. Sebab, keduanya mewakili ide dan cita-cita yang
sama, yaitu kebebasan. Kapitalisme adalah lambang kebebasan ekonomi,
sementara itu demokrasi adalah lambang kebebasan politik. Kedua
kebebasan itu seharusnya dilengkapi dengan kebebasan lain di bidang
ekpresi budaya. Itulah sebabnya ide tentang multikulturalisme menjadi
sangat penting (meskipun ide ini di beberapa negeri Barat mendapat
serangan hebat karena menimbulkan sikap-sikap "political correctness"
yang cenderung relativis).

Dalam tesis saya, ketiga sistem itu saling sejalan dan "kongruen".
Oleh karena itu, kesuksesan ekonomi di Cina saat ini adalah model yang
tak seimbang, karena kebebasan ekonomi tak disertai dengan kebebasan
politik. Cepat atau lambat, kebebasan ekonomi yang sekarang diterapkan
di tanah Cina akan membawa dampak yang tak terhindarkan, yaitu
tuntutan untuk membuka kebebasan di sektor politik. Jika seseorang
sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sudah tentu daftar kebutuhan dia
akan bertambah lagi, termasuk kebutuhan untuk memiliki kebebasan di
sektor politik.

Seorang teman saya dari Malaysia beberapa tahun lalu bilang bahwa
justru karena masyarakat sudah kenyang perutnya, mereka tidak peduli
pada hal-hal yang lain; mereka justru menjadi apatis dan apolitis.
Perkembangan politik di Malaysia sekarang, saya kira, menolak apa yang
ia katakan itu. Setelah Malaysia secara relatif berhasil mencapai
kemakmuran, masyarakat di sana mulai menuntut sistem politik yang
lebih longgar.

Saya menunggu fase baru di Cina, yaitu geliat demokrasi yang tak bisa
dihindarkan justru karena mereka sukses secara ekonomi. Sambil
menunggu fase itu, negeri-negeri Islam tetaplah layak menengok Cina
sebagai suatu model yang sukses di bidang ekonomi. Tentu bukan model
yang ditiru mentah-mentah, tetapi model yang bisa menjadi bahan
perbandingan.

Yang jelas, tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah kemiskinan.
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi menjadi masalah utama yang harus
mereka pecahkan. Meminjam istilah yang populer di Amerika, "It's
economy, stupid!"[]

Ulil Abshar Abdalla

Kirim email ke