http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=40102

Haji di Tengah Buramnya Moral Bangsa

Oleh Soeroso Dasar



"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka 
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang datang 
dari segenap penjuru dunia" (Q.S. Al-Hajj, 27). 

Musim haji telah tiba, orang berbondong-bondong datang ke tanah suci untuk 
menunaikan ibadah haji sesuai dengan perintah Allah. Kafilah Kota Bandung 
kloter pertama insya Allah berangkat awal November 2008, disusul dengan 
rombongan berikutnya. Sebuah panggilan kelima rukun Islam yang ditujukan kepada 
mereka yang mampu. Ibadah yang diwajibkan sekali seumur hidup dan dilaksanakan 
setahun sekali itu, semakin diminati umat. Bahkan untuk kuota haji tahun depan 
(reguler) sudah penuh sehingga waiting list (daftar tunggu) semakin panjang. 
Tidaklah heran apabila KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) bermunculan. 

Melihat deretan dan besarnya jumlah mereka yang berangkat haji, sangat paradoks 
dengan realitas sosial yang sedang terjadi di negeri ini. Rumusnya, apabila 
negeri yang didiami sekian banyak orang saleh (salah satu indikatornya minat 
haji), rakyatnya akan sejahtera, dan rahmat serta hidayah Allah bertebaran di 
negeri tersebut. Akan tetapi, hipotesis itu tidak terbukti di negeri tercinta. 
Bank Dunia mengungkapkan, sekitar 100 juta penduduk Indonesia miskin. Dengan 
terjadinya krisis finansial di Amerika Serikat, tentu akan berdampak pada 
perkembangan ekonomi Indonesia. Hasilnya bisa ditebak, jumlah orang miskin akan 
terus bertambah. Sudah duafa, ditambah dengan musibah datang silih berganti. 
Saat yang sama, masyarakatnya terus bertikai satu dengan lain, tanpa 
berkesudahan, dari masalah UMR, pilkada, batas wilayah, dan lainnya. Saling 
membunuh, mencela, menyakiti sesama sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, 
bila ditemukan mayat yang disayat-sayat, bukanlah berita yang menggemparkan 
lagi. Begitu sadiskah kita sekarang? Apa yang salah dari negeri ini? Sehingga 
kemakmuran yang didambakan semakin menjauh, ketenangan hidup tercabik-cabik.

Berderet masyarakat Indonesia pergi ke haji ataupun menunaikan ibadah umrah, 
tetapi kemunduran aspek moral pun merebak di segala lini kehidupan. Seharusnya, 
jumlah yang berangkat dengan tingkat kebobrokan moral di negeri ini, kurvanya 
akan saling memotong, bukan berbanding lurus. Untuk itu, melakukan introspeksi, 
kontemplasi, muhasabah, baik secara sendiri maupun secara berjemaah, merupakan 
hal yang wajib dan dibutuhkan. Bukankah kualitas haji mabrur merupakan tujuan 
akhir dari seorang hamba Allah yang menunaikan ibadah haji? Seperti sabda 
Rasulullah, "Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah haji mabrur"(H.R. 
Bukhari Muslim). 

Seperti yang dikatakan oleh Hazrat Inayat Khan, seorang sufi dari India, 
"Cita-cita sufi adalah terlibat dalam kehidupan, namun pada saat yang sama di 
kedalaman wujudnya, terbebas dari keadaan lahiriah. Nilai tertinggi dari wujud 
seorang sufi tetap ada, bahkan di tengah kekotoran, kondisi yang paling buruk 
sehingga tercermin 'istana di tengah reruntuhan', yang melambangkan kemenangan 
dari sesuatu nilai kekal, atas kekuatan penghancur." Cita-cita mulia seperti 
ini, bila terpatri di dada para pejabat negeri tercinta, alangkah indahnya. 

Ahmad Najib Burhani secara sinis menyoroti ketimpangan sosial yang terjadi di 
negeri ini. Bahkan, ibadah haji yang demikian gencar juga memberikan refleksi 
buram betapa distribution of national income sangat tidak menggembirakan. 
Tulisnya, predikat haji dan wibawanya saat ini semakin meredup. Di samping 
karena melonjaknya jumlah jemaah, fenomena ini juga disebabkan haji bukan lagi 
digunakan sebagai wahana untuk menyadarkan diri akan berbagai fungsinya sebagai 
seorang individu dan makhluk sosial. Bahkan, ada yang menunaikan haji bukan 
lagi sebagai sarana pendidikan jiwa, namun menjadi "turis" sesaat di tanah suci.

Berangkat haji adalah panggilan jiwa yang paling dalam. Memenuhi undangan Allah 
seharusnya mampu mengubah setiap perilaku Muslim yang telah menunaikan ibadah 
ini, bukan sebaliknya seperti yang disinyalir Ahmad Najib Burhani. Lihatlah 
kisah Muhammad Asad yang dikenal sebagai seorang penulis Islam ternama, 
akhirnya tersungkur menangis di hadapan Ka'bah. Asad telah menyaksikan berbagai 
negeri kaum Muslimin, tempat tangan seniman besar menciptakan karya seni yang 
terilhami. Asad telah melihat masjid di Afrika Utara, istana sembahyang 
berkilau dari marmer dan batu pualam putih jernih. Kubah batu di Yerusalem, 
kubah sempurna luar biasa di atas bangunan bawahnya yang indah. 
Bangunan-bangunan raksasa di Istambul, Masjid Sulaimaniyya, menjadi 
Yeni-Valide, Masjid Bayazid, juga masjid-masjid di Brussa, di Asia kecil, dan 
Masjid Safavia di Iran. Namun, semuanya belum menggetarkan hati Asad. Semua 
yang itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Ka`bah. Di depan Ka`bah 
terasa tangan seorang pembangun demikian dekatnya dengan konsepsi agama. Justru 
dalam kesederhanaan kubus itu, yang menyangkal segala keindahan garis dan 
bentuk. Betapa pun indahnya segala yang mampu dibuat dengan tangan manusia, 
hanyalah congkak bila dibandingkan dengan kebesaran Allah. Ka`bah tidak ada 
tolak bandingnya di atas bumi. Semuanya itu ditulis Asad yang pernah mengembara 
di negara Islam Timur Tengah dan terakhir karyanya, Islam At The Crossroads, 
The Principiles Of State And Government In Islam.

Konsep kesederhanaan hidup dalam proses pembangunan sangat mempunyai arti yang 
positif bagi kehidupan bangsa. Karena dalam teori ekonomi, apabila konsumsi 
meningkat, tingkat tabungan akan rendah. Bagi suatu negara yang sedang 
membangun, tingkat tabungan yang tinggi merupakan salah satu prasyarat untuk 
biaya pembangunan. Apabila tabungan tinggi, ketergantungan terhadap bantuan 
luar negeri dapat dikurangi. Namun sebaliknya, apabila tingkat tabungan rendah, 
sedangkan tuntutan pembangunan tinggi maka ketergantungan terhadap bantuan luar 
negeri relatif tinggi. Tragisnya, pola konsumsi dan gaya hidup orang Indonesia 
relatif sulit dikendalikan, bahkan disinyalir gaya hidup pejabat Indonesia 
lebih mewah bila dibandingkan dengan gaya hidup pejabat di negara-negara maju. 
Konsep kerja keras dan cucuran keringat di negeri ini masih dipandang hina. 
Implikasinya, jalan pintas merebak di mana-mana. Inilah sistem nilai yang 
bertolak belakang dari nilai dan wujud manusia yang beradab. Islam tidak 
mengajarkan hidup yang boros. 

Haji sebenarnya dapat menginspirasikan kepada kita tentang suatu kesederhanaan 
hidup. Kisah Muhammad Asad ingin mengungkapkan bahwa Islam adalah penjunjung 
kesederhanaan. Islam tidak mengharamkan untuk menjadi orang kaya karena tangan 
di atas adalah jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Cukup banyak sahabat 
Rasul dan tabi`in yang bergelimang dengan harta. Bahkan, pengertian tasawuf 
positif menerjemahkan bagaimana tangan mengatur dunia, sedangkan hati tetap 
ingat kepada Allah. Akan tetapi, ketika posisi negeri sedang demikian rapuhnya, 
sekitar 100 juta kaum duafa terjebak dengan kemiskinan, apa yang dapat kita 
lakukan untuk mereka? Bukankah sesama kaum Muslimin adalah bersaudara? Bukankah 
apabila seorang Muslim tersakiti, sama dengan kita juga yang tersakiti. 
Renungan panjang tentang demikian banyaknya kaum duafa yang tidak beruntung 
merupakan suatu tindakan bijaksana. Terlebih bagi mereka yang akan pergi 
menunaikan ibadah haji. Lihat mereka yang bertebaran di simpang jalan, lihat 
mereka yang tinggal di bedeng reyot di bantaran sungai, ataupun kolong 
jembatan, lihat mereka yang mengais sampah untuk dijual kembali sebagai 
penyambung hidup. Lihat, mereka yang busung dan merintih kelaparan. Lihat 
mereka yang telanjang dada, tidak sekolah, dengan tulang rusuknya kelihatan. 
Ketika Allah memberikan kemudahan kepada kita, sepantasnya kita kembalikan 
kepada-Nya. Di tanah suci, di tempat yang begitu indah dan mulia, di sudut 
suatu tempat dimana doa di- ijab Allah, kenanglah mereka yang kurang beruntung 
di negeri ini. Selamat menjadi tamu Allah. Labbaik Allahuma labbaik. 
Labbaikkala syarikala kalabbaik. Inalhamda wa nikmata lakawalmulk la syarikalak 
...***

Penulis, sesepuh majelis zikir dan doa Masjid Nurul Qolbi Kota Bandung, 
Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DM) Jawa Barat

Kirim email ke