http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/07/opi01.html


Geliat Wanita di Bundestag Jerman
Oleh
Tieneke Ayuningrum


Kesetaraan hak kaum wanita di Eropa, termasuk di Jerman, tidak muncul dalam 
waktu semalam. Hingga awal abad ke-19, kaum wanita di Eropa masih menempati 
posisi yang "terjajah haknya" dalam kehidupan. Selama Perang Dunia II, wanita 
Jerman mulai memainkan peran lebih ketika warga Jerman laki-laki harus 
meninggalkan rumah menuju medan perang. Setelah Perang Dunia II berakhir, 
bahkan kaum wanita Jerman memiliki andil sangat besar dalam membersihkan jalan 
dari puing-puing bangunan yang hancur. 

Semenjak itu perjuangan wanita Jerman mulai berkembang hingga menuju persamaan 
hak di dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. 
Hingga akhirnya pada tahun 1948, Bundestag (Parlemen) Jerman memutuskan untuk 
mulai menyusun undang-undang dasar persamaan hak kaum wanita dan pria. Sepuluh 
tahun kemudian, disahkan sebuah undang-undang yang membolehkan seorang wanita 
memiliki rekening bank sendiri. Meskipun demikian, di Jerman Barat kala itu 
masih belum ada framework bagi wanita yang mengatur antara kehidupan 
berkeluarga dan karier kerja. Sementara di Jerman Timur, pemerintah sudah 
melakukan propaganda supaya wanita bisa bekerja di luar dengan memberikan 
fasilitas berupa tempat-tempat penitipan anak.

Setelah bersatunya Jerman Barat dan Timur, pada tahun 1994, di dalam 
undang-undang dasar tercantum: "Pemerintah mendukung implementasi persamaan hak 
antara laki-laki dan wanita yang mampu menghilangkan hal-hal yang bisa 
merugikan wanita." Selanjutnya pada 1997 Parlemen Jerman memutuskan bahwa 
pelecehan seksual dan pemerkosaan istri oleh suami termasuk dalam pelanggaran 
hukum, ketika saat itu merebak kasus pengaduan kekerasan terhadap wanita dalam 
rumah tangga.

Kedudukan Wanita di Parlemen Jerman
Sejak 1918 wanita di Jerman memperoleh haknya untuk memberikan suaranya dalam 
Pemilu. Namun, hampir selama tiga dekade parlemen hanya dikuasai kaum 
laki-laki. Pada periode 1949-1953 jumlah wanita di parlemen hanya 28 orang 
(6,8%) di antara 410 kolega laki-laki mereka. Menurut anggota parlemen, Hanna 
Walz (Partai CDU), "di banyak partai sejumlah Ladykillers selalu aktif 
bekerja", ketika pada Pemilu 1972 hanya 30 wanita (5,8%) yang berhasil masuk 
Bundestag. Namun, perbandingan ini semakin membaik, ketika semakin banyak 
wanita yang aktif secara politik dan juga terlibat dalam demonstrasi di jalan. 
Di tahun 1961, Elizabeth Schwarzkopf menjadi wanita pertama yang menduduki 
jabatan menteri. Selanjutnya pada 1972, Annemarie Renger dari Partai SPD 
terpilih sebagai Presiden Parlemen. Terakhir adalah peristiwa historis pada 22 
November 2005, yakni terpilihnya Angela Merkel sebagai "Bundeskanzlerin" 
(Perdana Menteri) wanita pertama dalam sejarah politik di Jerman. Majalah 
Amerika Forbes pada tahun 2008 menempatkan "Angie" Merkel, seorang doktor 
fisika asal Jerman Timur sebagai wanita paling berkuasa di dunia selama tiga 
kali berturut-turut. Saat ini 32,1% anggota Parlemen Jerman adalah wanita. 
Selain itu iklim di parlemen untuk politisi wanita Jerman semakin kondusif, 
tidak hanya di bagian kewanitaan tetapi juga bidang ekonomi, teknologi, 
pertanian dan bahkan pertahanan. Politisi wanita Jerman menduduki posisi ketua 
di 10 komisi dari 22 komisi yang ada. 

Secara umum politisi wanita di Parlemen Jerman memperjuangkan hak-hak yang 
menjadi kepentingan mendasar kaum wanita, seperti kemudahan untuk kembali 
berkarier setelah cuti melahirkan dan membesarkan anak. Keadilan dalam 
perjuangan melawan kekerasan dalam rumah tangga. Persamaan dalam pendapatan. 
Kemandirian bagi wanita imigran yang berada dalam posisi yang tidak 
menguntungkan, yaitu sebagai kaum pendatang dan sekaligus sebagai wanita. 

Berkat perjuangan para politisi wanita tersebut, pemerintah Jerman 
mengalokasikan dana dan waktu yang besar untuk membangun infrastruktur yang 
membantu terealisasikannya hal-hal di atas. Membangun fasilitas penitipan anak 
yang memadai, memberikan tunjangan, dan memperbaiki rekonsiliasi antara 
kehidupan berkeluarga dan bekerja di perusahaan-perusahaan yang dapat 
memberikan waktu lebih untuk keluarga. Selain itu diciptakan situasi kondusif 
di perusahaan-perusahaan berupa cuti membesarkan anak, tanpa kehilangan 
kesempatan untuk kembali berkarier dan tunjangan anak untuk keluarga yang 
kurang mampu.

Persamaan Hak 
Secara esensi nilai-nilai agama, kaum perempuan merupakan mitra hidup kaum 
laki-laki yang harus bekerja sama secara harmonis dan saling mengokohkan. Kerja 
sama tersebut dalam rangka menegakkan nasihat-menasihati dalam kebaikan dan 
mencegah keburukan dalam arti yang seluas-luasnya. Di atas itu, kerja sama yang 
dilakukan berlandaskan keyakinan kepada Sang Maha Pencipta yang di dalamnya 
termasuk hubungan antarsesama manusia. Kita menyadari bahwa persoalan wanita 
lebih bisa dimengerti oleh kaumnya sendiri. Oleh karenanya peran aktif wanita 
di luar rumahnya sangat diharapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang 
banyak dihadapi dan berhubungan dengan wanita. 

Perjuangan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Wanita sangat 
dimuliakan oleh agamanya. Berdasarkan nilai-nilai agama, kaum wanita memiliki 
persamaan hak dengan kaum laki-laki di dalam menuntut ilmu, beramal, dan 
sebagainya. Selain itu di dalam ajaran agama pun tidak ada pembagian tugas 
secara terkotak-kotak yang membatasi bahwa suami hanya bekerja mencari nafkah, 
sementara istri mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Walaupun 
kewajiban utama wanita berada dalam rumah tangganya, bukan berarti mereka tidak 
boleh beraktivitas di luar. Selain kewajiban terhadap rumah tangganya, wanita 
juga memiliki kewajiban terhadap agamanya, masyarakat di sekitarnya maupun 
negaranya. 

Wanita memiliki peran dan tugas yang sangat besar dan penting sepanjang sejarah 
kemanusiaan. Mereka bukan saja rahim tempat bersemainya para pemimpin 
peradaban, melainkan juga pendidik para pelaku sejarah sepanjang zaman, 
sehingga lebih dari sekadar pelaku sejarah. Ada peran besar yang harus 
dilakukan untuk kebaikan diri dan umat secara keseluruhan, yaitu peran 
pembangunan dalam masyarakat. Di masa kontemporer seperti sekarang ini, 
keterlibatan kaum wanita nyata sangat dibutuhkan, terutama dalam meningkatkan 
kualitas generasi masa depan dan mengatasi masalah-masalah di kalangan kaum 
wanita sendiri. Keterlibatan wanita dalam dunia politik juga tidak lepas dari 
usaha menyiapkan kondisi yang lebih kondusif untuk mencetak generasi yang lebih 
baik serta perlindungan dari berbagai usaha eksploitasi pihak tertentu yang 
mengabaikan martabat dan posisi kaum wanita.

Penulis adalah Pengamat Kebijakan Politik Wanita, Keluarga dan Anak di Jerman.
 

Kirim email ke