Sekedar u bacaan

l.meilany

----------------------------------------------

KOMPAS, Jumat, 19 Juni 2009 | 03:49 WIB

OPINI

Bukan Bungkus, tetapi Isi Kepala Perempuan

Oleh Gadis Arivia

Tak lelah-lelahnya para politisi Indonesia mempermasalahkan integritas 
perempuan dan mengaitkannya dengan cara berbusana tertentu. Sudahkah politik di 
negara ini sedemikian rendahnya sehingga bukan konsep yang diperdebatkan lagi, 
tetapi busana istri-istri calon presiden yang menjadi masalah? Apa yang ada di 
isi kepala sebuah partai politik dengan mengangkat masalah jilbab yang tak 
dikenakan Ibu Ani Yudhoyono dan Ibu Herawati Boediono? Bukankah seharusnya 
memeriksa apa isi kepalanya dan bukan apa yang bertengger di atas kepala 
mereka? 

Apa yang dipertontonkan oleh politisi Indonesia dalam kampanye pemilu kali ini 
adalah pembodohan. Bukan saja kebodohan yang dipertunjukkan, tetapi juga tidak 
ada respek atas pilihan-pilihan perempuan. Tidak ada unsur mendidik dan 
mendiskusikan konsep dan status perempuan di Indonesia, tetapi yang ada 
mengobyekkan perempuan Indonesia dengan mendikotomikan perempuan berjilbab dan 
tidak berjilbab.

Jauh sebelum partai itu lahir dan partai-partai politik lainnya ada, pada awal 
abad ke-17 perempuan Indonesia telah memegang tampuk kekuasaan tertinggi dalam 
kerajaan. Simak sejarah Aceh, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut 
memerintah hingga tahun 1641 (Anthony Reid, 1993). Mereka mampu memimpin dengan 
tegas, menangani pertengkaran elite politik dan ekonomi dengan baik. Mereka 
tidak mengurus soal jilbab, tetapi mereka sibuk dengan strategi perdagangan. 
Tokoh seperti Kartini pada tahun 1899 sudah memikirkan soal pendidikan 
perempuan bahkan dalam hal agama. Kartini menyatakan, "Nilai manusia terletak 
pada nilai amalnya." Kartini mementingkan isi daripada bentuk syariat-syariat 
(Pramoedya Ananta Toer, 2000).

Ketika Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia, 
Fatmawati, mendampingi Soekarno. Dandanan Fatmawati yang sederhana berbalut 
kebaya pendek dan kain batik dengan rambut tergelung menampilkan ibu negara 
yang anggun dan penuh karisma. Fatmawati meskipun masih berumur 23 tahun ketika 
itu memiliki kecintaan mendalam terhadap tanah airnya dengan menjahit bendera 
Merah Putih agar dikibarkan sebagai lambang kemerdekaan. Ia pun dikenal sebagai 
sosok yang mandiri dan memiliki prinsip. Ketika Soekarno berniat menikah lagi, 
ia dengan tegas menolak untuk dimadu. Sosok pendamping para presiden yang 
memiliki karakter yang kuat dan cerdas dimulai dari Fatmawati. Sosok karakter 
seperti inilah yang mengawali citra ibu negara Indonesia.

Sosok ibu negara

Citra Ibu Tien Soeharto, istri presiden Soeharto pada masa Orde Baru, merupakan 
sosok yang berupaya untuk memperkenalkan batik sebagai busana Indonesia, baik 
untuk perempuan maupun laki-laki di dunia Internasional. Tien Soeharto dikenal 
sebagai pendiri Dharma Wanita. Memang banyak kritik terhadap Dharma Wanita di 
era Orde Baru, tetapi bagaimanapun, Tien Soeharto telah mengaktifkan organisasi 
ibu-ibu, termasuk ibu-ibu PKK, untuk terlibat di berbagai kegiatan kesehatan 
dan pendidikan.

Ketika Soeharto berhenti dan digantikan oleh BJ Habibie, sosok Ibu Ainun 
Habibie kerap muncul dalam sorotan publik. Tidak banyak yang mengetahui sepak 
terjang ibu negara ke-3 ini, tetapi ia dikenal sebagai pemerhati anak. Selain 
itu, ia merupakan istri presiden yang pertama kali bergelar dokter. Ibu-ibu 
negara selanjutnya memiliki pengetahuan akademik yang memadai, seperti Sinta 
Nuriyah Abdurrahman Wahid yang meraih gelar S-2 Kajian Wanita UI dan aktif 
dalam pergerakan perempuan Indonesia. Ia memperjuangkan toleransi beragama dan 
pluralisme serta ikut dalam demonstrasi damai penolakan RUU Pornografi. Sinta 
Nuriyah hanya memakai selendang di kepalanya sebagaimana lazimnya budaya 
Indonesia.

Bila berbicara tentang ibu negara dan calon ibu negara, karya dan pemikiran 
mereka lebih menggairahkan ketimbang wacana mengapa mereka berjilbab atau 
tidak. Sungguh mengherankan, baru kali ini soal jilbab dijadikan identitas ibu 
negara di negara Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia, identitas nasional 
menjadi lebih penting, bukan identitas agama. Sebab, Indonesia dikenal sebagai 
negara plural dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Soekarno pun 
memakai peci bukan hendak mengukuhkan identitas keislamannya, tetapi rasa 
nasionalismenya. Seperti kata Soekarno kepada Cindy Adams (1996 : 51), "Peci 
merupakan ciri khasku dan menjadi simbol bangsa Indonesia yang merdeka". 
Pemakaian peci, menurut dia, adalah tanda kedekatan dengan masyarakat bawah 
sebagaimana penggunaan sarung. Pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia 
pun menunjukkan kombinasi Timur-Barat dengan memakai peci serta jas tanpa dasi.

Istri-istri presiden dalam media Indonesia tidak banyak diungkapkan karya-karya 
mereka. Mereka lebih banyak menjadi "pajangan" yang entah dibanggakan atau 
dijatuhkan. Seolah-olah istri-istri ini hanya elok untuk dipandang-pandang dan 
tidak untuk diajak berdiskusi dan berdebat tentang posisi mereka yang sangat 
berguna memajukan masyarakat. Namun, kini pun pemandangan seorang istri 
presiden atau calon presiden dipermasalahkan karena ada "kacamata" moral yang 
menghakimi bila pakaian yang dikenakan tidak sesuai selera. Begitu kerdilkah 
pemikiran para politisi kita?

Indonesia kini mulai masuk fase berdemokrasi yang matang di mana pernyataan 
pejabat publik perlu dituntut akuntabilitasnya. Menyatakan bahwa elektabilitas 
seorang calon presiden dan calon wakil presiden tertentu lemah karena 
istri-istri mereka tidak berjilbab merupakan pelanggaran etika politik. 
Paham-paham etika politik mengusahakan suatu pola hidup bersama secara optimal 
menjamin suatu keadilan. Bagaimana mempertanggungjawabkan ucapan-ucapan para 
politisi yang jelas-jelas merendahkan tolak ukur martabat manusia? Sudah lama 
sesungguhnya kelompok perempuan bersabar dengan pernyataan-pernyataan tidak 
etis para politisi, tetapi apakah kali ini pernyataan-pernyataan tersebut akan 
dianggap angin lalu lagi? Sebanyak hampir 50 persen dari penduduk negara ini 
adalah perempuan, yang menjunjung langit Indonesia bersama laki-laki, 
berikanlah rasa hormat kepada mereka, tidak lebih dan tidak kurang.

Gadis Arivia Dosen Tetap di Departemen Filsafat Universitas Indonesia dan 
Pendiri Jurnal Perempuan, Jurnal Feminis Pertama di Indonesia

 

Kirim email ke