http://www.riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=3607
Senin, 16 Maret 2009 , 08:26:00 Golput: Ancamankah?. Oleh drh Chaidir MAKALAH saya dalam seminar ''Golput: Ancamankah?'' di Perpustakaan Soeman Hs, Jumat (13/3) lalu, sengaja tidak menyinggung prediksi jumlah Golput dalam Pemilu legislatif di Riau pada 9 April 2009. Fokusnya adalah mengapa Golput cenderung meningkat dan bagaimana sebaiknya? Saya pun tidak memasuki domain pro-kontra Golput haram. Itu hal lain. Pemilih yang terdaftar tapi tidak datang ke TPS dan tidak memilih, ada beberapa kategori. Pertama, karena sungguh-sungguh berhalangan (kendala pekerjaan, transport, sakit, dsb) Kedua, karena tidak memperoleh kartu pemilih (walaupun terdaftar). Ketiga, karena memang tidak mau menggunakan hak pilihnya dengan penuh kesadaran. Yang disebut terakhir inilah yang termasuk kategori Golput atau Golongan Putih. Golput menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada Pemilu 1971 Golput mencapai 6,67 persen. Pada Pemilu 1977 meningkat menjadi 8,40 persen, kemudian meningkat lagi menjadi 9,61 persen pada Pemilu 1982. Dalam Pemilu 1987 Golput turun sedikit menjadi 8,39 persen, tapi kemudian meningkat lagi pada Pemilu 1992 menjadi 9.05 persen. Pada Pemilu pertama pasca-Orde Baru (1999), Golput mencapai 10,40 persen dan melejit pada Pemilu 2004 menjadi 16 persen untuk pemilu legislatif, 21,77 persen untuk Pilpres putaran pertama dan 23,37 persen untuk Pilpres putaran kedua. Angka rata-rata Golput pilkada di semua tingkat mencapai 27 persen. Di Batam, pilkada hanya menarik perhatian 45,19 persen pemilih. Di Surabaya partisipasi pemilih juga hanya 49,64 persen. Saya tidak tahu berapa banyak Golput di kedua kota itu. Kecenderungannya, Golput banyak berasal dari kalangan kelompok masyarakat yang lebih terpelajar, yang proporsinya lebih besar di perkotaan dibanding pedesaan. Kelompok terpelajar ini cenderung kritis dan cenderung memandang pilkada tidak penting bagi perbaikan pemerintahan. Kecenderungan itu, misalnya, juga terlihat pada anatomi partisipasi pemilih di Amerika serikat. Semakin muda usia orang AS semakin rendah tingkat partisipasi politiknya. Kelompok usia ini (termasuk mahasiswa), pada umumnya cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan belajar dan hanya sedikit yang menyukai politik. Pemilihan umum tidak dianggap sebagai bentuk kegiatan yang dapat memberikan efek langsung bagi kehidupan mereka sehari-hari. Rendahnya partisipasi politik pemilih (termasuk Golput) bukan ancaman bagi Pemilu, angkanya akan berfluktuasi. Tapi sebenarnya Golput bisa merupakan protes terhadap, misalnya: 1) kepemimpinan yang cenderung korup; 2) parpol yang tidak mampu membangun kredibilitas; 3) elit politik yang lebih banyak mengurus diri sendiri daripada kepentingan rakyat; dan 4) politisi busuk. Tentu tidak semuanya buruk dan busuk. Namun faktor parpol dan elit politik sangat menentukan keberadaan Golput. Di negara manapun, tak ada demokrasi tanpa parpol. Parpol adalah asset negara yang legal. Parpol setidaknya memiliki fungsi agregasi dan artikulasi aspirasi rakyat, rekrutmen politik, dan pendidikan politik. Bila fungsi itu berjalan dengan baik, pemilih tak akan enggan menggunakan hak pilihnya. emilu 9 April sudah diambang pintu, mari kita bersiap memilih yang terbaik dari yang baik, atau yang terbaik dari yang kurang baik. Atau kalau semuanya dianggap buruk, mari pilih yang buruknya paling sedikit. Habis perkara.*** drh Chaidir adalah penulis dan mantan Ketua DPRD Riau