Heboh Pahlawan Nasional Tahun ini Presiden menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Mohammad Natsir, Soetomo, dan Abdul Halim.Keputusan ini sudah sesuai UUD 1945 Pasal 15 yang memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk memberi ”gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan”. Hanya, perlu ditekankan agar pasal itu dipahami secara lengkap karena di akhir kalimatnya tertera bahwa pengangkatan itu ”diatur dengan Undang-Undang”. Persoalannya, undang-undang itu belum ada sampai sekarang. RUU Gelar dan Tanda Jasa sudah dibahas di DPR selama beberapa tahun, namun belum kelar juga. Padahal, anggota parlemen sudah sempat melakukan studi banding ke A m e r i k a Latin. Konon, hambatannya antara lain menyangkut terlampau banyaknya jenis tanda jasa yang sulit untuk disederhanakan dan tanda jasa di kalangan ABRI yang umumnya memakai istilah Sansekerta (seperti bintang Kartika Eka Paksi, dll). Fraksi PKS berkeberatan dan meminta ungkapan tersebut diindonesiakan.Di sisi lain, pihak yang setuju berargumen bahwa istilah itu sudah digunakan di kalangan militer berpuluh tahun,agak repot kalau diubah dengan seketika. Sementara itu RUU Kepahlawanan sudah disodorkan pula untuk dibahas. Saya sendiri dari dulu berpendapat sebaiknya keduanya disatukan saja untuk menghemat waktu, tenaga,dan tentu biaya. Maka yang dijadikan patokan sampai saat ini adalah peraturan yang dikeluarkan tahun 1964. Di dalam peraturan itu dinyatakan bahwa calon pahlawan itu tidak boleh melakukan perbuatan yang mencederai perjuangannya. Selama Orde Baru,klausul ini ditafsirkan sesuai dengan kemauan penguasa.Figur yang kritis jangan bermimpi untuk jadi pahlawan. Syukurlah sekarang tokoh terkemuka seperti M Natsir sudah dijadikan pahlawan nasional,sekalipun dia juga anggota Petisi 50.Demikian pula Soetomo adalah tokoh yang berani melawan Soekarno dan Soeharto. Soetomo yang dikenal dengan sebutan Bung Tomo sudah diajukan sebagai pahlawan nasional dua kali, namun ditolak. Alasan yang dikemukakan, beliau adalah tokoh lokal.Dia berjuang di Surabaya pada 1945 melalui siaran radio yang menggelorakan semangat rakyat. Saya sendiri tidak sependapat dengan dalih tersebut. Peristiwa Surabaya seputar 10 November 1945 memang terjadi di daerah, namun peristiwa itu sudah dijadikan sebagai salah satu tonggak perjuangan nasional bangsa kita. Perjuangan Bung Tomo sudah diajarkan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah,dia adalah tokoh nasional. Fotonya mengacungkan tinju menghiasi halaman buku pelajaran sekolah walaupun sebetulnya foto ini bersifat anakronis.Foto itu dijadikan ilustrasi kegiatan Bung Tomo dalam perjuangan 10 November 1945 di Surabaya. Padahal,foto itu merekam peristiwa yang terjadi tahun 1947. Demikian pula dengan M Natsir. Beliau bukan saja ketua partai pemenang pemilu 1955 dan mantan perdana menteri, di lingkungan Islam beliau dianggap tokoh dunia (Wakil Pre-siden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi dan anggota Dewan Mesjid Sedunia yang berpusat di Mekkah). Dia berjasa besar mengeluarkan Mosi Integral di parlemen tahun 1950 yang mengubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH Abdul Halim tidaklah sepopuler Natsir dan Bung Tomo.Abdul Halim yang lahir di Majalengka 26 (atau sebagian lain menyebutnya 17) Juni 1887 pernah menjadi anggota BPUPKI, walaupun perannya tidak menonjol dalam badan tersebut. Dia penasihat ”Perikatan Oemmat Islam” Majalengka dan banyak menulis buku agama yang digunakan di lingkungan pesantren.Semasa Belanda melancarkan agresi militer II tahun 1948, dia membantu logistik tentara kita. Apakah gerakan Abdul Halim yang menjadi pahlawan nasional ke- 12 yang berasal dari Provinsi Jawa Barat bersifat nasional atau lokal? Perdebatan ini muncul sejak dulu dalam menilai tingkat perjuangan seorang tokoh. Dengan adanya otonomi daerah di era reformasi sekarang,muncul gagasan untuk membedakan antara pahlawan nasional dan pahlawan daerah. Dalam konteks ini, masingmasing daerah dapat mengangkat pahlawan mereka masing-masing sesuai kriteria setempat. Ide ini masih perlu dikaji lebih lanjut,namun dari dulu kriteria pengangkatan pahlawan nasional memang terkait dengan aspek tersebut.Tidak semua orang dapat diangkat menjadi pahlawan, hanya mereka yang melakukan perjuangan dan memberikan jasa yang luar biasa bagi bangsa dan negara.Hanya tokoh yang perjuangannya sangat hebat (niscaya pada level nasional bukan hanya tingkat lokal). Tentu beberapa hal dapat dimaklumi, misalnya dalam kasus Pong Tiku yang diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 2002. Saya kira sebagian besar pembaca tidak mengenal tokoh yang satu ini. Atau mungk i n baru pertama kali mendengar nama tersebut. Dia adalah tokoh yang berjuang di Tanah Toraja melawan penjajah Belanda. Kalau kita menganggap daftar pahlawan nasional itu sebagai album perjuangan bangsa di mana semua golongan dan etnis mendapat tempat, tentu aspek representasi dapat dipertimbangkan walaupun ”kadar”perjuangannya pada tingkat lokal. Dalam rangka konteks perimbangan daerah, maka tebersit pertanyaan, berapa ”kuota” sebuah provinsi agar daerah lain dapat pula memiliki pahlawan nasional? Pada era reformasi ini jumlah provinsi di Indonesia meningkat dari 27 menjadi 33, apakah semuanya sudah memiliki pahlawan nasional ? Solusi Mengingat kontroversi pengangkatan pahlawan nasional ini berlangsung terus dari tahun ke tahun,dapat disampaikan di sini beberapa jalan keluar.Pertama, terlepas dari apakah RUU Kepahlawanan dengan RUU Gelar dan Tanda Jasa disatukan atau menjadi dua undang-undang, yang penting ini supaya cepat diselesaikan oleh DPR. Kedua, Badan Pembina Pahlawan Pusat yang menyeleksi pahlawan nasional itu supaya dibenahi.Keanggotaannya tidak mewakili lembaga, tetapi berdasarkan kepakaran. Idealnya mayoritas anggota badan itu sejarawan, bukan birokrat atau personel militer (aktif dan purnawirawan). Ketiga, sebaiknya daftar pahlawan nasional yang akan diusulkan oleh Departemen Sosial kepada Presiden itu diumumkan terlebih dulu di media massa. Masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengkritik bila ada calon yang kontroversial. Pada 2007, pahlawan nasionalAnakAgung GdeAgung diusulkan dari Yogyakarta bukan dari daerah asalnya Bali.Initentumenimbulkanpertanyaan. Ternyata kemudian,setelah diangkat menjadi pahlawan nasional muncul protes dari Legiun Veteran Republik Indonesia cabang Bali. Keempat,pemerintah dapat mengambil prakarsa untuk meneliti dan membuat proposal pencalonan pahlawan bagi tokoh-tokoh yang telah berjuang dan memiliki prestasi luar biasa bagi bangsa dan negara seperti SK Trimurti. Walaupun proses pengajuannya tetap dari bawah, yakni dari kota/ kabupaten selanjutnya pada tingkat propinsi, nasional, dan diajukan kepada presiden. Pengajuan dengan dua jalur (bisa dari atas dan bisa pula dari bawah) perlu diambil karena banyak pula di antara keluarga tokoh nasional itu yang merasa risih untuk mengajukan nama keluarga mereka. Sri Sultan Hamengku Buwono X, misalnya,mengatakan tidak akan mengajukan ayahnya sebagai pahlawan nasional, tetapi berterima kasih bila pemerintah mau mengangkat beliau.Jasa Hamengku Buwono IX bagi republik tidak diragukan lagi terutama ketika pemerintahan harus ”mengungsi”ke Yogyakarta karena Jakarta tidak aman pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Di samping itu proses pengajuan pahlawan ini memang membutuhkan biaya (riset dan pembuatan buku serta penyelenggaraan seminar) yang tidak sedikit. Tidak semua keluarga tokoh itu memiliki dana yang cukup. Di samping itu direktorat kepahlawanan pada Departemen Sosial agar lebih kreatif dalam menyeleksi dan mengusulkan nama pahlawan.Ja-ngan pahlawan itu berasal dari bidang yang itu-itu saja.Sampai hari ini tidak ada pahlawan nasional dari lingkungan olahraga. Kenapa Ir Suratin pendiri PSSI tahun 1930tidakdijadikanpahlawannasional? Alasan administrasi jangan dijadikan alasan untuk tokoh yang memang layak. PSSI memang sedang bermasalah,ketua umumnya berada di penjara dan jelas tidak mungkin memimpin organisasi dari balik terali besi.Sebaiknya Departemen Sosial yang membereskan proposal pencalonanIr Suratin tersebut. Kalau semua masalah itu sudah dibenahi,pengangkatan pahlawan ti-dak lagi menimbulkan gonjang-ganjing,misalnya dikaitkan kepentingan politik dalam rangka menghadapi Pemilu 2009.(*) Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/185709/ Salam Abdul Rohim http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id