Di bawah ini beragama menurut Emha Ainun Nadjib, kalau semua orang Islam di 
Indonesia dapat menerima apa yang diajarkan Emha dan melaksanakannya, pasti 
Indonesia akan maju. Tetapi sadarlah, artinya ajaran Islam harus ditinggalkan 
karena tidak sesuai lagi.
Salam
 
Gusti Allah Tidak "nDeso"
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan 
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk 
shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke 
rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, 
itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi.
"Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan 
sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak 
berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau 
menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang 
kesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, 
Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga 
orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi 
korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan 
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat 
permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka 
beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, 
itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang 
rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau 
korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang 
orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang 
yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar 
kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian 
atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya :
kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang 
lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau 
ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan 
berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama 
tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke 
pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir 
miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang 
beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, 
melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi 
kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan 
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda 
agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum 
mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang 
bukan haknya.  Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa 
sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, 
sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~


      

Kirim email ke